NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Bos Cassanova

Jerat Cinta Bos Cassanova

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Kehidupan di Kantor / CEO / Percintaan Konglomerat / Menyembunyikan Identitas / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Audy Shafira Sinclair, pewaris tunggal keluarga konglomerat, memilih meninggalkan zona nyamannya dan bekerja sebagai karyawan biasa tanpa mengandalkan nama besar ayahnya. Di perusahaan baru, ia justru berhadapan dengan Aldrich Dario Jourell, CEO muda flamboyan sekaligus cassanova yang terbiasa dipuja dan dikelilingi banyak wanita. Audy yang galak dan tak mudah terpikat justru menjadi tantangan bagi Aldrich, hal itu memicu rangkaian kejadian kocak, adu gengsi, dan romansa tak terduga di antara keduanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kegaduhan pagi hari

“Apa sebenarnya yang gadis itu lakukan padaku?” gumamnya lirih, menaruh gelas di meja.

Biasanya, Aldrich tak pernah membawa pulang hal-hal sepele seperti ini. Wanita baginya hanyalah hiburan singkat, candu yang bisa ia tinggalkan kapan saja. Tapi Audy berbeda. Ada sesuatu yang tak bisa ia singkirkan. Semakin ia mencoba melupakan, semakin wajah gadis itu muncul di benaknya.

Ia bahkan tersenyum miring, mengingat ekspresi kaget Audy saat mereka berdiri terlalu dekat di lift. “Sial, tatapan itu… polos, tapi membuat darahku panas.”

Aldrich bangkit, berjalan ke arah minibar, lalu kembali menuangkan scotch. Tapi lagi-lagi hanya ia putar-putar di gelas, tanpa diminum. Rasanya, minuman itu tak ada gunanya malam ini. Begitu pula dengan bayangan wanita-wanita yang biasanya bisa mengisi kekosongan malamnya.

“Hilang semua hasratku pada mereka,” desisnya sambil menghela napas panjang. “Yang ada hanya putri Sinclair itu.”

Ia kembali duduk, menenggelamkan diri di kursi kulit. Matanya menutup sebentar, membiarkan imajinasi liar menyeretnya lebih jauh. Ia membayangkan bagaimana jika tadi sore mereka terjebak lebih lama di lift. Bagaimana jika Audy benar-benar tak punya pilihan selain menatapnya balik. Bagaimana jika gadis itu… akhirnya luluh.

Deg.

Aldrich mendengus keras, berusaha membuyarkan khayalan itu, tapi hatinya berdegup lebih kencang dari biasanya.

“Ini gila,” katanya, menatap pantulan dirinya di kaca jendela. “Aku, terganggu oleh seorang staf junior itu.”

Namun sekeras apa pun ia mencoba menyangkal, satu hal jelas: malam itu, Audy telah resmi menghantui pikirannya.

.....

Malam terasa benar-benar panjang bagi Aldrich. Ia sudah mengganti setelannya ke piyama kasual, sudah berbaring di atas ranjang king size yang luas, tapi matanya tak kunjung terpejam.

Ia berulang kali berguling, mencoba memejamkan mata, namun setiap kali hampir terlelap, wajah Audy kembali muncul. Senyum polosnya. Tatapan matanya yang berusaha kuat. Suara khasnya saat berdebat dengannya. Bahkan aroma samar yang ia tangkap di lift sore tadi.

“Sial…” Aldrich mendengus, menatap langit-langit kamar yang gelap. “Aku tidak pernah seperti ini sebelumnya.”

Biasanya, rasa penasaran Aldrich pada seorang wanita hanya bertahan sebentar. Sekali ia dapatkan, habis sudah. Tapi Audy… ia tahu, gadis itu berbeda. Tidak akan mudah didapatkan. Dan entah kenapa, justru itulah yang membuatnya semakin tergila-gila.

Setelah berjam-jam gelisah, Aldrich bangkit dari ranjang, berjalan ke arah balkon kamarnya. Angin malam kota menusuk kulitnya, tapi pikirannya justru semakin terang. Ia sudah tahu apa yang harus dilakukan.

“Jika aku ingin dekat dengannya… aku harus menjaganya tetap dalam jangkauanku,” gumamnya, menyalakan sebatang rokok. Asap tipis melayang, namun pikirannya justru semakin tajam. “Dan cara paling tepat… adalah menjadikannya asistenku langsung.”

Aldrich tersenyum miring, senyum khas penuh perhitungan.

Ia tahu, Audy tidak mudah didekati dengan cara biasa. Gadis itu memiliki benteng tinggi, mempunyai kepolosan yang bisa jadi tameng sekaligus senjata. Tapi jika Audy bekerja tepat di sampingnya, setiap hari, setiap rapat, setiap perjalanan bisnis… cepat atau lambat, benteng itu akan retak.

“Besok pagi,” ucapnya mantap, membuang sisa rokok ke asbak. “Aku akan menemuinya. Dia mungkin akan menolak. Tapi aku, Aldrich, tidak menerima penolakan.”

Dengan keputusan bulat itu, Aldrich akhirnya kembali ke ranjang. Walau matanya tetap sulit terpejam, setidaknya kini ia memiliki tujuan yang jelas. Malam itu, ia tak lagi sekadar gelisah—ia sudah merencanakan langkah berikutnya.

Dan di kepalanya hanya ada satu nama yang terus berdengung: Audy.

_____

Pagi itu, Audy melangkah ringan ke kantor dengan kemeja putih rapi dipadu rok span navy. Rambutnya ia biarkan tergerai natural, tidak berlebihan tapi tetap menawan. Meski sempat kepikiran soal Aldrich semalam, ia berusaha fokus: hari ini harus profesional.

