NovelToon NovelToon
Terjerat Pesona Ustadz Tampan

Terjerat Pesona Ustadz Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Anak Genius / Aliansi Pernikahan / Anak Kembar / Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba, dari balik kerumunan jemaah masjid yang baru saja menyimak tausiyah dzuhur, muncullah seorang gadis berwajah bening dengan sorot mata sekuat badai.

Di hadapan ratusan pasang mata, ia berdiri tepat di depan sang ustadz muda yang dikenal seantero negeri karena ceramahnya yang menyentuh hati.

"Aku ingin menikah denganmu, Ustadz Yassir," ucap Zamara Nurayn Altun, dokter magang berusia dua puluh satu tahun, anak dari keluarga terpandang berdarah Turki-Indonesia.

Seluruh dunia seakan berhenti sejenak. Para jemaah terdiam. Para santri tertegun. Dan sang ustadz hanya terpaku, tak sanggup berkata-kata. Bagaimana bisa, seorang gadis yang tak pernah ia kenal, datang tiba-tiba dengan keyakinan setegas itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 21

Suara monitor terus berdengung, berganti-ganti nada tiap kali kontraksi datang lebih kuat. Keringat membasahi pelipis Zamara, rambutnya kusut tapi matanya tetap fokus.

Tangan kirinya menggenggam kuat lengan perawat, sementara dokter Rina berdiri di antara alat-alat bedah dan tirai operasi.

“Anaknya udah siap keluar, Zam… tarik napas panjang, tahan satu lagi,” serunya sambil memastikan posisi bayi pertama.

Jeritan kecil akhirnya terdengar. Bayi laki-laki pertama lahir, tangisannya nyaring, kulitnya memerah. Tak lama, disusul dua tangisan lainnya. Satu laki-laki, satu perempuan. Suasana jadi riuh tapi penuh haru.

“Masya Allah… lengkap,” ucap Rina menahan air mata.

Di ruang tunggu, ustadz Yassir langsung berdiri waktu mendengar suara bayi dari dalam.

“Itu tangisan mereka?” tanyanya sambil melirik pintu.

“Iya, Mas. Kayaknya kembar tiganya keluar semua,” ujar Faris bersemangat.

“Ya Allah… deg-degan parah,” timpal Annisa sambil mengusap dada.

Pak Mahmud langsung berdiri dan merapat ke pintu, “Bayi pertama dikasih nama siapa?” tanyanya ke arah Salsabila yang baru keluar menyusul perawat.

“Taimur Elshan Qayyim,” ucap Salsabila mantap.

“Yang kedua?” tanya Pak Lukman.

“Zhamir Dilshad Qayyim,” jawab Bayu sambil membuka catatan nama di ponselnya.

“Dan si kecil cantik itu?” tanya Ahmad.

“Mireya Dilnaz Zareen,” imbuh Aliyah sambil tersenyum lebar.

Beberapa menit kemudian, ranjang dorong keluar dari ruang bersalin. Zamara tampak lemas tapi matanya masih bersinar. Ketiga bayi ditaruh dalam boks kecil masing-masing, didekatkan ke sisi kanan dan kiri ranjangnya.

“Kak Zamara luar biasa banget…,” ucap Salwa sambil mencium tangan Zamara.

“Alhamdulillah semuanya selamat, ya,” timpal Gilang.

Yassir mendekat pelan, matanya penuh air. Ia menatap wajah-wajah kecil yang masih merah dan menggeliat pelan.

“Yang ini Taimur ya?” katanya sambil menunjuk bayi pertama.

Zamara mengangguk lemah, “Iya… yang tengah Zhamir dan terakhir bungsu Mireya.”

“Cantiknya luar biasa…” gumam Yassir sambil menatap si kecil yang matanya terbuka sedikit.

Tak lama, prosesi adzan dimulai. Pak Mahmud mengambil Taimur dan mendekap pelan, lalu melantunkan adzan di telinga kanan cucu pertamanya itu. Suaranya tenang, lembut tapi menggetarkan.

“Allahu akbar… Allahu akbar…”

Pak Lukman lalu mendekap Zhamir dan membacakan adzan dengan suara serupa. Semua yang menyaksikan jadi diam, terhanyut.

