Ketika Maya, pelukis muda yang karyanya mulai dilirik kolektor seni, terpaksa menandatangani kontrak pernikahan pura-pura demi melunasi hutang keluarganya, ia tak pernah menyangka “suami kontrak” itu adalah Rayza, bos mafia internasional yang dingin, karismatik, dan penuh misteri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
“Ya. Bagian tubvh yang aku pilih itu akan jadi milikku. Dan aku bebas ngelakuin apa pun sama bagian itu, kapan pun dan di mana pun aku mau,” jawab Rayza dengan senyum puas kayak orang yang baru nemu mainan baru.
Dia ngeliatin aku dari seberang meja, masih sambil senyum, sementara aku cuma bisa bengong. Gila, cowok ini kayaknya bener-bener nggak waras.
“Berdiri… terus buka b4jumu,” perintah Rayza, matanya nggak lepas dari wajahku.
“Maaf?!” Aku refleks kaget. Dia barusan nyuruh aku apa?
“Aku bilang berdiri dan buka b4jumu. Jangan bikin aku ngulang lagi, Maya. Atau kamu bakal ngelanggar aturan sekali lagi,” suara Rayza berubah dingin dan tegas.
“A… Kenapa kamu ngelakuin ini?” tanyaku dengan suara tercekat. Aku nggak yakin, tapi matanya yang biru tadi sekarang kayak lebih gelap... seperti binatang buas yang lagi ngincar mangsanya.
“Kalau aku nggak bisa lihat tbuhmu, gimana aku bisa milih bagian mana yang mau aku klaim duluan?” jawabnya enteng, sambil angkat bahu kayak nggak ada beban.
Aku benci banget cara dia ngomong. Seolah-olah ini cuma permulaan… kayak nanti bakal ada kali kedua, ketiga, dan entah sampai kapan.
Tubuhku kaku di tempat. Aku ragu-ragu. Gimana bisa aku lepasin bajuku di depan dia... dan di ruang makan pula? Ini bener-bener gila. Tapi aku bisa apa?
“Kamu punya waktu sepuluh detik buat berdiri dan mulai buka b4ju. Kalau nggak, aku bakal manggil beberapa orang buat bantuin kamu,” ucap Rayza datar tanpa ekspresi.
“Nggak…” bisikku lemah.
“Sepuluh… sembilan… delapan…” Rayza mulai ngitung mundur.
“Rayza! Kamu gila…” protesku panik.
“Tujuh… enam… lima… empat… tiga… dua… satu… orang!” Dia nyambung terus, nadanya dingin kayak es.
Aku menatap matanya dan aku tahu dia serius.
“Enggak! Aku… aku bakal lakuin,” jeritku, nyaris putus asa.
Udah cukup buruk harus telanjang di depannya. Aku nggak mau anak buahnya juga ngelihatku.
Tapi terlambat.
Rayza menggonggong ke alat komunikasi kecil di kerah bajunya. Nggak lama kemudian, beberapa pria berpakaian serba hitam masuk ke penthouse. Aku melotot, napasku terhenti, dan mulutku terbuka karena syok berat.
Rayza serius. Dia benar-benar memanggil anak buahnya untuk menel4njangiku...
“Udah, nggak usah. Kalian keluar aja…” ucap Rayza datar ke anak buahnya, sementara matanya masih tertuju padaku.
Rayza mencondongkan tubuh ke depan, di seberang meja, menatapku dengan senyum yang bikin jantung deg-degan. Dalam kondisi lain, mungkin aku bakal mikir senyumnya itu ganteng banget. Tapi sekarang? Nggak ada rasa kagum sama sekali malah bikin mual.
“Apa lagi yang kamu tunggu? Berdiri… dan buka bajumu, Maya,” perintah Rayza sambil tetap tersenyum sinis.
Aku masih nggak percaya aku benar-benar melakukan ini. Aku berdiri kaku, bisa merasakan tatapan tajam matanya seolah-olah b4juku bakal terbakar hanya karena dia menatapnya. Aku memejamkan mata erat-erat, mencoba mengatur napas. Aku bukan perawan… dan pria pernah lihat aku telnjang sebelumnya. Oke… nggak banyak sih, tapi tetap aja… ini bukan hal yang aneh… atau, seharusnya nggak.
Waktu aku buka mata lagi, aku udah ambil keputusan. Nggak peduli apa pun yang Rayza lakuin atau yang aku harus jalanin, aku harus bertahan selama 30 hari ini. Aku akan kembali ke kehidupan normal bareng nenekku. Aku harus kuat.
