Jenia adalah seorang gadis dari keluarga sederhana yang pintar, ceria, sangat cantik dan menggemaskan. namun tiada satupun pria yang dekat dengannya karena status sosialnya di yang di anggap tidak setara dengan mereka. namun selama 6 tahun lamanya dia sangat menyimpan rasa suka yang dalam terhadap seorang pria yang tampan, kaya raya dan mapan sejak mereka duduk di bangku kuliah.. akankah ia akan mendapatkan pria pujaannya itu?? kita akan mengetahuinya setelah membaca novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nildy Santos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 11
Ruangan kerja itu tiba-tiba dipenuhi hawa panas. Bastian berdiri hanya beberapa langkah di depan Jenia, wajahnya penuh kegelisahan.
“Jangan pergi, Jenia,” ucapnya lagi, kali ini lebih lirih namun penuh tekanan.
“Aku tidak bisa membiarkanmu meninggalkan kantor ini.”
Jenia menatapnya, berusaha tegar. “Pak, saya mohon… jangan permudah atau persulit keputusan saya. Saya sudah memilih.”
Belum sempat Bastian menanggapi, suara langkah tegas terdengar dari arah pintu. “Jenia.”
Bastian menoleh cepat. Di sana berdiri Raka dengan setelan abu-abu elegan, wajah tenang namun sorot matanya tajam ke arah Bastian.
“Aku sudah menunggumu di lobi. Kita ada janji dengan direksi, ingat?” ucap Raka mantap, seolah memberi tanda kepemilikan yang jelas.
Jenia mengangguk singkat, lalu meraih tasnya. Namun sebelum ia melangkah, Bastian menahan pergelangan tangannya.
“Jangan ikut dia dulu, Jenia. Aku masih butuh bicara denganmu.”
Raka maju satu langkah, suaranya datar tapi tegas.
“Lepaskan tangannya, Bas.”
Ketegangan langsung membeku di ruangan itu. Tatapan Bastian dan Raka beradu, seakan keduanya sedang mengukur kekuatan masing-masing.
“Sejak kapan kamu berhak melarangku, Rak?” desis Bastian dengan nada menantang.
“Sejak aku memutuskan menjaga Jenia, sesuatu yang kamu bahkan nggak pernah lakukan,” balas Raka tanpa gentar.
Jenia yang berada di antara mereka merasa dadanya bergetar hebat. Ia menarik tangannya perlahan dari genggaman Bastian.
“Sudahlah… jangan bertengkar karena saya. Saya hanya ingin pergi dengan tenang.”
Kalimat itu membuat Bastian terpukul. Tangannya terlepas, matanya menatap Jenia dengan luka yang tak ia bisa sembunyikan.
Raka mendekat, menunduk sedikit pada Jenia.
“Ayo, Jen. Waktunya kita pergi.”
Jenia mengangguk, lalu berjalan meninggalkan ruangan bersama Raka.
Bastian berdiri kaku di tempatnya. Jantungnya berdegup kencang, matanya memerah, tapi bibirnya tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun.
Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar ditinggalkan.
Sudah tiga hari sejak Jenia resmi keluar dari perusahaan. Ruangan kantor terasa hampa tanpa keberadaannya. Meja kerjanya kosong, kursi yang dulu selalu penuh dengan aktivitas kini hanya tinggal bayangan.
Bastian duduk di ruangannya dengan tumpukan berkas yang tak tersentuh. Matanya kosong, pikirannya tak bisa fokus. Setiap kali ia mencoba menandatangani dokumen, bayangan wajah Jenia selalu hadir. Senyumnya, tatapannya, bahkan cara dia memanggil “Pak Bastian” dengan nada sopan tapi dingin belakangan ini.
“Kenapa aku membiarkan dia pergi…?” bisiknya pada diri sendiri, suaranya serak.
Di rumah, keadaan tak jauh berbeda. Vita datang membawa kue kesukaan Bastian.
“Sayang, aku bawain cake favorit kamu. Ayo kita makan bareng.”
Bastian hanya melirik sekilas, lalu menghela napas. “Nanti aja, Vit. Aku lagi nggak selera.”