Begitu pintu lift terbuka di lobby, Audy melangkah masuk. Tak lama, pintu kembali menutup—dan di sanalah ia tak sengaja beradu tatap dengan seorang wanita.

Wanita itu… elegan. Berusia sekitar empat puluhan, dengan aura yang sulit dijelaskan. Senyumnya ramah, namun jelas memancarkan wibawa. Pakaiannya berkelas, heels-nya berkilau, aksesoris yang menempel di tubuhnya tampak eksklusif. Tatapan hangat itu membuat Audy sedikit kikuk.

“Pertama kali bekerja di sini?” tanya wanita itu dengan suara lembut.

Audy tersenyum sopan, “Baru beberapa hari.”

Wanita itu tersenyum lebih lebar, “Semangat, ya. Dunia kerja tidak selalu mudah, tapi jika kau kuat… akan indah juga.”

Audy mengangguk, merasa sedikit hangat di dadanya, meski belum tahu siapa wanita itu sebenarnya.

Saat lift berhenti di lantainya, Audy pamit dengan senyum, lalu berjalan menuju ruang divisi strategis. Ia tak sadar, wanita itu justru meneruskan naik—menuju lantai yang lebih tinggi.

.....

Di lantai divisi strategis, Audy baru saja tiba dan belum sempat duduk ketika Aldrich sudah berdiri bersandar di meja kerja, menunggunya. Seperti biasa, tatapannya menusuk.

“Kau terlambat dua menit,” ucap Aldrich dingin.

Audy melirik jam tangannya, “Jamku masih menunjukan tepat pukul delapan, Pak Aldrich yang terhormat.”

“Jamku lebih akurat.”

“Jamku disetel langsung dari pusat waktu internasional,” balas Audy ketus, menyilangkan tangan.

Perdebatan kecil khas mereka pun kembali pecah. Nadine dan Clara yang pagi itu sedang berada di ruangan itu hanya saling pandang, menahan tawa.

Tapi tiba-tiba… suasana berubah drastis. Pintu ruang divisi strategis terbuka, dan suara langkah anggun terdengar. Semua kepala spontan menoleh.

Wanita yang Audy temui di lift tadi masuk dengan senyum tenang. Seketika, seluruh karyawan berdiri dan menunduk hormat. Nadine berbisik cepat pada Audy yang kebingungan,

“Itu… Ibu Helena. Ibunya Pak Aldrich.”

Audy tercekat, tubuhnya kaku. Matanya melebar tak percaya. Jadi… wanita cantik glamour itu, yang menatapnya ramah di lift tadi… adalah ibu dari bos super menyebalkan sekaligus menakutkan itu?!

Helena berjalan mendekat, matanya langsung menemukan Aldrich. “Kau selalu saja sibuk, Nak. Pagi-pagi sudah membuat gaduh.” Senyumnya lalu bergeser ke Audy—senyum yang membuat Audy semakin bingung harus bereaksi bagaimana.

Dan untuk pertama kalinya, Audy melihat Aldrich yang biasanya dingin itu… sedikit gugup di depan ibunya.

Helena berdiri anggun di tengah ruangan, matanya menelisik ke arah putranya. Tatapannya ramah, tapi suaranya mengandung nada menuntut.

“Aldrich, putraku...” ucapnya pelan namun tegas, “mana gadis yang kau janjikan akan kau kenalkan pada Mama? Sudah lewat dari waktunya. Jangan bilang kau masih berputar dengan urusan kerja dan melupakan hal yang Mama tunggu.”

Ruangan seketika sunyi. Nadine dan Clara bahkan langsung menunduk dalam-dalam, pura-pura sibuk dengan berkas yang mereka bawa. Audy, yang sedari tadi berdiri canggung, hanya bisa membeku di tempat. Ia sama sekali tidak paham maksud pembicaraan itu—dan jelas sekali ini bukan urusannya.

Namun sebelum ia sempat mundur pelan-pelan, Aldrich tiba-tiba melangkah cepat ke arahnya. Dalam hitungan detik, lengan kekar itu sudah merangkul pinggang Audy erat-erat, membuat gadis itu refleks menatapnya dengan mata membelalak.

Tatapan maut Audy langsung menghunus Aldrich, wajahnya merah padam. Namun pria itu hanya menunduk sedikit, berbisik nyaris tak terdengar di telinganya, memberi kode.

“Tenanglah. Ikuti permainanku. Ini hanya sementara.”

Audy berdehem keras, berusaha menutupi kegugupan yang mendadak menyerang. Rasanya jantungnya seperti genderang perang pagi itu.

Aldrich menoleh pada ibunya, senyum tipis penuh kendali tersungging di bibirnya.

“Mama,” ucapnya datar, “inilah gadis yang ingin aku kenalkan. Namanya Audy.”

Helena menatap keduanya dengan sorot tajam penuh penilaian. Ada binar geli di matanya, seolah menemukan sesuatu yang menarik.

“Oh…” Helena tersenyum samar. “Jadi ini gadisnya?”

Audy spontan ingin melepaskan diri, ingin menyangkal keras-keras, tapi genggaman Aldrich di pinggangnya semakin kuat. Nadine dan Clara yang melihatnya hampir menjerit dalam hati, menahan tawa sekaligus rasa kaget—saking absurdnya situasi ini.

Dan Audy hanya bisa berdiri di sana, senyum kaku terpajang di bibir minimalisnya, sambil terus melotot pada Aldrich. Dalam hatinya, ia bersumpah: bos menyebalkan satu ini harus bertanggung jawab jika drama konyol ini berlanjut!

1
Itse
penasaran dgn lanjutannya, cerita yg menarik
Ekyy Bocil
alur cerita nya menarik
Stacy Agalia: terimakasih 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!