Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.
Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9. PERUBAHAN KECIL YANG BERARTI
..."Kadang, penyembuhan datang bukan lewat kata-kata, tapi lewat aroma dapur yang mengingatkan bahwa hidup masih bisa terasa hangat."...
...---•---...
Seminggu setelah nasi goreng itu, Doni mulai bernapas sedikit lebih lega.
Tujuh hari yang ia lewati dengan hati-hati, seperti berjalan di atas es tipis yang bisa retak kapan saja. Setiap pagi ia bangun dengan pertanyaan yang sama: Apakah hari ini dia akan makan? Apakah kemarin hanya kebetulan? Apakah aku sudah kehilangan momentum?
Tapi sesuatu berubah dalam rutinitas rumah besar di Dago Pakar. Perubahan kecil yang mungkin tidak terlihat oleh orang luar, tapi bagi Doni yang menghabiskan setiap harinya di dapur, perubahan itu terasa nyata, terasa seperti mukjizat kecil yang ia tidak berani harap.
Naira mulai makan.
Tidak banyak, tidak konsisten, tapi ada usaha. Sarapan kadang habis setengah, makan siang seperempat piring, makan malam bervariasi antara beberapa suap sampai hampir habis. Tapi yang paling penting, ia tidak lagi mengembalikan makanan tanpa disentuh sama sekali.
Doni merayakan setiap suapan dengan hati yang lebih ringan. Tapi ia tahu, ini baru permulaan. Membuat seseorang mau makan adalah satu hal. Membuat mereka ingin hidup adalah hal yang jauh lebih rumit.
Pagi itu, Doni duduk di meja kecil di sudut dapur dengan laptop. Di layar terbuka spreadsheet buatannya: catatan detail setiap makanan yang ia sajikan, reaksi Naira, berapa banyak yang dimakan, dan waktu makannya.
Hari 1-3: Semua makanan ditolak.
Hari 4: Nasi goreng kampung, habis semua. Catatan: makanan comfort, terhubung dengan almarhum ibu.
Hari 5: Bubur ayam kampung, habis setengah.
Hari 6: Sop buntut, dimakan seperempat porsi.
Hari 7: Nasi uduk dengan ayam goreng, habis setengah.
Hari 8: Pasta karbonara, tidak disentuh.
Hari 9: Gado-gado dengan bumbu kacang, dimakan sepertiga porsi.
Hari 10: Pizza margherita, dimakan dua potong dari enam.
Pola mulai terlihat.
Naira lebih merespons masakan Indonesia tradisional dibandingkan makanan Barat. Ia suka tekstur lembut tapi tidak terlalu creamy. Rasa yang familiar, bukan yang terlalu unik.
"Pak Doni, saya boleh duduk sebentar?"
Tuti muncul membawa nampan kosong dari sarapan tadi. Piring di atasnya bersih. Telur orak-arik dengan nasi putih dan sambal terasi habis tak tersisa.
"Tentu, Bu." Doni menutup laptopnya. "Habis, ya, sarapannya?"
Tuti tersenyum lebar, matanya berbinar. "Habis bersih. Nona Naira bahkan minta tambah sambal. Pertama kali dalam sebulan ini ia minta tambah apa pun."
Doni menghentikan apa yang ia lakukan. Pisau di tangannya berhenti di udara, masih memegang wortel setengah terpotong. Dadanya terasa sesak, tapi bukan sesak yang menyakitkan—sesak dari sesuatu yang mengembang di dalam, dari relief, joy, harapan yang akhirnya berani muncul.
Minta tambah.
Dua kata sederhana yang terasa seperti medali emas. Seperti mendengar seseorang yang sudah lama terdiam akhirnya berbicara lagi.
Dia masih bisa merasakan keinginan. Dia masih bisa menginginkan sesuatu. Itu artinya dia masih hidup, tidak hanya bertahan.
"Pak Doni, boleh saya tanya sesuatu?" Tuti duduk di seberang, tangannya meremas ujung celemek. "Bapak belajar masak dari siapa? Kok bisa tahu persis apa yang Nona Naira suka?"
"Saya tidak tahu apa yang dia suka," jawab Doni jujur, meletakkan pisau dan wortel di atas talenan. "Saya cuma coba pahami apa yang dia butuh. Beda antara suka dan butuh itu tipis, tapi penting."
"Maksudnya?"
Doni bersandar di kursi, menatap jendela dapur yang memperlihatkan taman belakang. Matahari pagi menyinari dedaunan yang basah embun, burung-burung berkicau di antara ranting. "Nona Naira bukan tidak suka makanan enak. Dia cuma kehilangan koneksi dengan makanan. Baginya, makan cuma rutinitas, bukan pengalaman. Jadi saya tidak cari apa yang enak menurut koki, tapi apa yang bisa bikin dia ingat kenapa makan itu penting."
Tuti mengangguk perlahan, matanya berkaca-kaca. "Ibu Lastri dulu selalu bilang, 'Tut, makanan itu bahasa cinta yang tidak perlu diterjemahkan.' Sepertinya Bapak paham bahasa itu."
"Tunangan saya yang ajarin." Suara Doni turun sedikit, jeda sebentar sebelum melanjutkan. Ia tersenyum tipis, tapi ada kesedihan di sana, kenangan yang masih sakit kalau disentuh. "Dia koki yang lebih hebat dari saya. Katanya, koki yang baik masak untuk lidah. Koki yang hebat masak untuk hati."
