1. Terjebak dalam Siklus Kematian & Kebangkitan – Tokoh utama, Ning Xuan, berulang kali mati secara tragis dimangsa makhluk gaib (berwujud beruang iblis), lalu selalu kembali ke titik awal. Ini menghadirkan rasa putus asa, tanpa jalan keluar.
2. Horor Psikologis & Eksistensial – Rasa sakit saat dimakan hidup-hidup, ketidakmampuan kabur dari tempat yang sama, dan kesadaran bahwa ia mungkin terjebak dalam “neraka tanpa akhir” menimbulkan teror batin yang mendalam.
3. Fantasi Gelap (Dark Fantasy) – Kehadiran makhluk supranatural (beruang iblis yang bisa berbicara, sinar matahari yang tidak normal, bulan hitam) menjadikan cerita tidak sekadar horor biasa, tapi bercampur dengan dunia fantasi mistis.
4. Keterasingan & Keputusasaan – Hilangnya manusia lain, suasana sunyi di kediaman, dan hanya ada sang tokoh melawan makhluk gaib, mempertegas tema kesendirian melawan kengerian tak terjelaskan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ijal Fadlillah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 – Membantai Iblis
“Huff… huff…”
“Huff… huff… huff…”
Suara napas Beruang Iblis berat dan kasar, bagaikan hembusan bellow tua yang rusak, namun ia tak berani menarik napas terlalu keras. Kedua cakarnya bergerak bersamaan, merobek-robek belukar dan ilalang dengan panik, berlari terhuyung-huyung, jatuh bangun, terus merangkak kabur.
Luka-lukanya sudah berubah menjadi gumpalan darah lengket, bulunya penuh tanah, serpihan kayu, potongan sulur, dan getah rerumputan.
Sesekali ia menoleh ke belakang.
Setiap kali menoleh, ia dapat menatap tepat ke arah posisi Ning Xuan.
Ning Xuan hanya menggenggam pedang pemenggal binatang dengan santai, mengikuti dari belakang tanpa terburu-buru.
Namun, ketika ia sadar bahwa meski dalam keadaan seperti itu, beruang kecil itu masih bisa mendeteksi keberadaannya, Ning Xuan pun mengeluarkan suara serak, berteriak dari kejauhan:
“Bodoh! Hidup itu milikmu sendiri! Musuhmu adalah pemimpinmu, bukan aku. Kalau mau selamat, kenapa tidak cepat-cepat kembali ke sarangmu?”
Beruang kecil itu memang tak bisa berbicara, tapi ia bisa mengerti.
Dan ia merasa ucapan itu masuk akal.
Awalnya ia masih ragu, haruskah ia membawa musuh menakutkan ini kembali ke sarangnya?
Namun kini, ia tak ragu lagi.
Ia langsung mengubah arah, keempat kakinya menjejak tanah, lalu melesat cepat menuju kedalaman gunung tua itu.
Ning Xuan menggenggam erat pedangnya, terus mengekor dari belakang.
Tak lama kemudian, setelah kira-kira satu batang dupa waktu, beruang kecil itu akhirnya sampai di suatu tempat yang sepertinya aman. Ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengeluarkan raungan keras ke langit.
“Graaaawrr!!!”
Begitu raungan itu berakhir, tubuhnya pun ambruk ke tanah dengan “bumm”.
Dari dalam gua besar nan gelap, beberapa sosok raksasa segera berlari keluar. Begitu mereka merangkak keluar, tubuh mereka tegak berdiri, menampakkan mata liar yang ganas, lalu menatap tajam ke satu arah.
Di sana, Ning Xuan berdiri di atas puncak bukit tinggi cukup jauh sehingga para beruang tak bisa langsung menyerangnya.
Ia sengaja mengikutinya sampai sini, lalu sedikit mengubah jalur, mendaki bukit terdekat agar bisa memandang ke bawah.
Ia hanya ingin memastikan di mana sarang para beruang ini berada, sambil mengamati kekuatan mereka. Barulah ia bisa menentukan langkah berikutnya.
Ia memang tak pernah mendengar ceramah “standar pengepungan perampok” ala Han Ba, tapi ia tahu cara melakukan uji coba.
Jika para beruang ini benar-benar terlalu kuat, jumlah mereka terlalu banyak, maka ia tidak akan nekat. Ia akan kembali ke kota, memantau keadaan. Jika keadaan memburuk, ia bisa kapan saja mengajak keluarganya kabur. Jika itu pun tak mungkin, ia akan mengemas semua perak dan emas, memenuhi buntalan dengan surat-surat perak, lalu membawa ibunya pergi.
