NovelToon NovelToon
Jati Pengantin Keramat

Jati Pengantin Keramat

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Tumbal
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Septi.sari

Gendhis Banuwati, wanita berusia 20 tahun itu tidak percaya dengan penyakit yang dialami sang Ayah saat ini. Joko Rekso, dinyatakan mengalami gangguan mental, usai menebang 2 pohon jati di ujung desanya.

Hal di luar nalar pun terjadi. Begitu jati itu di tebang, darah segar mengalir dari batangnya.

"KEMBALIKAN TUBUH KAMI KE TEMPAT SEMULA!"

Dalam mimpi itu, Pak Joko diminta untuk mengembalikan kayu yang sudah ia tebang ke tempat semula. Pihak keluarga sempat tak percaya. Mereka hanya menganggap itu layaknya bunga tidur saja.

Akan tetapi, 1 minggu semenjak kejadian itu ... Joko benar-benar mendapat balak atas ulahnya. Ia tetiba menjadi ling lung, bahkan sampai lupa dengan jati dirinya sendiri.

2 teman Pak Joko yang tak lain, Mukti dan Arman ... Mereka juga sama menjadi gila.

Semenjak itu, Gendhis berniat mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan tempat yang di juluki dengan TANAH KERAMAT itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jati Keramat 1

Sendang Wangi~ Dok Tahun 1970.

"Bu ... Ningsih sama Mas Rusman berangkat dulu, ya!" Ucap Ningsih setelah keluar dari kamar pengantinya.

Pagi ini, keluarga Bu Nimas-Ibunda Ningsih sedang mengadakan acara kunjungan ke besanya, yang dimana menurut adat desa, memberikan sebuah nasi lengkap beserta lauk pauknya, yang nanti akan diantarkan oleh kedua pasang pengantin.

"Sih ... Ini, Ibu sudah siapkan semuanya! Nanti kalian diantar sama Mas Darman, ya? Nggak baik soalnya kalau kalian berdua jalan sendiri!" jawab Bu Nimas sambil menata nasi tadi diatas bakul besar.

Rusman sudah keluar dari kamar. Ia kini duduk di kurai kayu sederhana, dengan alas lantai tanah. Di Desa itu, bukan hal aneh, karena rumah penduduk masih banyak dari anyaman bambu, maupun kayu. Alasnya pun juga sama saja, masih banyak yang tanah.

"Nggak usah, Bu! Lagian, rumahnya Emak deket kok! Nanti biar Ningsih dan Mas Rusman jalan hati-hati saja!" tolak Ningsih yang tidak ingin merepotkan orang lain.

Sambil menggeser bakul besar tadi, Bu Imas terlihat cemas. Sorot matanya menahan resah, takut terjadi suatu hal yang tidak ia inginkan.

Rusman kini bangkit, "Benar, Bu! Nanti malah repoti Mas Arman saja! Lagian, Mas Arman juga nanti mau ke kebun buar panen padi."

"Ya sudah ... Kalau begitu kalian hati-hati, ya! Ingat pesan ibu ... JANGAN MAMPIR, HANYA UNTUK BERTEDUH! Kalau capek, ditahan ... Biar cepat sampai!" Bu Imas sangat mewanti putri serta menantunya, agar tidak lengah oleh keadaan.

"Kami pamit, Bu!" Ningsih sudah menggendong bakul nasi tadi menggunakan selendang batik milik Ibunya.

Bu Imas menatap miris, masih berdiri diambang pintu, sambil melambaikan tangan lemah. Dalam batinya yang terdalam, doa terpanjatkan untuk keselamatan mereka berdua.

Pukul 7 pagi, dan keadaan masih terasa sunyi, mengingat desa Sendang masih asri dengan banyaknya pepohonan besar. Rumah disana pun masih terlihat jarang.

Pagi itu, tidak ada yang mejanggal dalam perjalanan mereka. Ningsih maupun Rusman berjalan penuh dengan rasa cinta. Jalanan kecil penuh dengan batu kerikil, kini menjadi saksi betapa mesranya kedua pengantin baru itu.

"Permisi, mari Bu!" Sapa Ningsih, begitu ia melewati rumah warga yang didepanya ada wanita menyapu.

Wanita parubaya itu hanya mengangguk lemah saja. Wajahnya datar tanpa ekspresi apapun. Panggil saja ia Bu Wuluh, orang terpandang se Desa Sendang itu. Rumahnya sudah tembok, dan hanya di cat putih tulang saja. Lantainya juga sudah di keramik. Rumah dengan adat joglo besar itu ... Penuh dengan nuansa mistis.

Seorang pria tua keluar. Namanya Pak Seno. Saat ini kedudukannya sebagai kepala Desa disana.

"Itu kan putrinya Bu Imas, yang 3 hari lalu di nikahkan, Bu? Kok jalan sendiri? Apa nggak takut sama mitos Desa sini?" Ucap Pak Seno ketika sudah duduk diteras. Netranya masih memandang lurus, yang dimana kedua pengantin tadi semakin berjalan jauh tertelan pohon-pohon besar.

"Biarkan saja! Anak jaman sekarang, susah dikasih tahu!" Acuh Bu Wuluh, masih menyapu pelataran rumahnya degan sapu lidi itu.

Namun begitu Pak Seno kembali masuk kedalam, Bu Wuluh tiba-tina membuang sapu lidinya tadi. Sorot matanya seakan mengikuti langkah kedua pengantin tadi dari belakang.

"Apa capek, Dek?" tanya Rusman menatap istrinya sekilas.

Ningsih tersenyum. Ia menggelengkan kepalanya, "Belum, Mas!"