Giliran terakhir, Yassir mengambil Mireya dari pelukan Zamara, lalu membisikkan kalimat yang sama ke telinga mungil putrinya.

“Ini hadiah hidup kita, Kak,” ujarnya ke Zamara dengan suara nyaris bergetar.

Beberapa hari kemudian, acara aqiqah digelar sederhana tapi hikmat. Di pelataran rumah, tenda putih berdiri.

Tidak mewah, tapi bersih dan tertata. Di satu sisi, seribu paket sembako disusun rapi, siap dibagikan ke masyarakat yang hadir dari pagi.

“Ini semua dari rezeki Taimur, Zhamir, dan Mireya. Kami cuma perantara,” ucap Yassir saat memberi sambutan di depan para warga.

“Kita doakan mereka tumbuh jadi anak-anak yang baik, ya, Ibu-Bapak,” tambahnya sambil mengangkat tangan.

Zamara duduk di kursi dekat anak-anaknya yang tertidur dalam tiga boks mungil. Wajahnya terlihat lelah tapi puas.

“Kakak senang banget bisa bagi rezeki ke banyak orang hari ini,” ucap Aliyah sambil menyuapkan buah potong ke mulut Zamara.

“Rezeki tiga anak sekaligus. Gimana nggak berkah,” celetuk Salsabila.

“Yang penting semuanya sehat. Kakak juga harus pulih total dulu,” ucap Bayu sambil menyandarkan dirinya ke kursi di samping Zamara.

Faris dan Gilang terlihat sibuk bantu panitia membagikan paket. Ahmad dan Annisa keliling mengecek pembagian berjalan lancar.

“Mireya tidur terus. Mirip siapa, ya?” tanya Salwa sambil melongok ke boks ketiga.

“Pasti mirip Kak Zamara waktu masih kecil,” jawab Ahmad yang diam-diam ikut memperhatikan.

“Kalau Taimu jelas kayak Ustadz Yassir,” ucap Faris sambil terkekeh.

Senja mulai turun pelan. Suara adzan maghrib mengalun dari surau belakang rumah. Warga mulai pulang satu per satu, membawa paket sembako dan senyum di wajah.

Tiga bayi itu masih tertidur di bawah lampu temaram. Zamara menatap satu-satu, lalu menoleh ke arah suaminya.

“Kita bisa, kan, Mas? Ngerawat mereka tiga sekaligus?” tanyanya lirih.

“Kita nggak sendiri, Kak. Kita punya mereka semua. Dan kita punya Allah,” ucap Yassir tenang sambil menggenggam jemarinya.

Di dalam ruang kecil itu, tidak ada rasa takut. Hanya harapan dan cinta yang pelan-pelan tumbuh besar dari pelukan tiga bayi kecil yang baru saja membuka lembaran hidupnya.

Malam itu sunyi. Langit mendung, angin menyelinap dari celah-celah jendela rumah besar yang selama ini menjadi tempat Zamara berteduh.

Di ruang tengah, lampu temaram menemani langkah pelan kakinya yang tanpa suara.

Zamara menatap lama wajah ketiga bayinya yang terlelap di boks mungil mereka.

Pelan-pelan, ia mendekat, lalu mencium kening putranya, Taimur Elshan Qayyim, Zhamir Dilshad Qayyim, juga kening putrinya, Mireya Dilnaz Zareen.

Zamara memeluk erat selimut tipis yang membungkus tubuh mungil Mireya. Bayi kecil itu masih tertidur lelap dengan napas yang pelan, sesekali jari-jarinya mengepal seolah sedang menggenggam dunia yang belum ia kenali.

“Papi,” lirih Zamara di ujung telepon sambil melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam, “apa aku bawa juga putriku, Miyera?”

Suaranya ragu tapi tegas. Ia tahu jawaban yang akan datang tapi tetap berharap ada keajaiban malam ini.

Di seberang, suara Emir Steinbach terdengar berat dan tanpa jeda, “Saya tidak butuh penerus perempuan,” ujarnya tegas.