Ibunya yang melahirkannya dan membesarkannya kapan pun, Ning Xuan tidak mungkin meninggalkannya.
Adapun Han Lao dan yang lainnya, Ning Xuan tidak menaruh harapan besar. Karena senjata mereka masih berada dalam kategori umum dunia persilatan: “Jarum Hujan Badai”, “Busur Besar Penembak Rantai”, dan sebagainya.
Senjata itu memang bisa melukai Beruang Gunung Perusak. Tapi… sangat sulit.
Sebab, senjata tajam itu hanya akan berguna bila mengenai sasaran yang diam, dan tepat di bagian wajah. Kalau tidak, berapa pun banyaknya panah yang ditembakkan hanya akan seperti menghantam dinding baja dan tak ada hasil sama sekali.
Dalam mimpi buruknya, ia sudah mencoba berkali-kali, bereksperimen dengan jebakan gantung, ditambah keunggulan pengetahuan dari “Peramal Reinkarnasi”, barulah ia berhasil.
Tentu saja, Han Lao dan kelompoknya mungkin juga memiliki semacam “kekuatan luar biasa”.
Namun, dari tingkat kewaspadaan mereka, ditambah fakta bahwa kemarin begitu banyak orang mati di kota, Ning Xuan merasa sekalipun mereka punya kekuatan itu, hasilnya belum tentu bisa diandalkan.
Ia tak ingin menyerahkan hidup dan matinya pada orang lain.
Karena itu, ia harus mencobanya sendiri.
Ia harus benar-benar, dengan sungguh-sungguh, mengerahkan segalanya untuk menguji satu langkah.
Setelah uji coba itu, ia akan tahu mereka itu bisa dilawan atau tidak.
Di atas ketinggian, mata pemuda itu berkilat-kilat, penuh keraguan dan perhitungan.
Di bawah sana, beberapa beruang raksasa yang berdiri tegak itu juga menatapnya dengan penuh kebuasan.
Tiba-tiba, mereka serempak menyingkir ke samping. Dari dalam gua yang gelap pekat itu, terdengar dentuman demi dentuman keras.
“BOOM! BOOM! BOOM!”
Suara itu bagaikan genderang perang yang menghantam jantung.
Tak lama kemudian, seekor beruang hitam raksasa setinggi lebih dari sepuluh kaki muncul keluar.
Beruang ini jauh lebih tinggi, lebih besar, dan lebih kuat daripada semua beruang lainnya!
Di tangan kirinya, ia menggenggam setengah tubuh manusia. Ia memegang kaki korban, sementara tubuh itu sudah tercabik kasar, setengah leher masih menempel dengan setengah kepala. Bola matanya yang menonjol masih menyimpan ketakutan mendalam. Pakaian wanita itu belum sepenuhnya tercabik, dari bentuk tubuhnya masih terlihat jelas bahwa semasa hidupnya ia adalah seorang wanita cantik.
Namun yang lebih mengerikan potongan di leher dan kepala itu tampak sangat mulus, seolah ditebas benda tajam. Sama sekali berbeda dengan bekas cabikan kasar di tubuhnya.
Tatapan Ning Xuan menajam, menyorot ke arah cakar hitam berkilat milik beruang raksasa itu tajam laksana bilah pisau.
Pupilnya sedikit menyempit.
Begitu beruang hitam itu berhenti, para beruang lainnya segera mendekat dengan penuh hormat, berbisik pelan, seolah memberi laporan.
Beruang hitam itu mendengar semuanya, lalu tanpa ekspresi melemparkan setengah tubuh manusia yang tadi digenggamnya. Kepalanya menoleh, sorot matanya yang dingin menancap tepat ke arah posisi Ning Xuan.
Manusia dan iblis itu saling bertatapan dari kejauhan. Suasana kaku, berat, seperti para jenderal sebelum pertempuran besar.
Tiba-tiba, beruang hitam itu menginjakkan cakarnya ke tanah.
“BOOOM!!”
Tanah bergetar hebat, suara ledakan menggelegar. Dalam sekejap, tubuh beruang itu berubah menjadi pusaran angin hitam yang bercampur dengan suara petir, menyapu langsung ke arah Ning Xuan.
