Melati berubah pendiam saat dia menemukan struk pembelian susu ibu hamil dari saku jas Revan, suaminya.
Saat itu juga dunia Melati seolah berhenti berputar, hatinya hancur tak berbentuk. Akankah Melati sanggup bertahan? Atau mahligai rumah tangganya bersama Revan akan berakhir. Dan fakta apa yang di sembunyikan Revan?
Bagi teman-teman pembaca baru, kalau belum tahu awal kisah cinta Revan Melati bisa ke aplikasi sebelah seru, bikin candu dan bikin gagal move on..🙏🏻🙏🏻
IG : raina.syifa32
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raina Syifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
Bunda Dyah melangkah pelan memasuki kamar Melati. Di tepi jendela yang terbuka lebar, Melati duduk melamun, tangan kanannya lembut mengusap kepala putri kecilnya yang sudah mulai terlelap dalam pelukan saat menyusui. Suasana hening memenuhi ruangan, hanya terdengar hembusan angin masuk dari luar. Bunda Dyah menarik kursi di depan meja rias, lalu duduk berhati-hati di dekat putrinya. Matanya menatap lembut ke arah Melati.
“Bunda tahu kamu sedang ada masalah, Nak. Kalau tidak, kamu pasti tidak akan betah berlama-lama berpisah dari suamimu. Bunda juga paham betul bagaimana kamu ‘bucinnya’ kamu sama suamimu itu, begitu pula sebaliknya dengan Revan.” Suara Bunda bergetar penuh kasih sayang dan sedikit kekhawatiran.
Melati menggeleng pelan, bibirnya tersenyum tipis tapi mata tetap menatap jauh ke luar jendela. “Nggak ada apa-apa, Bun. Beneran. Melati cuma kangen sama ayah...dan bunda .” Ia menarik napas panjang, seolah berusaha meyakinkan dirinya sendiri juga ibunya.
Bunda Dyah menarik napas panjang, dadanya naik-turun pelan. Matanya menatap penuh prihatin Melati yang diam membisu.
“Ayah kamu atau kakak kamu mungkin gampang kamu bohongi,” suaranya lembut tapi tegas, “tapi bunda nggak Mel, ibu yang melahirkanmu. Jadi bunda lebih paham, sayang. Cerita aja sama bunda ya nak. Siapa tahu beban itu jadi lebih ringan, hati kamu juga bisa sedikit lega.”
Melati hanya terdiam, wajahnya tersembunyi di balik hijab dusty yang dikenakannya. Perlahan ia melangkah ke ranjang dan menaruh tubuh mungil Ayana dengan penuh kasih. Jari-jarinya menyentuh lembut kepala anaknya lalu berjalan kembali didekat ibunya.
“Mas Revan, Bun...” suaranya bergetar pelan.
Bunda Dyah menatapnya dengan penuh kekhawatiran, “Bikin kamu kecewa lagi?” sahutnya.
Melati mengangguk kecil, ragu menegakkan kepalanya. “Iya, Bun.”
“Dia selingkuh?”
Melati menggeleng cepat, bibirnya mengerut. “Aku nggak tahu, Bun... tapi beberapa bukti itu muncul satu persatu sepertinya mengarah ke sana. Anehnya, mas Revan masih bersikap manis, perhatian, masih sayang banget sama Melati. Mas Revan selalu nurutin apa yang aku mau.”
Wajah Melati terkulai, matanya berkaca-kaca, terpaut antara kebingungan dan rasa sakit yang menggerogoti hati. Ia menunduk, seakan ingin menyembunyikan kegelisahan. "Kalau boleh bunda tau, bukti apa yang kamu temukan, Nak?" suara bundanya lirih, tapi menusuk.
Melati menghela napas panjang, dadanya bergemuruh oleh campuran amarah, kecewa, dan cemburu yang menyelimuti dirinya. "Ada struk pembelian susu ibu hamil, Bun... dan beberapa potong daster," suaranya bergetar. "Aku nggak hamil Bun, lantas susu itu buat siapa? Melati kira dasternya buat aku Bun ternyata dasternya gak pernah sampai. Struk pembelian itu berada di Bandung."
Matanya menatap bundanya, berharap mendapat jawaban yang mampu menenangkan hatinya yang berkecamuk.
Bunda Dyah terhenyak bak dihantam batu yang sangat besar menghimpit, dadanya terasa sesak, tangan terangkat menutupi mulutnya seolah tak percaya mendengar kata Melati. Mendengar hal itu hatinya ikut sakit.
Matanya melebar, napasnya tersengal, “Jadi Revan sudah sejauh itu?” tanyanya lirih.
Melati mengangguk pelan, bibirnya bergetar saat cerita itu terurai. “Iya, Bun. Mas Revan sering menerima telepon tengah malam secara diam-diam. Salah satu penelpon itu namanya Dewi.” Wajah Melati mendelik, “Katanya sih itu kolega bisnis, tapi aku nggak yakin. Mas Revan juga sering ke Bandung seminggu sekali selama dua sampai tiga hari, katanya perusahaan cabang di sana ada masalah. Mungkin sekarang mas Revan berada di Bandung, kemarin aku memergoki mas Revan menerima telpon sambil bisik-bisik."
Bunda Dyah menggenggam erat jemari putrinya. "Bunda percaya kamu kuat."
Netra Melati tak lepas dari wajah ibunya, “Kalau memang benar Mas Revan punya wanita lain, aku... aku mau bercerai, Bun. Hati aku sudah berkali-kali terluka karena mas Revan."