Vita meletakkan kue itu di meja, lalu duduk di sampingnya. Ia memperhatikan wajah Bastian yang pucat, matanya sayu.
“Akhir-akhir ini kamu beda banget, Bas. Kamu kelihatan… gelisah. Ada apa sebenarnya?”
Bastian mencoba tersenyum, tapi senyum itu hambar.
“Nggak ada apa-apa. Cuma… capek kerja.”
Vita mengernyit. “Capek kerja? Atau… ada hal lain?” suaranya menajam, penuh kecurigaan.
Bastian terdiam. Ia tak punya jawaban.
Di sisi lain, Jenia justru memulai bab baru. Bersama Raka, ia mulai menyesuaikan diri dengan lingkungan kantor barunya. Raka selalu ada di sisinya, mendukung setiap langkahnya.
“Lihat? Kamu cocok di sini, Jen. Aku senang akhirnya kamu bisa dapat posisi yang layak kamu dapatkan sejak dulu,” ucap Raka sambil tersenyum hangat.
Jenia menatapnya, lalu mengangguk.
“Terima kasih, Rak. Kalau bukan karena kamu, mungkin aku masih terjebak di tempat lama.”
Namun meski bibirnya tersenyum, hatinya belum sepenuhnya tenang. Ada ruang kecil di dalam dirinya yang masih dipenuhi bayangan Bastian, bayangan yang ia coba buang, tapi tak kunjung hilang.
Malam itu, Bastian berdiri di balkon rumahnya. Tangannya memegang gelas berisi wine, namun ia bahkan tak menyentuhnya. Tatapannya kosong menembus langit malam.
“Jenia… kenapa aku baru sadar sekarang…?”
Air matanya jatuh, untuk pertama kalinya.
Suasana ballroom hotel malam itu gemerlap. Lampu gantung kristal berkilauan, musik lembut mengalun, dan para tamu undangan tampil dengan busana terbaik mereka.
Jenia melangkah anggun mengenakan gaun biru tua sederhana namun elegan, rambutnya digelung rapi dengan beberapa helai yang dibiarkan terurai. Raka mendampinginya, tampak gagah dengan setelan jas abu-abu. Banyak pasang mata memperhatikan mereka karena tampil begitu serasi.
“Senang ya bisa ketemu teman-teman lama lagi,” ucap Raka sambil menatap Jenia yang sibuk melambaikan tangan ke arah sahabat-sahabat sekolahnya.
Namun langkah Jenia tiba-tiba terhenti. Pandangannya terpaku pada satu sosok di seberang ruangan. "Bastian..??"
Ia tampak gagah dengan jas hitam klasik. Di sampingnya berdiri Vita, cantik dan memesona dengan gaun merah menyala. Mereka tampak sempurna… setidaknya di mata para tamu.
Jenia cepat-cepat mengalihkan pandangan, menelan perasaan yang tiba-tiba menggelora di dadanya. Ia tersenyum pada Raka, mencoba tenang.
“Yuk, duduk. Acara sebentar lagi mulai.”
Di sisi lain, Bastian yang sejak awal sudah menyadari kehadiran Jenia, nyaris tak bisa memalingkan mata. Ada sesuatu dalam diri Jenia malam itu keanggunannya, ketenangan yang ia paksakan, bahkan senyum tipisnya semua membuat Bastian merasa sesak.
Vita menyadari perubahan itu. Ia menggenggam lengan Bastian lebih erat, seolah ingin mengingatkan bahwa pria itu miliknya.
“Kamu melamun, sayang?” tanya Vita manja.
Bastian menggeleng cepat. “Nggak, cuma… mikirin kerjaan.”
Padahal pikirannya penuh dengan satu nama. Jenia.
Saat acara makan malam, takdir mempertemukan mereka. Jenia dan Bastian secara tak sengaja bertemu di meja hidangan.
“Permisi…” suara Jenia lirih, berusaha tetap sopan ketika tangannya hampir bersentuhan dengan tangan Bastian yang sama-sama meraih sendok salad.
Bastian menoleh. Tatapan mereka bertemu. Hening beberapa detik.