Andai ada orang lain di sana, mereka pasti tidak akan bisa menangkap wujud beruang itu. Yang terlihat hanyalah pepohonan di mulut gua yang seketika patah baik tinggi maupun rendah, besar maupun kecil semuanya dihancurkan dengan mudah. Batu-batu sebesar rumah pun hancur menjadi serpihan kecil.
Yang tersisa hanyalah gulungan debu hitam pekat, membawa aura petir yang menggetarkan jiwa.
Di mata beruang hitam itu, manusia aneh yang berdiri tegak di atas bukit seolah membeku ketakutan.
Ia semakin dekat.
Teknik rahasianya, ilmu bawaan yang diwariskan dari darah bahkan lawan yang setara pun takkan mampu menahannya secara langsung.
Saat jarak tinggal sepuluh langkah, bocah itu tiba-tiba bergerak.
Gerakan yang membuat mata beruang membelalak tak percaya.
Kecepatannya bukan hanya luar biasa cepat, tapi juga penuh kelicikan dan keindahan. Tubuhnya condong ke belakang dengan sudut yang mustahil, seolah hampir jatuh, namun kaki-kakinya seperti dilumuri minyak, meluncur mundur dengan keluwesan tak terbayangkan.
Namun, beruang hitam tak peduli. Ilmu bawaan miliknya tak peduli siapa pun korbannya. Selama bertabrakan, lawannya pasti akan remuk!
“ROAAARRR!!”
Raungan mengguncang langit. Beruang itu terus mendekat, menekan habis-habisan.
Ning Xuan pun terus mundur, seolah terdesak.
Tiba-tiba langkahnya goyah, seperti tersandung sesuatu.
Mata beruang bersinar penuh ejekan. Kesempatan emas! Saat musuh tergelincir, itulah saat kematian!
“DIEEERRR!!”
Dengan taring menganga, beruang itu meloncat tinggi. Dua lengannya terbentang bak busur baja yang ditarik penuh, kedua cakarnya mengayun dari atas, hendak meremukkan bocah itu.
Matanya buas, cakarnya mengerikan, di ujung bibirnya masih menempel sisa daging manusia berlumuran darah segar yang menetes.
Itulah serangan instingtif seekor predator ganas, hantaman pemburu yang paling mematikan.
Namun pada detik itu juga bocah itu tiba-tiba berhenti mundur.
Tubuhnya berputar cepat, seperti gasing yang diputar keras. Dua tiga langkah saja, ia sudah berbalik, kecepatannya melonjak hingga ke puncak.
Di tangannya, pedang panjangnya bergetar, terangkat, menantang angin!
Beruang hitam itu menyeringai meremehkan, air liurnya menetes.
Ia mengerahkan sepenuhnya kekuatan ilmu bawaannya “Xiong Pi Beng Yue” (Beruang Gunung Penghancur Bukit) untuk menekan pedang itu hingga hancur berkeping-keping.
Namun…
Benturan yang diharapkannya tak terjadi.
Sebaliknya, rasa dingin menusuk tajam merobek tubuhnya.
Pedang itu bukan hanya mematahkan ilmu bawaannya, tapi juga menembus kulit yang selama ini kebal terhadap senjata. Bilahnya menyusup dari telapak cakar, lalu menusuk deras ke arah kepala!
Dari ujung pedang, beruang itu merasakan energi yang begitu akrab, itu adalah kekuatan ilmunya sendiri!
Namun kali ini, tenaga yang keluar dari pedang itu jauh lebih terfokus, lebih tajam, lebih menakutkan dibanding aslinya.
Mata mungil berwarna hijau pupus itu melebar, dipenuhi rasa tidak percaya dan teror.
“Braaakk!!”
Suara mengerikan terdengar. Tengkorak kerasnya pecah, rasa sakit yang menusuk kepala meledak tak tertahankan.
Dalam sekejap…
“DUUUMMM!!”
Ning Xuan menghunus pedangnya, menusuk miring, menembus tubuh beruang hitam itu.
Dengan satu tangan saja, ia mengangkat dan menahan tubuh raksasa itu.
Bilah pedang menembus telapak cakar hingga kepala, ujungnya keluar di bagian belakang tengkorak. Darah segar menyembur liar, menyulut udara dengan warna merah menyala. Bersamaan dengan itu, cairan otak dan pecahan tulang kepala berhamburan ke segala arah.
Satu tebasan. Satu iblis binasa.