Rasanya sangat menyakitkan, menjadi saksi dari insiden tragis yang mencabut nyawa dari orang terkasih. Menyaksikan dengan mata sendiri, bagaimana api itu melahap sosok yang begitu ia cintai. Hingga membuatnya terjebak dalam trauma selama bertahun-tahun. Trauma itu kemudian memunculkan alter ego yang memiliki sifat berkebalikan. Kirana, gadis yang mencoba melawan traumanya, dan Chandra—bukan hanya alter ego biasa—dia adalah jiwa dari dimensi lain yang terjebak di tubuh Kirana karena insiden berdarah yang terjadi di dunia aslinya. Mereka saling Dalam satu raga, mereka saling menguatkan. Hingga takdir membawa mereka pada kebenaran sejati—alasan di balik kondisi mereka saat ini. Takdir itu memang telah lama mengincar mereka
Empu Agung
*⚠️Peringatan : Cerita ini mengandung adegan kekerasan yang mungkin tidak sesuai untuk sebagian pembaca. Disarankan untuk pembaca yang berusia 18 tahun ke atas. Pembaca yang merasa tidak nyaman dengan konten semacam ini diharapkan bijak mempertimbangkan sebelum melanjutkan.⚠️*
***
Gesekan suara daun-daun yang berdesir dan langkah tergesa seorang gadis muda menjadi harmoni di tengah kesunyian malam kala itu.
Dia terus berlari melewati semak belukar dan rerimbunan pohon yang menghalangi pandangan mata. Hanya sinar rembulan yang menjadi pemandu di tengah kegelapan malam yang pekat. Dia terjebak di tengah hutan rapat tanpa jalan keluar yang jelas.
Setiap tarikan napasnya semakin terasa berat seiring dengan denyut jantung yang berdebar-debar seakan hendak keluar dari rongga dada. Kaki lemah yang sudah terasa lelah terus dipaksa berlari, melewati akar-akar pohon dan bebatuan tajam. Dia tidak boleh berhenti meski hanya sesaat.
Namun, takdir berkata lain. Sekelompok prajurit tiba-tiba muncul dari bayang-bayang pepohonan. Tidak ada tempat untuk bersembunyi lagi bagi gadis bernama Pitaloka itu. Dia melihat sekelilingnya dengan panik, berharap menemukan celah untuk melarikan diri. Namun, harapan itu sia-sia. Dia kini terkepung.
Seorang pria muncul di antara prajurit, wajahnya terhalang oleh topeng baja. Matanya menatap Pitaloka dengan dingin.
"Pitaloka." Suaranya terdengar berat dan mengintimidasi. "Datanglah padaku dengan sukarela atau kau akan mati di tanganku."
Pitaloka menelan ludah, mencoba menahan ketakutannya. Tangan yang gemetar mencengkeram seutas akar pohon. Dia merasakan keputusasaan yang mendalam, namun harga dirinya sebagai seorang bangsawan membuatnya tidak menyerah begitu saja.
"Aku enggan mengikutimu, pengkhianat. Lebih baik aku mati," maki Pitaloka dengan wajah penuh amarah dan kebencian yang meluap-luap.
Perkataan Pitaloka berhasil menyulut amarah pria bertopeng baja yang telah lama menaruh hati padanya itu. Amarah itu tidak sebanding dengan perasaan terhina yang dilontarkan oleh Pitaloka, hingga membuatnya menjadi gelap mata.
Pria itu maju selangkah demi selangkah, menatap Pitaloka dengan tatapan liar dan buas seperti seekor serigala yang siap menyergap mangsanya.
"Kau sungguh berani menolakku, Pitaloka! Kecantikanmu membuatku kehilangan akal sehat. Aku sudah lelah mengejarmu, dan kau berani menolak cintaku!" seru prajurit tersebut sambil menghunuskan pedang di tangannya. "Kita lihat, apa yang bisa kau sombongkan setelah aku merusak wajahmu yang cantik itu."
Pitaloka tetap pada pendiriannya yang teguh, karena kehormatan seorang bangsawan berada di atas segalanya. "Aku tidak akan menyerahkan diriku pada orang sepertimu! Kau lebih dari menjijikkan!"