“Jenia,” ucap Bastian akhirnya, dengan suara rendah namun tegas.
Jenia mengangguk tipis. “Selamat malam, Pak Bastian.”
Sapaan formal itu menusuk hatinya. Dulu ia pernah begitu dekat dalam bayangannya, kini harus berjarak sedingin itu.
Raka yang memperhatikan dari jauh segera menghampiri, menyelipkan tangannya di pinggang Jenia dengan santai.
“Sayang, aku ambilin minum ya?” ucap Raka dengan nada hangat, seakan menegaskan keberadaannya.
Bastian menahan napas. Kata sayang itu bagai hantaman keras di dadanya. Ia hanya bisa menatap keduanya pergi, meninggalkan dirinya bersama rasa kehilangan yang makin ia benci.
Sementara Jenia berusaha berjalan tegak di samping Raka, meski di dalam hatinya ada gejolak tak menentu yang tidak ingin ia akui.
Pesta malam itu semakin meriah. Musik berubah lebih cepat, beberapa tamu mulai memenuhi lantai dansa, sementara Jenia dan Raka memilih duduk di sisi ruangan.
Vita, yang sejak tadi memperhatikan gelagat Bastian yang tak lepas memandang ke arah Jenia, semakin resah. Rasa cemburu menguasai dirinya.
Saat Jenia berjalan sendirian menuju meja minuman, Vita yang lewat di dekatnya pura-pura tersenyum… namun tiba-tiba..
Brukk!
Kaki Vita menjegal langkah Jenia.
Tubuh Jenia kehilangan keseimbangan, ia hampir terjatuh ke depan. Namun sebelum ia benar-benar menyentuh lantai, sebuah tangan kuat menahan lengannya.
Bastian refleks ia menarik Jenia, tapi karena terlalu tergesa, keduanya justru kehilangan keseimbangan bersama-sama.
Duarrr!
Bastian jatuh terduduk ke lantai, dan Jenia ikut terbawa menimpa tubuhnya. Seketika ruangan menjadi riuh karena semua mata tertuju pada mereka.
Dan tepat pada saat itu bibir Jenia menyentuh bibir Bastian.
Semuanya terjadi begitu cepat. Beberapa detik hening terasa seperti keabadian. Mata Jenia membelalak, wajahnya memanas. Bastian terpaku, merasakan sesuatu yang selama ini tidak pernah ia akui.
Begitu tersadar, Jenia buru-buru bangkit dengan wajah merah padam.
“S-saya minta maaf… saya nggak sengaja,” ucapnya terbata.
Bastian yang masih di lantai menatapnya dalam. Tatapan itu membuat Jenia semakin salah tingkah.
“Jen, kamu nggak apa-apa?!” Raka segera menghampiri dan menarik tangan Jenia ke arahnya, melindungi seolah tak ingin ada yang menyentuhnya lagi.
Sedangkan Vita pura-pura panik, padahal wajahnya menyiratkan kepuasan karena insiden itu membuat Jenia terlihat seperti orang yang salah.
“Astaga, Jenia… kamu kok bisa jatuh begitu sih? Hati-hati dong.”
Namun yang mengejutkan semua orang, Bastian bangkit dan menatap Vita tajam.
“Aku lihat jelas tadi. Itu kamu yang sengaja menjegal langkahnya.”
Vita terdiam, wajahnya memucat. Para tamu berbisik-bisik, suasana menjadi canggung.
“Bos…” panggil Dion, asisten pribadi Bastian, berusaha menenangkan situasi.
Bastian menghela napas panjang lalu menoleh pada Jenia, tatapannya lembut, penuh penyesalan.
“Kamu nggak apa-apa kan, Jenia?” tanyanya dengan nada yang berbeda hangat, tak seperti biasanya.
Jenia tertegun, lalu cepat-cepat mengangguk. “Saya baik-baik saja, Pak.”
Namun dalam hati, ia tahu, kejadian barusan telah mengubah sesuatu.
Bastian pun sadar, ciuman tak sengaja itu meninggalkan jejak yang sulit ia abaikan.