Lucid Dream
Pernah terjebak di sebuah perasaan yang aneh?
Dimana seseorang begitu jelas mencintai orang lain… tapi entah kenapa justru memilih untuk terus hadir dalam hidup kita.
Aneh. Mustahil. Membingungkan.
Itulah yang Nina rasakan, sampai malam ini.
Nina terbangun dari tidurnya saat telepon berdering, mengusik mimpinya yang baru saja terasa indah. Dengan mata masih berat dan kepala pening, ia meraba ponsel di samping bantal.
Nama yang tertera di layar membuat napasnya tercekat.
Bastian.
Cowok badboy yang selalu muncul tanpa tahu waktu. Jam 12 malam, dan dia menelpon. Apa dia pikir dirinya vampir? Atau jangan-jangan… sedang ritual ngepet?
Nina menghela napas panjang, mencoba menahan jengkel.
"Ada apa?" tanya Nina malas, suaranya serak karena baru bangun.
"Dimana Reyna?" suara Bastian terdengar datar, tapi menyimpan nada cemas.
"Di kamarnya. Ada apa?" Nina mengerutkan kening.
"Dia gak kemana-mana kan?" nada suaranya semakin mendesak.
Nina merasakan kesal yang menumpuk. "Telponlah, ngapain ganggu orang?"
"Emmm… lo tidur?" tanya Bastian seolah tak berdosa.
"Ishhh, manusia gila! Ini sudah jam berapa Bastian, ngapain lo ganggu gue? Lo telepon saja dia!" Nina hampir berteriak, amarahnya memuncak.
"Takut ganggu!" jawabnya enteng, seakan-akan masalahnya sepele.
Nina menahan diri sekuat tenaga agar tidak melempar ponsel ke dinding. "Blokir nomor gue, Bastian! Lo takut ganggu Reyna, tapi kenapa ganggu gue gak takut? Gue lagi tidur, lagi mimpi indah, dan lo ganggu gue. Dasar gila!" Nina langsung memutuskan telepon dengan kasar.
Namun, layar ponselnya kembali menyala.
Bastian menelepon lagi.
Dan lagi.
Nina menatapnya dengan wajah muram, menolak untuk mengangkat.
Jangan tanya lagi siapa dia.
Dia adalah Bastian si badboy sekolah. Anak bandel yang jarang masuk kelas, sering bikin guru pusing. Tapi anehnya, otaknya brilian. Entah bagaimana bisa.
Dan kenapa Nina bisa kenal? Semua bermula dari Reyna teman mereka yang cantik, populer, dan selalu jadi pusat perhatian. Bastian mendekati Reyna, minta nomor teleponnya. Tapi, bukannya berhenti di situ, dia justru ikut menghubungi Nina. Katanya, karena Reyna susah dihubungi.
Bayangkan, demi dapat nomor, dia nekat mencuri kontak dari HP guru. Alasan konyol, entah bohong atau tidak. Yang jelas sejak itu, malam-malam Nina tak pernah tenang. Tidurnya selalu diganggu suara telepon dari “jin berbentuk manusia” itu.
Aneh, di sekolah mereka hampir tak pernah bicara. Tapi di telepon, mereka seperti saling kenal dekat. Bukan karena Nina mau, melainkan karena dia tak punya pilihan.
Kadang Nina berpikir, mungkin semua ini karena dirinya dianggap… remeh.
Dia hanya pelantara di antara kisah cinta Bastian dan Reyna. Tempat persinggahan, bukan tujuan.
Kenapa merasa seperti itu ?
Karena dia jelek. Bahkan saat bertemu dengan geng Bastian dirinya kabur ,mungkin Bastian tahunya dirinya Melisa atau yang lainnya. Bodo amatlah !
Dia jarang berinteraksi dengan banyak orang, lebih suka menyendiri. Bertahan dengan lingkaran kecil teman yang ia punya. Rasanya percuma mencoba lebih dekat, kalau ujung-ujungnya tak pernah dianggap ada.
Contohnya sekarang.
Mengapa harus nomornya yang dipilih Bastian? Kenapa bukan Melisa? Kenapa bukan orang lain?
Nina menatap layar ponsel yang masih berkedip. Hatinya panas, kepalanya penat.
Cukup.
Ia melemparkan ponsel ke sisi ranjang, menarik selimut rapat-rapat.
Biarlah gangguan itu menunggu.
Malam ini, ia ingin kembali pada mimpinya. Mimpi yang tak pernah bisa disentuh oleh Bastian.
**
Nina sudah berangkat ke sekolah bersama Melisa dan Reyna. Mereka seperti dua kutub yang berlawanan ,Reyna cantik, modis, selalu menarik perhatian, sedangkan Melisa, bahenol dan menggoda, membuat kepala siapa pun ikut menoleh. Sedangkan Nina… merasa dirinya hanyalah kutu buku yang tidak pintar, tenggelam di antara dua cahaya itu.
"Apa Bastian menelponmu lagi?" tanya Melisa sambil menatap Nina dengan alis terangkat, setengah penasaran, setengah menggoda, saat mereka sudah sampai di gerbang sekolah.
"Ya, dia mengganggu tapi setidaknya dia bisa mendekatiku. Dia badboy tapi dia tampan dan pintar," ucap Reyna sambil menyunggingkan senyum tipis, seolah membayangkan malam-malam telepon yang membuat hatinya berdebar.