"Iya, kalau capek ditahan, ya! Ingat kata Ibu!" Rusman kembali mengingatkan wejangan mertuanya tadi.

Rumah kedua orang tua Rusman tidak terlalu jauh, karena tetangga desa dari Desa Sendang. Namun karena mereka berdua jalan kaki ... Hal itu membuat keringat mengalir di pelipis Ningsih.

Pada saat itu, kendaraan masih sangat jarang sekali. Di Desa Sendang, hanya ada 3 orang yang memiliki kendaraan. Itu pun, tidak mewah. Dan hanya orang berada yang memiliki motor butut itu.

Karena terdapat sebuah truk yang sedang memuat beberapa pohon tebu, dan posisinya berada di tengah jalan, mau tidak mau Ningsih mengajak Rusman melewati jalanan di ujung Desa. Meski terkenal angker, namun Ningsih yakini jika pagi pasti banyak orang yang berlalu lalang pergi ke sawah.

Entah mengapa, disaat Ningsih baru menginjakan kakinya di awal jalan itu, seolah banyak pasang kasat mata yang sedang menyambutnya. Angin tiba-tiba berhembus lirih, hingga membuat anak rambutnya menyibak.

Seharusnya, hal yang ia rasakan adalah dingin. Namun tidak dengan Ningsih. Pikirnya, mungkin efek berjalan cukup jauh jadi banyak mengeluarkan keringat. Nafas Ningsih menajadi tak beratur, hingga terpaksa membuatnya berhenti.

"Mas ... Aku capek! Kita berteduh disana, Yuk!" Tunjuk Ningsih pada pohon besar yang cukup rindang itu.

Rusman sampai ikutan mengelap keringat istrinya Itu. Sejujurnya ia tidak setuju. Namun karena melihat wajah Ningsih teramat lelah, jadi Rusman menyetujui.

Seakan ada yang menghampirkan kedua pengantin tadi, hingga Ningsih dan Rusman berjalan kearah pohon besar tadi.

Baru saja mereka berdua menginjakan tanah Keramat itu, tiba-tiba ... Langit yang semula cerah, kini mendadak gelap dengan sapuan angin kencang. Kilap dalam langit juga saling memancar, bersahutan tanpa henti.

DUAR!

Satu kilatan besar itu memancar, hingga percikan kecil itu tiba ditanah, pas dibawah kedua kaki sepasang pengantin tadi.

Ningsih sudah cemas. Wajahnya ketakutan, dan saling tatap dengan suaminya. Hingga ... Kilatan kedua itu, mereka berdua tiba-tiba berteriak.

Aww ....!!!!

Jeritan miris itu, menjadi akhir dari segalanya.

Dan setelah beberapa menit kemudian, langit kembali cerah. Namun tidak dengan dua pohon jati yang tiba-tiba muncul itu. Keduanya berdiri tegap, menyangga beberapan ranting, dan beberapa bunga kering diatasnya, bagaikan mahkota tusuk pengantin.

Dan disinilah tempat JATI KERAMAT .

.................

Sendang Wangi~Tahun 1990.

Pagi itu, suasana desa Sendang Wangi sedang cerah-cerahnya. Mengingat tadi malam desa itu habis di guyur hujan, jadi udaranya terasa sejuk.

Sama seperti aktivitas biasanya, dibalik rumah petak dengan dinding anyaman bambu itu, keluarga kecil Pak Joko sedang melakukan sarapan bersama.

Di sana ada Gendhis, putri sulung Pak Joko yang sedang membantu Ibunya membawa sebakul nasi kedepan. Sementara Aini, bungsu dari Pak Joko itu baru terbangun, dan langsung duduk disamping Ayahnya. Usianya selisih 10 tahun dari usia sang Kakak-Gendhis.

Keluarga kecil itu sarapan dengan tenang, meskipun hanya di temani rebusan daun ubi dan cocolan sambal bawang saja.

"Bu ... Nanti Bapak di suruh buat nebang pohon jati sama Pak lurah!" Seru Pak Joko setelah selesai sarapan.

"Nebang di mana memangnya, Pak?" tanya Bu Siti sambil membereskan sisa makanan yang tercecer diatas tikar.

Gendhis tampak menyimak obrolan kedua orang tuanya itu.

"Di ujung desa, Bu! Nanti juga ada Arman dan Mukti yang ikut." Timpal kembali Pak Joko.

Bu Siti agak cemas. "Di ujung desa? Bukanya itu tempat Jati Keramat, ya Pak? Kalau bisa nggak usah ikut deh Pak! Ibu khawatir, kalau nanti terjadi apa-apa."

"Emangnya, di ujung desa ada apa sih, Bu? Padahal 'kan, Gendhis juga sering melewati tempat Keramat itu." Ucap Gendhis mencoba menyangkal semua ucapan Ibunya. "Oh ya, Pak! Memang sih ... Disana ada dua pohon jati besar banget! Mungkin kalau di jual, nilai harganya tinggi!"

Hust!!!

Bu Siti memotong ucapan putrinya. "Kamu jangan ngawur, Ndis! Itu Jati Keramat! Menurut mitos warga sini, dua jati itu bukan sembarang jati. Ada yang menjaganya!"

*

*

*

Hai kak jumpa lagi dicerita baru septi. Yang suka cerita horor bisa dibaca ya kak❤

Jam tayangnya setiap pukul 09.00 dan 15.00🦋❤ terimakasih🙏❤

1
Lucas
seru banget lo ceritanya
Septi.sari: Kak terimaaksih🙏❤❤
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!