Bunda Dyah menarik napas dalam, merengkuh pundak Melati erat-erat. “Sabar ya, Nak. Jangan buru-buru ambil keputusan. Lebih baik kamu selidiki dulu, cari bukti yang kuat. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari .”
Melati menunduk, lalu membalas pelukan ibunya dengan pelan, berharap ketenangan datang.
“Bunda minta maaf belum bisa kasih solusi, semoga semuanya segera jelas dan Revan jujur sama kamu,” suara Bunda Dyah penuh harap.
***
Revan masih berdiam diri di dalam mobil , matanya terpaku pada rumah bercat putih yang kini menjadi saksi bisu pergulatan hatinya. Angin senja yang semilir menyapu wajahnya, namun tak mampu menghapus beban yang menyesakkan dadanya.
Napasnya keluar berat, seolah tiap helaan membawa serta harapan yang tergerus oleh kenyataan.
Dewi—wanita yang membuat hidupnya kacau balau, hubungannya dengan Melati sang istri harus merenggang.
Revan meremas kemudinya dengan kuat jari-jarinya kaku menahan gelombang emosi yang bergejolak. “Kalau saja Dewi tidak mengandung, mungkin rasa bersalahku tak sebesar ini,” gumamnya dalam hati, suara itu nyaris tenggelam di antara desiran angin.
Ia merasa rapuh, terperangkap antara keinginan untuk melarikan diri dari kenyataan yang tak bisa dihindari.
Matanya kembali menyapu tiap sudut rumah itu, bayangan masa depan rumah tangganya yang suram terus menghantui pikirannya. Rasanya seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja, dan Melati—istrinya—pasti akan marah, kecewa setengah mati padanya.
Revan mengerat bibir, dadanya sesak. “Kalau aku jujur sama Melati, apa dia bisa ngerti posisi aku sekarang?” gumamnya pelan, seolah mencari jawaban dari udara kosong.
Tiba-tiba dari dalam rumah, sosok wanita berlari menyambutnya dengan wajah penuh rindu, “Aa Revan, kok nggak langsung masuk aja?”
Revan menghela napas berat, matanya menunduk. “Aku nggak bisa lama-lama, Wi. Aku cuma pengen ngasih ini,” katanya sambil menyerahkan sebungkus seblak. “Katanya kamu pengen seblak, tapi aku buat yang nggak terlalu pedas. Kasihan bayimu.”
Dewi mendongak, matanya memelas dan suara manjanya terdengar jelas, “Bayi kita, A. Kamu janji bakal tanggung jawab, kan?”
Revan cepat menggeleng, suaranya sedikit berat tapi tegas. “Aku memang tanggung jawab masa depan bayi yang kamu kandung, tapi itu nggak berarti aku bakal nikahin kamu. Maaf Wi aku harus balik ke Jakarta."
Mata Dewi melebar penuh harap, bibirnya bergetar menahan malu saat mencoba berbicara. "Aa... aku pengen disuapin, kayaknya bayiku kangen bapaknya," ucapnya sambil tangan halusnya menelusuri perutnya yang mulai membuncit. "Kamu mau, kan a? Gantiin aa Andra, setidaknya buat bayiku ini." Suaranya serak, memelas.
Revan mengerutkan dahi, menatap Dewi yang terus menatapnya dengan harapan tak terucap. Ragu-ragu, ia akhirnya mengangguk pelan, suaranya tertahan dalam dada. Dewi tersenyum tipis, menggandeng tangan Revan ke dalam rumah. Di dapur, ia menyiapkan seblak hangat dalam mangkuk, lalu menyerahkan sendok itu pada Revan. "Ayo, Aa. Bayi kita sudah nggak sabar pengen disuapin bapaknya."
Revan menggenggam sendok itu dengan tangan bergetar, perlahan-lahan menyuapkan seblak ke mulut Dewi. Matanya masih tak lepas dari sosok wanita itu—tanpa tahu, di balik vas bunga di bufet, sebuah kamera tersembunyi merekam setiap gerak-geriknya. Dewi mengatupkan bibir tipis, wajahnya menyembunyikan rencana licik yang sedang berjalan di dalam otaknya.
***
Seminggu Melati menginap di rumah orang tuanya di Jogja, tapi pikirannya sudah terbang jauh ke Jakarta, ke rumah yang kini penuh persoalan. Dia duduk di teras sambil menggenggam ponsel, mencoba menenangkan hati yang bergejolak.
"Bun, besok pagi Melati pulang ke Jakarta. Aku nggak mau masalah ini terus berlarut," suaranya pelan, sedikit berat.
Bunda Dyah menatap Melati dengan mata penuh kelegaan, tangannya menepuk lembut pundak anaknya. "Bagus, nak. Segera selesaikan, jangan menghindar terus. Kalau rumah tanggamu masih bisa diselamatkan, pertahankanlah. Anak-anak kalian pasti butuh tempat yang utuh. Tapi apapun keputusanmu, bunda akan selalu dukung kamu," ucapnya lembut, menahan haru di balik senyuman.
revan pulsa jgn sembunyikan lg msalah ini terlalu besar urusannya jika km brbohong terus walau dg dalih g mau nyakitin melati ,justru ini mlh buat melati salah pham yg ahirnya bikin km rugi van
sebgai lelaki kok g punya pendirian heran deh sm tingkahnya kmu van, harusnya tu ngobrol baik" sm melati biar g da salah paham suka sekali trjd slh pham ya.