Mendengar cacian Pitaloka, manusia bertopeng itu semakin terbakar oleh api amarah. Wajahnya memerah, dan dengan segenap kekuatan, dia mengayunkan pedangnya ke arah Pitaloka. Sabetan pedang itu menggores wajah gadis itu dengan kejam dan tak manusiawi. Darah segar memercik bersamaan dengan tubuh Pitaloka yang tumbang.
Dalam keadaan seperti ini, kematian akan menjadi pilihan yang tidak terlalu buruk. Air mata mengalir, membasahi pipinya yang bercampur dengan darah segar. Pitaloka merintih kesakitan, menahan luka mengaga di wajahnya.
"Maafkan saya, Tuan Putri," bisik Pitaloka dipenuhi dengan penyesalan, karena tidak bisa menemani tuan putri di sisa umurnya.
Di ujung nyawanya yang masih tersisa, Pitaloka memandang ke atas langit. Samar-samar dia melihat bulan tiba-tiba menjadi dua. Entah apa yang terjadi, mungkin saja ini efek dari rasa sakit akibat sabetan pedang yang menggores wajah dan tubuhnya.
Setelah bertahan di tengah rasa sakit yang telah mencapai batas, Pitaloka perlahan menutup matanya, merasakan dingin yang menjalar ke seluruh tubuh.
Salah seorang prajurit lainnya maju dan ikut menghunuskan pedang ke arah jantung Pitaloka, memastikan bahwa target buruannya benar-benar tewas. Setelah itu, mereka membuang tubuh Pitaloka ke dalam danau yang ada di dekat lokasi kejadian, lalu meninggalkannya begitu saja, mengapung di danau yang dingin.
Malam yang kelam itu menjadi saksi bisu kepergian seorang gadis yang bernasib malang. Dia sudah berusaha melawan kejamnya takdir yang sudah ditentukan oleh Penguasa Semesta Alam, meski harus berakhir dengan cara yang begitu tragis.
Tak lama setelah para prajurit itu pergi, secercah cahaya jatuh ke tubuh Pitaloka yang tak lagi bernyawa. Cahaya itu membuat jantung Pitaloka kembali berdetak.
***
Tubuh Pitaloka terus terbawa arus hingga terdampar di tepi danau. Dia ditemukan oleh seorang pria yang mengenakan pakaian serba putih. Rambut dan mata peraknya bersinar di bawah bulan purnama yang indah.
Pria itu datang ke danau setelah mendapatkan ilham atau petunjuk gaib yang mengarahkannya ke sana. Saat menemukan Pitaloka, keadaan yang mengenaskan dengan wajah yang rusak parah membuat pria itu merasa terenyuh. Dia berlutut di samping tubuh Pitaloka dan menyentuh pergelangan tangannya, merasakan denyut jantung yang lemah.
"Anak ini harus diselamatkan," gumamnya di antara desir angin yang semakin dingin. Dia segera mengangkat tubuh Pitaloka dengan hati-hati, membawa gadis itu pulang bersamanya.
***
Sesampainya di Langgar Suci, sebuah bangunan dengan arsitektur khas rumah ibadah, pria itu segera memberikan perintah kepada murid-muridnya untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam proses pengobatan.
Tanpa banyak bertanya, mereka langsung bertindak sesuai dengan arahan sang guru, yang tiada lain adalah pemimpin Langgar suci ini. Orang-orang biasa memanggilnya dengan sebutan Empu Agung.
Empu Agung merupakan panggilan bagi seseorang yang diagungkan karena kekuatan suci, dan biasanya telah berusia ratusan tahun.
Empu Agung tidak sama dengan seorang pendeta atau imam besar. Gelar ini diberikan kepada individu yang memiliki pengetahuan mendalam tentang ilmu kebatinan, kekuatan spiritual, dan rahasia alam semesta. Empu Agung dikenal sebagai penjaga harmoni alam, penyembuh yang ulung, dan pelindung atas segala kejahatan.
Tubuh Pitaloka yang terluka parah akhirnya mendapatkan perawatan dari Empu Agung. Dengan tangan yang cekatan dan penuh kehati-hatian, Empu Agung membersihkan setiap goresan dan luka pada tubuh Pitaloka. Dia menyadari betapa berharganya nyawa gadis ini.
Empu Agung mulai merapal doa-doa suci, memohon kepada Sang Hyang untuk menyembuhkan gadis yang baru saja dia selamatkan itu. Saat mantra-mantra itu dilantunkan, udara di sekitar mereka dipenuhi energi yang tak kasat mata yang terasa begitu kuat. Cahaya lembut berwarna keemasan perlahan muncul dari tangan Empu Agung, menyelimuti tubuh Pitaloka dengan kehangatan yang menenangkan.