Aku nggak akan biarin dia ngancurin aku…
Perlahan-lahan, tanganku bergerak ke kancing pertama kemejaku. Aku sadar tanganku agak gemetar, tapi setelah tarik napas dalam-dalam beberapa kali, getaran itu akhirnya berhenti. Aku tahu dia masih menatapku, memperhatikan tiap gerakanku. Aku pun membalas menatap mata birunya yang tajam itu saat jariku mulai membuka kancing pertama.
Setelah kancing pertama terbuka, aku lanjut ke kancing kedua. Lalu ketiga... keempat... sampai semuanya terbka. Perlahan, tapi pasti, aku buka kemejaku, memperlihatkan br4 renda warna pink terang dan tubh bagian atasku yang sekarang terekspos ke hadapannya.
Aku lihat sudut mulutnya naik sedikit. Dia menikmati rasa nggak nyamanku. Tapi dia diam saja, hanya menatapku. Suasana ruangannya sunyi banget aku cuma bisa dengar napasku, detak jantungku yang kencang, dan bunyi jarum jam berdetik.
Tanganku bergerak ke bawah, membuka kancng celna jeansku, lalu ritsltingnya. Aku tarik jeans itu ke bawah pnggul, kki, dan lepasin sepenuhnya. Sekarang aku cuma berdiri dengan br4 dan celana dalam senada. Udara dingin ruangan langsung menyentuh kultku.
Dan sekarang, bagian paling sulitnya dimulai…
“Udah sejauh ini, jangan setengah-setengah…” goda Rayza dengan suara rendah.
Aku muak. Jijik. Kesal. Semua rasa campur aduk jadi satu.
Aku melotot ke arahnya, lalu dengan cepat membuka kaitan br4-ku dan menariknya dari tubvhku. Nafasku naik turun, dad4ku terbuka sepenuhnya, dan aku lempar br4 itu ke lantai. Dia menatap paydraku tanpa malu. Matanya menjelajah tubuhku seperti sedang menilai barang dagangan.
Aku letakkan ibu jariku di pinggang celna dalmku. Lebih baik semua ini segera selesai. Setelah mengatur napas, aku tarik celna dalmku ke bawah, lepasin dari kkiku, dan dorong ke samping.
Sekarang aku berdiri telnjang bulat di depan Rayza.
Tatapannya terasa seperti bara api yang membakar klitku. Dia melihatku dari atas sampai bawah… lalu naik lagi ke atas. Matanya, wajahnya, semuanya membuatku ingin kabur. Tapi aku diam. Aku harus bertahan. Harus.
Plok Plok Plok!
“Itu tadi lumayan menghibur… sekarang… coba deh, usahakan tetap diam,” ucap Rayza sambil bertepuk tangan pelan, senyumnya santai tapi entah kenapa terasa mengancam.
Dengan gerakan malas, Rayza berdiri dari kursinya dan melangkah pelan ke arahku. Dia berhenti tepat di depanku. Dekat banget bahkan lengan kami hampir bersentuhan. Tubhku mendadak kaku, terutama waktu mata tajamnya menatapku lurus-lurus. Sepanjang hidupku, sekeras apa pun aku mencoba melawan, aku nggak bisa lepas dari tatapan matanya yang bikin jantung deg-degan.
Aku menahan napas. Bahkan rasanya sempat lupa cara bernapas.
Aku nggak tahu apa maunya dia dariku.
“Ah…” gumamku pelan, buru-buru kuggit bibr bawahku supaya nggak keluar suara lagi.
Rayza mengulurkan tangan dan menyntuh bhu kananku dengan punggng jarinya. Gerakannya pelan dan entah kenapa bikin bulu kudukku berdiri. Jarinya terus menyusur turun, lembut banget, nyaris nggak terasa tapi tetap bikin kulitku panas dingin.
“Apa yang kamu…lakuin?” tanyaku dengan nada heran.
“Meriksa tbuh kamu, masa nggak kelihatan?” jawab Rayza santai, seolah-olah itu hal paling wajar sedunia.
Garis yang ia buat dengan ujung jarinya di lenganku terasa hangat. Bahkan mulai berdenyut halus. Dengan senyum tipis yang susah dibaca, Rayza mengangkat lengnku. Dia pegang pergelangan tangnku, dan sekarang telapak tanganku ada tepat di depan wajahnya. Dengan tangan satunya, dia mulai mengelus pelan dari telapak, terus ke tiap jari, sabar dan lambat, seakan menikmati tiap detiknya.
Sentuhannya selembut kapas, tapi justru itu yang bikin aku gelagapan dalam hati. Saat jarinya menyentuh klitku yang terbuka, aku hampir nggak bisa nahan suara yang pengen keluar. Aku pejamkan mata kuat-kuat, berusaha mati-matian supaya mulutku tetap rapat. Rasanya kayak ada bulu halus yang nyapu klitku dengan lembut dan aku nggak bisa bohong, itu bikin aku merinding.