Seketika dada Zamara terasa sesak. Hening menggantung beberapa detik, hanya suara detak jam dan napas bayi yang masih tenang.

“Papi, dia anakku juga, darahku juga. Dia cucumu,” bujuk Zamara dengan nada menurun, “kenapa harus dibedakan hanya karena dia perempuan?” katanya perlahan.

Emir tetap bergeming. “Kamu tahu alasan saya. Laki-laki bisa bawa nama, bisa pimpin. Perempuan cuma nambah urusan,” katanya ketus tanpa ragu.

Zamara menggigit bibirnya. Ia menoleh ke arah dua putranya, Taimur dan Zhamir, yang sedang digendong bergantian oleh Laira dan Aqila di ruang tengah. Semua sibuk mempersiapkan keperluan perjalanan ke Jerman. Tapi di dalam dadanya ada yang mencelos.

“Papi, dunia sudah berubah. Anak perempuan bisa jadi apa aja. Mireya anak pintar, dia kuat. Dia pantas dapat tempat yang sama,” ucapnya, mencoba meyakinkan meski tahu kerasnya kepala ayahnya tak mudah diubah.

“Kamu terlalu lembek, Zamara,” tukas Emir lagi, “saya sudah buat keputusan. Dua cucu laki-lakiku cukup.”

Telepon dimatikan sepihak. Zamara terdiam, matanya menatap Mireya yang menggeliat pelan, tangan mungilnya menyentuh pipi ibunya seolah paham sedang ditolak.

Malam makin larut. Hujan mulai turun tipis-tipis, menyentuh atap rumah yang kini sunyi. Di dalam kamar, hanya terdengar isakan pelan dari Zamara yang duduk di sisi boks bayi.

Zamara duduk di tepi ranjang sambil menggenggam tangan mungil itu. Miyera tertidur pulas dalam balutan selimut lembut bermotif bunga.

Matanya masih sembab, pipinya hangat, dan nafasnya teratur seperti bayi yang belum tahu dunia bisa sekejam ini.

Zamara menunduk, bibirnya gemetar, tapi ia berusaha tetap kuat.

“Sayangku, Miyera...”

Suara itu nyaris tak terdengar, tapi tulus, seolah seluruh isi hatinya tumpah di antara jeda napas.

“Maafkan Mama, ya... karena harus melepaskan kamu hari ini. Bukan karena Mama nggak sayang justru karena Mama terlalu sayang sampai rasanya ingin menyelamatkan kamu dari dunia yang belum siap menyambutmu.”

Ia mengusap pipi bayinya yang hangat.

“Kamu anak perempuan pertama Mama. Kamu kuat, kamu cantik, dan kamu sempurna. Tapi Papi Mama bilang kamu nggak cukup. Dunia bilang kamu nggak dibutuhkan. Tapi Mama janji, suatu hari nanti mereka akan lihat kalau kamu cahaya yang mereka buang begitu saja.”

Air mata jatuh satu-satu, tapi tak diseka.

“Untuk sekarang, kamu akan tinggal di sini bersama papa dan masih banyak orang-orang baik yang akan jaga kamu lebih dari sekadar penjagaan. Ada nenek Sarah, kakek Mahmud, kakak Salwa, ada keluarga yang akan cintai kamu tanpa syarat.”

Zamara menunduk lebih dalam, mencium kening bayinya.

“Nanti kalau kamu sudah cukup besar dan tanya kenapa Mama ninggalin aku? tolong jangan benci Mama. Karena saat Mama pergi, hati Mama tinggal di sini bersamamu.”

Ia menarik nafas dalam, menahan isak.

“Mama pergi bukan untuk lari, tapi untuk melawan dari kejauhan. Supaya kelak kamu bisa berdiri tanpa tunduk, berjalan tanpa takut. Kamu bukan sisa, kamu bukan cadangan, kamu bukan lemah. Kamu penerang dan kebanggaan Mama.”

Zamara mengecup kedua mata bayinya. Perlahan ia bangkit, tapi langkahnya gemetar.

Satu langkah, dua langkah, lalu ia kembali menoleh. Tatapan terakhir pada bayi yang ditinggal bukan karena tak dicintai, tapi karena terlalu disayangi hingga tak tega menyeretnya ke medan perang.