Sari masak dengan hatinya. Dan aku belajar dari dia. Sekarang aku mencoba melakukan hal yang sama untuk Naira. Entah kenapa, aku merasa Sari akan setuju dengan ini.
Mereka terdiam sebentar. Keheningan yang nyaman, diisi suara burung dari luar dan dengung halus kulkas.
"Bu Tuti," kata Doni, ide muncul begitu saja. "Ibu kenal kebiasaan Nona Naira, kan? Dari kecil sampai sekarang. Makanan apa yang biasa dia makan waktu senang, waktu sedih, waktu sakit?"
Tuti berpikir, menatap ke atas seperti mencari memori yang tersimpan. "Kalau lagi senang, dia suka es krim. Bukan yang mewah, tapi es krim kaki lima rasa cokelat-vanila. Katanya, es krim itu makanan perayaan."
Doni mencatat dalam pikirannya.
"Kalau lagi sedih, biasanya dia tidak makan sama sekali. Paling minum teh hangat dengan madu. Kadang biskuit tawar."
"Kalau sakit?"
"Pisang rebus dengan madu dan kayu manis. Resep Ibu Lastri juga."
Doni mengangguk. Pikirannya sudah meracik ide.
Tuti menurunkan suara, seperti berbagi rahasia. "Dan kalau Bapak mau tahu... Nona Naira sebenarnya suka makanan pedas. Dulu sebelum jadi artis, dia sering makan ayam geprek dengan sambal matah. Tapi setelah jadi artis, manajernya melarang."
Ayam geprek. Sambal matah. Pemberontakan. Kebebasan. Ini bukan cuma soal makanan, tapi tentang kebebasan yang ia kehilangan.
Doni menyimpan itu dalam daftar mentalnya.
"Terima kasih, Bu. Ini semua sangat membantu."
"Sama-sama, Pak. Senang bisa bantu." Tuti berdiri. "Oh iya, Nona Naira tadi titip pesan. Katanya, terima kasih untuk sambal terasinya. Persis seperti buatan Ibu Lastri dulu."
Setelah Tuti pergi, Doni kembali membuka laptopnya. Ia menulis daftar baru:
Makanan Kenangan Naira:
- Nasi goreng kampung: Ibu, comfort, rumah.
- Sambal terasi: familiar, pedas sedang.
- Es krim sederhana: perayaan, kebahagiaan.
- Teh madu: kesedihan, introspeksi.
- Pisang rebus kayu manis: sakit, dirawat.
- Ayam geprek sambal matah: pemberontakan, kebebasan.
Di sampingnya, ia menulis ide variasi, bagaimana mengubah tiap esensi menjadi menu bergizi dan penuh makna emosional.
Doni menghabiskan satu jam merancang menu dua minggu ke depan. Ini bukan sekadar meal plan, tapi peta penyembuhan.
Tapi apakah ini akan bertahan? Apakah progress ini real atau hanya sementara? Bagaimana kalau besok dia kembali tidak makan? Bagaimana kalau aku kehilangan dia lagi setelah hampir mendapatkannya kembali?
Keraguan itu masih ada, mengintai di sudut pikirannya. Tapi untuk hari ini, ada progress. Dan itu sudah cukup.
Siang itu, saat menyiapkan makan siang, Doni mendengar suara langkah kaki turun dari tangga. Suara yang tidak biasa di jam segini.
Tangannya berhenti memotong wortel. Pisau tertahan di udara. Biasanya Naira tidak turun sebelum sore. Biasanya dia terkunci di kamar sampai matahari mulai turun.
Ia menoleh perlahan, seperti takut gerakan tiba-tiba akan membuat penampakan itu hilang.
Naira berdiri di pintu dapur. Cardigan krem longgar membungkus tubuhnya yang masih kurus, tapi tidak sekurus seminggu lalu, ada sedikit isi di pipi, sedikit kurva di bahu. Rambut diikat ponytail rendah, tidak berantakan seperti dulu. Masih tampak rapuh, seperti vas antik yang retak tapi tidak pecah. Tapi yang paling berbeda adalah matanya: tidak lagi kosong sepenuhnya. Ada percikan di sana, kecil tapi nyata, seperti bintang yang mulai muncul di langit senja.
Dan ada sedikit warna di pipinya. Bukan blush on, tapi warna alami dari darah yang kembali mengalir ke permukaan kulit. Tanda kehidupan.
Dia turun. Sendiri. Di siang hari. Ini bukan hanya soal makan lagi. Ini soal hidup lagi.
"Selamat siang," sapa Doni, mencoba santai meski jantungnya sempat berhenti sejenak. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Boleh saya lihat Anda masak?" tanya Naira pelan tapi jelas. "Saya tidak akan ganggu. Hanya... ingin lihat."
Doni terdiam sebentar. Permintaan itu sederhana tapi penuh makna yang mendalam. Dia ingin terlibat. Tidak hanya menerima, tapi menyaksikan. Tidak hanya dimakan, tapi memahami prosesnya.
Ini adalah langkah yang lebih besar dari sekadar makan. Ini tentang menjalin kembali hubungan dengan dunia, dengan aktivitas kehidupan sehari-hari, dengan kehangatan dapur yang pernah ia kenal dari mamanya.
Pintu terbuka sedikit lebih lebar. Dan kehangatan mulai mengalir masuk.
...---•---...
...Bersambung...