Setelah memastikan semua luka telah dibersihkan dan diobati dengan kekuatan suci, Empu Agung mengambil kasa tipis berwarna putih untuk membalut wajah Pitaloka. Cahaya keemasan menyerap ke dalam balutan kasa, memberikan perlindungan tambahan bagi Pitaloka.
Wajah Pitaloka kini tersembunyi di balik lapisan kasa putih. Empu Agung tersenyum, namun di balik senyumnya tersirat kesedihan yang mendalam. Dia adalah orang yang paling tidak tahan melihat kejahatan di muka bumi, dan gadis ini merupakan salah satu dari sekian banyak korban ketamakan dan kejahatan yang terjadi.
Hatinya diliputi harapan, semoga gadis yang ia selamatkan ini bisa bertahan dan menjalani kehidupan yang lebih baik di masa depan.
***
Di dalam kegelapan yang menyelimuti sekitarnya, udara terasa dingin dan lembap, membuat gadis itu sulit bernapas.
Kirana meraba sekitarnya dengan hati-hati karena dia tidak bisa melihat apa pun. Meskipun matanya tertutup oleh kegelapan total, dia bisa mendengar suara air yang samar di kejauhan, serta langkah kakinya yang menggema, menciptakan kekalutan dalam hati.
Kirana berusaha memahami di mana dia berada, tetapi kegelapan menyelimuti setiap sudut ruangan, membuatnya semakin bingung.
Suara-suara tak dikenal sesekali melintas di udara, menambah ketegangan dan rasa takut di dalam benaknya. Sensasi mencekam merambat di sepanjang tulang punggungnya, seolah-olah kegelapan itu sendiri memiliki nyawa dan sedang mengawasi setiap gerakannya.
"Tangkap gadis itu sekarang!"
Kirana menoleh saat mendengar suara seorang pria menggema di udara. Suasana di sekitarnya tiba-tiba berubah; kegelapan yang tadi menguasai kini berganti menjadi pemandangan di tengah hutan dengan pohon-pohon yang rapat.
Di antara pepohonan yang menjulang tinggi, Kirana melihat seorang gadis terperangkap oleh segerombolan orang yang tak dikenal. Wajah-wajah mereka tersembunyi dalam bayangan, hanya tampak siluet yang mengesankan ancaman. Gadis itu tampak ketakutan, matanya mencari-cari pertolongan, namun tidak ada yang datang untuk membantunya.
Seorang pria muncul di antara prajurit, wajahnya terhalang oleh topeng baja. "Pitaloka, datanglah padaku dengan sukarela atau kau akan mati di tanganku."
Adegan selanjutnya, memperlihatkan gadis itu berusaha melakukan perlawanan sengit. Namun, meskipun usahanya penuh keberanian, dia tidak mampu menandingi kekuatan pria bertopeng tersebut.
Dengan brutal, pria itu menghabisi targetnya tanpa sedikit pun rasa belas kasihan. Kirana yang menyaksikan kejadian mengerikan ini, langsung menutupi wajah dengan kedua tangan. Dia tidak sanggup melihat pembantaian itu dengan mata kepalanya sendiri, hatinya terasa hancur dan perasaan takut semakin menghantuinya.
Suara jeritan gadis itu masih terngiang di telinga Kirana, menambah beban ketakutan dan rasa tak berdaya yang mendalam.
Hening. Tidak ada suara yang Kirana dengar. Perlahan, dia pun membuka matanya untuk memastikan apa yang terjadi pada wanita tadi. Namun, saat matanya berhasil terbuka, cahaya yang begitu menyilaukan mengganggu penglihatannya. Kirana sontak memejamkan matanya kembali, mencoba beradaptasi dengan cahaya yang menghujam masuk.
Warna putih yang menyilaukan itu perlahan-lahan memudar, memperlihatkan beberapa wajah asing yang sedang menatapnya dengan ekspresi lega dan bahagia. Kirana terkejut, namun tubuhnya terlalu lemah dan kaku untuk digerakkan. Dia bahkan tidak bisa mengeluarkan suara, hanya bisa menggerakkan ekor matanya yang menunjukkan sorot ketakutan yang sangat jelas.
Bersambung
Minggu, 07 September 2025