"Bagaimana menurutmu, Nina?" tanya Melisa, mencondongkan tubuh sedikit, menunggu reaksi.
"Gak ada komentar sama sekali," jawab Nina datar, menundukkan kepala sedikit sambil menahan rasa jengah yang mendidih di dalam dada.
Tiba-tiba, motor Bastian dan teman-temannya masuk ke parkiran. Suara knalpot menggelegar, aura berandalan dan sombongnya langsung membuat bulu kuduk Nina meremang. Untungnya, Bastian tidak menyadari keberadaannya ,ia hanya menyebut nama Melisa.
Nina tersenyum lega tipis, menarik napas panjang, mencoba bersikap cuek. Mereka baru awal semester, dan Bastian jelas belum tahu soal Melisa. Jujur, ia terlalu cuek terhadap sekitar, makanya aneh bisa saja Bastian menyukai Reyna. Apalagi, Bastian adalah playboy ulung yang selalu berganti target, dan Nina tahu para perempuan itu masih tergoda, meski sering hanya menjadi pengisi waktu sementara.
"Hei, Bas!" sapa Reyna dengan langkah ringan dan senyum manis menghampiri Bastian.
"Hai Reyna!" jawab Aldo, teman Bastian, dengan suara setengah meremehkan tapi terselip rasa kagum.
"Bastian, maaf aku ketiduran semalam," ucap Reyna sambil menundukkan sedikit kepala, wajahnya memerah samar.
"Iya, gak papa," jawab Bastian, sedikit cuek, matanya tetap menatap lurus ke depan, tapi ada setitik perhatian tersembunyi.
Bastian memalingkan kepala sebentar, melihat Melisa, dan senyumnya tipis muncul begitu mengenali namanya.
"Ada apa?" tanya Melisa, alisnya sedikit berkerut, nada suara berbeda dari biasanya.
"Ada apa Bas?" tanya Reyna, mencondongkan tubuh, penasaran dengan suasana yang aneh.
"Satu lagi," bisik Doni, teman Bastian, sambil menepuk bahu temannya, memberikan kode.
Nina buru-buru menutup name tag namanya, jantungnya berdegup kencang, pipinya terasa hangat.
"Dia masih temanmu?" tanya Bastian menunjuk Nina, suaranya ringan tapi tajam di telinga Nina.
"Iya, dia Nina, sahabatku juga," jawab Reyna dengan senyum ramah tapi tegas, menenangkan situasi.
"Nina," panggil Gilang dari belakang, senyumannya hangat.
"Iya. Bentar! Rey, Mel, duluan ya, mau sarapan!" ucap Nina sambil tersenyum dan melambaikan tangan, berusaha menutupi rasa groginya, lebih tepatnya kesalnya.
Saat matanya tanpa sengaja bertemu Bastian, muka Nina langsung memerah dan kesal bercampur canggung.
"Gilang, tunggu!" Nina cepat mendekati Gilang, menahan diri agar tidak terpancing oleh Bastian. Mereka berjalan bersama, tertawa ringan.
"Itu Gilang saingan lo kan?" tanya Aldo sambil menatap Bastian, menyinggung sedikit rasa penasaran.
"Si kutu air suka sama berandalan juga?" tanya Bastian dengan nada setengah mengejek, menyipitkan mata.
"Mereka sudah lama bersama, entah pacaran atau hanya sahabatan," jawab Reyna sambil mengangkat bahu, tersenyum tipis.
"Ayo pergi!" ajak Bastian, berjalan santai, menebarkan aura percaya diri yang membuat beberapa perempuan di dekat mereka menoleh.
Reyna dan Melisa mengikuti dari belakang, langkah mereka ringan tapi penuh perhatian.
"Lo kalau dimanfaatin Bastian gimana?" tanya Melisa, menyeringai nakal sambil menatap sahabatnya.
"Biarin, yang penting bisa dekat dengan Bastian," jawab Reyna dengan mata berbinar, sedikit menunduk malu tapi tetap percaya diri.
"Dasar spotlight," ejek Melisa sambil tertawa ringan.
**
"Aku tunggu nanti, Gilang. Ingat jangan berantem lagi ya!" ucap Nina saat mereka berpisah di lorong kelas.
"Ya, tapi kalau kelepasan gak papa kan! Jangan lupa juga ya!" ucap Gilang sambil mengacak rambut Nina, tersenyum nakal.
"Iya, bajingan!" ejek Nina sambil menepuk bahu Gilang, wajahnya tersenyum lebar.
Nina tersenyum sendiri, meski sekarang mereka tidak sekelas lagi.
Namun langkahnya terhenti ketika menyadari bahwa… ia sekelas dengan Bastian.
Mereka berhenti di depan pintu kelas, dan dari dalam, para perempuan sudah berteriak histeris. Bastian memang ganteng, tapi reputasinya… mempermainkan hati perempuan.
"Hai kutu air!" sapa Bastian dengan nada santai tapi menantang.
Plakkkkk…
Nina memukul Bastian pakai tas"Dasar gila!" umpat Nina kesal sambil mendorong pintu masuk kelas.
"Benar dia kan?" tanya Doni, menepuk pundak Bastian sambil menahan tawa.
"Ya, dia memang cewek yang sering gue ganggu tiap malam," jawab Bastian masuk ke kelas, matanya menyipit penuh kenakalan.
"Salah sasaran!" ucap Aldo sambil masuk bersama Doni, tertawa kecil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments