Jerat Cinta Bos Cassanova

Jerat Cinta Bos Cassanova

Putri Konglomerat Turun Gunung

Pagi itu, Audy Shafira Sinclair menatap bayangan dirinya pada cermin besar nanti aesthetic yang terpampang di kamarnya. Gadis itu menarik napas dalam, lalu mengibaskan rambut panjangnya yang baru saja ia ganti warna gelap semalam. Audy bergaya dramatis, seakan sedang bersiap masuk catwalk. Namun, bukannya ke panggung peragaan busana, hari ini ia siap untuk masuk ke dunia yang sama sekali asing baginya: dunia pencari kerja.

“Ya Tuhan… hari ini aku resmi menjadi rakyat jelata,” gumamnya sambil meraih kemeja putih sederhana. “Selamat tinggal gaun pesta, halo blazer murah diskon lima puluh persen.”

Audy tertawa sendiri, lalu merapihkan kertas lamaran yang sudah disusunnya semalam. Tiga perusahaan asing menjadi targetnya hari ini. Semua tanpa embel-embel nama besar “Sinclair” yang biasanya membuka pintu dengan mudah. Audy ingin merasakan perjuangan sesungguhnya, lengkap dengan deg-degan antre interview dan kemungkinan ditolak HRD dengan tatapan seperti sedang di ospek.

Saat turun ke ruang makan, ia mendapati sang ayah, David Sinclair, sedang membaca koran dengan wajah serius. Dengan jas rapih dan aura berwibawa, pria itu tampak lebih seperti presiden direktur abadi daripada seorang duda berusia lima puluh tahun.

“Oh... Daddyku yang tampan mempesona, selamat pagi,” sapa Audy sambil duduk.

David melipat korannya dan menatap putrinya penuh rasa ingin tahu. “Selamat pagi, putri cantik Daddy. Kau mau pergi ke mana dengan penampilan seperti itu? Kau tidak terlihat seperti akan menghadiri jamuan makan siang, lebih seperti mau menghadiri rapat staf.”

“Itu memang tujuanku, Daddy,” jawab Audy mantap. “Hari ini aku akan memasukkan lamaran pekerjaan.”

David mengangkat alis. “Lamaran pekerjaan? Sayang, Daddy sudah memberimu kesempatan emas untuk mengelola cabang perusahaan di Singapura. Kenapa kau justru membuang waktumu dengan hal semacam ini?”

Audy meneguk jus jambunya sebelum menjawab. “Karena aku tidak ingin hidupku terlalu mudah, Dad. Aku ingin merasakan antre interview, menunggu panggilan HRD, bahkan mungkin dimarahi bos galak. Aku ingin merasakan semua hal yang orang normal rasakan.”

David terkekeh, menatapnya lama, lalu menghela napas panjang. “Jadi kau lebih memilih dimarahi bos galak daripada duduk manis di kursi direktur?”

“Ya,” jawab Audy cepat. “Terdengar aneh, bukan? Tapi aku ini putri Daddy. Aku Audy Sinclair. Gadis yang menyukai tantangan.”

David meletakkan kornet sapi yang baru saja ia potong, menatap putrinya dengan raut tak percaya. “Audyku, kau memang aneh. Biasanya orang mati-matian mencari kemudahan, kau justru berlari mengejar kesulitan.”

Audy tersenyum penuh percaya diri. “Daddy sendiri yang sering berkata bahwa hidup itu harus diperjuangkan. Nah, aku sedang berusaha memperjuangkan hidupku saat ini. Jadi biarkan aku mencoba.”

David terdiam sejenak, lalu akhirnya mengibaskan tangan seakan menyerah. “Baiklah. Tapi jika suatu hari kau menangis karena ditolak bos galakmu itu, jangan datang pada Daddy sambil berkata Daddy benar.”

“Tenang saja,” sahut Audy sambil mengangkat dagu. “Aku akan menangis diam-diam di toilet kantor, bukan di hadapan Daddy.”

David memutar bola matanya, lalu menyembunyikan senyumnya di balik cangkir kopi.

_____

Siang itu, Audy sudah berdiri di depan gedung tinggi dengan kaca berkilau. Tangannya menggenggam map biru berisi CV, sementara jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia melangkah masuk, disambut lobi megah dengan antrean orang-orang berpenampilan rapih.

“Jadi begini antre interview…” gumam Audy, menatap antrean panjang. “Ternyata mirip antre beli tiket konser, hanya saja tidak ada teriakan histeris.”

Ia ikut duduk di kursi kosong. Seorang pria di sampingnya melirik dan bertanya, “Kau melamar juga?”

Audy tersenyum sopan. “Ya, aku melamar untuk posisi staf administrasi.”

Pria itu menatapnya heran. “Aku kira kau melamar jadi model majalah bisnis. Penampilanmu terlalu… wah. Kau berbeda dari yang lain.”

Audy tertawa kecil. “Aku hanya mencoba peruntunganku. Semoga penampilan tidak membuatku gagal. Zaman sekarang melamar pekerjaan juga harus good looking, bukan?”

Tak lama kemudian, namanya dipanggil. Audy melangkah ke ruang interview dengan dagu terangkat, meski hatinya terasa ingin melompat keluar. Tiga orang pewawancara menatapnya datar, seakan bisa menebak isi kepalanya hanya dari tatapan.

“Selamat siang, Nona Audy Shafira,” sapa salah satu dari mereka. “Silakan perkenalkan dirimu.”

Audy tersenyum manis. “Selamat siang. Namaku Audy Shafira. Aku baru lulus dari jurusan Business Management. Aku terbiasa bekerja dalam tim, cukup teliti, dan aku selalu siap belajar hal baru.”

Pertanyaan demi pertanyaan mengalir. Ada yang membuatnya bisa menjawab lancar, ada pula yang membuatnya terdiam sesaat sebelum menemukan jawaban. Namun, Audy tetap berusaha terlihat percaya diri.

Saat keluar dari ruangan, ia menghembuskan napas lega. “Astaga… ternyata ini lebih menegangkan daripada presentasi skripsi.”

Di luar, antrean masih panjang. Audy menatap map kosongnya dan tersenyum kecil. “Aku sudah melamar di tiga perusahaan hari ini. Semoga salah satunya mau menerimaku, meski aku tidak punya pengalaman kerja selain menjadi pewaris konglomerat.”

Ia berjalan keluar gedung dengan langkah ringan, meski sepatu haknya mulai menyiksa. Namun, di balik rasa lelah itu, Audy merasa hidupnya baru saja dimulai.

Hari ini ia bukan lagi sekadar putri konglomerat. Ia adalah Audy Shafira, gadis biasa yang siap menantang dunia kerja—bos galak, jam lembur, dan semua kekacauan yang menanti di depan.

Dan bagi Audy, itu justru terdengar menyenangkan.

_____

Sore itu, Audy sudah duduk manis di sebuah café bergaya modern dengan dinding bata ekspos dan lampu gantung industrial. Aroma kopi bercampur dengan suara denting sendok di gelas, menciptakan suasana hangat yang cocok untuk melepas penat.

Di hadapannya, Zoey—bestie sejak SMA hingga kuliah—baru saja datang dengan gaya khasnya: blazer pink muda dipadu celana cutbray putih, rambut pendeknya ditata rapih, dan tas mungil menggantung di bahu.

“Audy! Kau terlihat seperti pekerja kantoran sungguhan,” seru Zoey begitu melihat sahabatnya.

Audy berdiri menyambut, lalu memeluk Zoey dengan hangat. “Dan kau terlihat seperti bos salon yang baru saja menandatangani kontrak iklan sampo.”

Zoey tertawa keras. “Hei, jangan bercanda. Aku memang baru saja mendapat pelanggan tetap yang lumayan banyak. Rasanya menyenangkan, sekaligus membuatku ingin menangis.”

Keduanya duduk, lalu memesan minuman. Audy memilih cappuccino, sementara Zoey memesan matcha latte. Setelah pelayan pergi, Zoey langsung mencondongkan tubuhnya dengan ekspresi penuh gosip.

“Ceritakan padaku. Bagaimana rasanya melamar kerja pertama kali?” tanya Zoey.

Audy menghela napas panjang, lalu menopang dagunya. “Seperti menghadapi pengadilan. Tiga orang duduk berjajar, menatapku seolah aku pencuri ayam. Aku menjawab dengan tenang, tapi di dalam hatiku aku sudah menulis surat wasiat.”

Zoey menahan tawa, lalu menepuk meja. “Astaga, Audy! Kau biasanya begitu percaya diri. Jadi benar-benar menegangkan, ya?”

“Menegangkan sekaligus memalukan,” jawab Audy jujur. “Salah satu pewawancara bertanya, apa pengalaman kerja yang paling berkesan. Hampir saja aku menjawab, ‘mengatur jadwal shopping Daddy agar tidak bentrok dengan gala dinner’. Untung aku masih punya akal sehat.”

Zoey langsung meletupkan tawa hingga hampir menyemburkan minumannya. “Kau gila! Kalau kau menjawab itu, sudah pasti mereka langsung mengusirmu.”

Audy ikut tertawa, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku tahu. Tapi serius, Zoey, aku merasa… hidup. Kau tahu maksudku? Rasanya berbeda saat tidak ada yang memanggilku ‘Putri Sinclair’. Hari ini aku hanya Audy, gadis biasa dengan map lamaran di tangan.”

Zoey menatapnya penuh arti. “Aku mengerti. Kau memang selalu ingin keluar dari bayang-bayang nama besar keluargamu. Dan aku kagum, Audy. Kau berani melakukannya.”

Audy tersenyum kecil, lalu menatap sahabatnya. “Sekarang giliranmu. Bagaimana rasanya menjadi pemilik salon?”

Zoey mendesah, lalu menyandarkan tubuhnya. “Awalnya aku pikir akan menyenangkan. Duduk cantik, pelanggan datang, staf bekerja. Nyatanya, aku malah ikut cuci rambut pelanggan karena stafku kabur saat jam sibuk.”

Audy terbelalak. “Apa? Owner salon mencuci rambut pelanggan?”

Zoey mengangguk pasrah. “Ya, dan lebih parahnya, pelanggan itu malah bilang aku keramasinya terlalu keras. Masih bagus aku tidak berkata, ‘kau bersyukur saja kepalamu tidak jatuh ke wastafel’.”

Audy menutup mulutnya, tertawa sampai matanya berkaca-kaca. “Astaga, Zoey, kau sungguh luar biasa. Aku bisa membayangkan ekspresimu saat itu.”

Zoey ikut tertawa, meski wajahnya masih menyimpan lelah. “Tapi jujur, meski melelahkan, aku bahagia. Aku merasa ini benar-benar usahaku. Walaupun orang tuaku yang mendirikan salon itu, aku yang menjalaninya. Rasanya berbeda saat melihat pelanggan pulang dengan tersenyum.”

Audy menatap sahabatnya dengan bangga. “Kau tahu, Zoey, kita berdua sama-sama aneh. Aku menolak jadi direktur cabang, kau rela jadi tukang cuci rambut di salonmu sendiri. Tapi kita bahagia, bukan?”

Zoey mengangkat cangkirnya. “Untuk kebahagiaan para wanita aneh yang menolak jalan mudah!”

Audy ikut mengangkat cangkirnya dan menempelkan ringan pada cangkir Zoey. “Untuk Audy dan Zoey, dua orang gila yang memilih jalan berliku.”

Keduanya tertawa bersama. Di tengah hiruk pikuk café, momen itu terasa hangat. Dua sahabat yang memilih menantang hidup dengan cara mereka sendiri, meski dunia mungkin menganggapnya aneh.

Mereka tidak tahu, di balik perjalanan penuh tawa ini, hidup Audy sebentar lagi akan dipenuhi dengan kekacauan yang jauh lebih heboh—saat seorang bos flamboyan dan cassanova bernama Aldrich Dario Jourell masuk ke kehidupannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!