“Doakan Mama, ya, Miyera biar suatu hari nanti kita bisa peluk lagi. Di tempat yang lebih adil. Di waktu yang tak lagi menyakitkan.”

Dan untuk pertama kalinya, Zamara pergi meninggalkan bagian dari dirinya sendiri dengan dada yang terasa sepi, tapi hati yang menyimpan nyala.

Tangannya gemetar saat menulis catatan kecil, lipatan kertas yang ia selipkan ke dalam selimut Mireya, bayi perempuan satu-satunya yang akan ia tinggalkan malam ini.

“Maafin Kakak, Sayang maafin Mama…” bisiknya dengan suara nyaris tak terdengar.

Taimur dan Zhamir sudah dipakaikan pakaian hangat oleh dua perempuan berambut pirang yang berdiri tak jauh dari pintu.

Laira dan Aqila mereka datang diam-diam, tak banyak bicara, hanya menatap Zamara dengan pandangan paham dan kaku.

“Kita harus pergi sebelum jam dua,” ujar Laira singkat.

“Mobil sudah nunggu di ujung jalan. Jet pribadi Papi juga standby,” imbuh Aqila tanpa menatap mata Zamara.

Zamara mengangguk pelan. Ia peluk lagi Mireya, lama. Penuh rasa bersalah yang tak bisa ia redam.

“Jaga adik perempuan kalian tolong jaga dia baik-baik…” lirihnya sambil mengecup kening kedua bayinya yang lain.

Mireya menggerakkan tangannya pelan, seolah tahu akan ada yang hilang. Tapi matanya tetap terpejam, nafasnya tenang. Zamara menggigit bibirnya, menahan suara tangis yang ingin meledak.

Laira mengambil koper, Aqila menggendong Zhamir. Zamara membawa Taimur. Langkah mereka cepat, nyaris tanpa suara, melewati koridor rumah yang sepi, menuju pintu belakang yang sudah tak terkunci.

Tidak ada yang bangun. Tak ada suara selain hujan yang makin deras.

Tepat pukul 01.47 dini hari, SUV hitam itu melaju meninggalkan rumah yang selama ini mereka tempati. Mireya tertinggal, masih tidur pulas di boksnya, tak tahu bahwa dunia kecilnya baru saja kehilangan sepotong keluarga yang seharusnya bersamanya tumbuh.

1
Abel Incess
nangis bombay pagi" Thor 😭😭😭
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: nggak tanggung tissu yah kakak 🤣🤭🙏🏻
total 1 replies
Abel Incess
Asli ini sangat menyakitkan 😭😭😭
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: sabar kak ini ujian 🤣☺️🤗🙏🏻
total 1 replies
Enz99
jangan lama-lama sedihnya Thor.... balikin zamara nya y
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭
total 1 replies
Mami Pihri An Nur
Wooowww,, perempuan egois, menantang bpknya sndri masalh keturunan, tp dia sndri yg utamakn keturunan laki2 buat penerus trs ditingglkn ank ceweknya,, aku kecewa thour di tengh crtanya ko gini, dikira Setelah punya ank akn bhgia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: masih panjang kak ceritanya 🤭😂
total 1 replies
Isma Isma
apa zamara punya penyakit bikin penasaran
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: tungguin selanjutnya
total 1 replies
Abel Incess
apa sih tujuannya Zamara, makin penasaran
Enz99
bagus bangettt.... lanjut thor
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Alhamdulillah makasih banyak
total 1 replies
darsih
zamara penuh teka teki JD penasaran
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak sudah mampir baca
total 1 replies
darsih
JD penasaran SM zamara penuh teka- teki
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: baca lanjutannya kakak biar kejwab
total 1 replies
Eva Karmita
ada misi apa kamu Zamara...dalam satu Minggu harus bisa menaklukkan ustadz Yassir...??
Semoga saja kamu tidak membuat ustadz Yassir kecewa , kamu harus hati" dgn Aisyah
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: rahasia 😂🤣
total 1 replies
Eva Karmita
mampir otor 🙏😊
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!