NovelToon NovelToon
Sang Pianis Hujan

Sang Pianis Hujan

Status: tamat
Genre:Cintapertama / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Enemy to Lovers / Rebirth For Love / Idola sekolah / Tamat
Popularitas:511
Nilai: 5
Nama Author: Miss Anonimity

Namanya Freyanashifa Arunika, gadis SMA yang cerdas namun rapuh secara emosional. Ia sering duduk di dekat jendela kafe tua, mendengarkan seorang pianis jalanan bermain sambil hujan turun. Di setiap senja yang basah, Freya akan duduk sendirian di pojok kafe, menatap ke luar jendela. Di seberang jalan, seorang pianis tua bermain di bawah payung. Jemari hujan menari di kaca, menekan window seolah ikut bermain dalam melodi.

Freya jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Shani-seseorang yang tampak dewasa, tenang, dan selalu penuh pengertian. Namun, perasaan itu tak berjalan mulus. Shani tiba-tiba ingin mengakhiri hubungan mereka.

Freya mengalami momen emosional saat kembali ke kafe itu. Hujan kembali turun, dan pianis tua memainkan lagu yang pelan, seperti Chopin-sebuah lagu perpisahan yang seolah menelanjangi luka hatinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 11 : Dibalik Hujan Ada Yang Membusuk Dalam Diam

Gerimis membungkus halaman sekolah. Langit mendung. Gumpalan awan hitam seakan bosan beranjak di atas sana. Satu-dua tetes air mengenai jendela kelas lalu terbawa angin. Udara terasa lembap dan dingin. Curah hujan memang tidak bisa di prediksi. Meski telah memasuki musim hujan, tapi hari cerah masih tetap ada.

"Bosen banget." Azizi merebahkan kepalanya di atas meja dengan malas. Suasana di ruang kelas tampak hening. Semua orang terfokus pada buku pelajaran. Mereka terlihat bersungguh-sungguh dalam menghadapi ujian yang akan datang.

"Frey, jam pelajaran hari ini kosong. Gak pusing ngelihat buku terus?" Azizi memiringkan kepalanya, menoleh pada sahabatnya.

"Mau bagaimana lagi, kita di larang keluar kelas meski pelajaran kosong. Ujian sebentar lagi akan tiba, jadi hanya ini yang bisa ku lakukan." Ucap Freya tanpa menoleh. Ia membalik halaman selanjutnya.

Azizi menghela nafas lesu, ia merasa lemas hari ini, meski tadi pagi ia sudah sarapan. "Liburan kita sudah selesai dua hari yang lalu. Tapi rasanya sebentar sekali.." Gerutu Azizi. "Bagaimana liburanmu, Frey? Aku lupa menanyakan itu."

"Tidak ada yang spesial." Jawab Freya singkat.

"Tapi setidaknya kau bercerita padaku." Pinta Azizi.

"Mungkin nanti," Balas Freya.

Ditengah suasana hening tersebut, semua ponsel para siswa tiba-tiba menerima notifikasi secara bersamaan. Ada cepat-cepat melihat, ada juga yang tidak peduli dan mengabaikannya. Tapi kelas yang hening tersebut tiba-tiba menjadi ramai setelah salah satu siswi yang menge-cek notifikasi itu, berseru, "Guys, Gracia dari kelas kita beneran hamil?"

Gerimis belum juga reda, seperti perasaan murid-murid yang mendadak kacau karena kabar yang baru saja tersebar. Semua kepala terangkat dari buku. Tatapan bingung, tidak percaya, dan rasa ingin tahu meledak bersamaan. Azizi menoleh cepat ke arah Freya. "Gracia… yang itu? pantesan aja dia gak masuk." bisiknya setengah tak percaya.

Freya menutup bukunya perlahan. Wajahnya tenang, tapi bola matanya mengisyaratkan sesuatu yang lain. Ia menghela napas, lalu berdiri dari kursinya.

"Frey… mau ke mana?" tanya Azizi cemas, suaranya sedikit bergetar karena suasana yang mulai gaduh.

"Ke toilet," jawab Freya singkat, tanpa ekspresi.

Di lorong sekolah yang kosong, langkah Freya bergema pelan. Bayangan tubuhnya di lantai licin seakan mengikutinya dalam diam.

"Kenapa perasaanku menjadi resah?" gumamnya lirih, "Dunia ini memang tidak pernah adil pada mereka yang tidak bersuara..."

Langkahnya terhenti di depan jendela besar di dekat tangga. Ia memandang ke luar. Gerimis masih jatuh dari langit. Azizi menyusul, menepuk pelan pundaknya. "Maaf, Frey… aku gak bermaksud..."

Freya tidak menoleh. Ia tetap menatap keluar, lalu berkata dengan suara rendah tapi tajam, "Kau tahu, Zee... Manusia selalu lebih cepat menyebarkan keburukan daripada mencari kebenaran. Kita seperti suka bermain Tuhan dalam kehidupan orang lain."

Azizi terdiam, kata-kata itu seperti tamparan. Freya akhirnya menoleh, menatap sahabatnya itu. "Aku tidak peduli siapa yang benar atau salah. Tapi aku tahu satu hal... Seseorang di luar sana sedang ketakutan, dan yang ia dapatkan hanyalah cibiran."

Azizi menunduk. "Maaf, Frey. Aku cuma ikut-ikutan. Aku nggak tahu kenapa aku bisa secepat itu percaya."

"Itulah yang membuat kerusakan selalu menang. Karena kita semua diam-diam ikut membangun tembok dari batu yang kita lempar sendiri," balas Freya, lalu kembali berjalan.

Suasana lorong kembali sepi. Hanya suara langkah Freya yang memudar perlahan, meninggalkan Azizi sendiri yang masih terpaku. Di matanya, sosok Freya tampak seperti seseorang yang memikul beban yang tak bisa dilihat orang lain. Ada sesuatu di dalam dirinya yang lebih gelap daripada langit mendung di luar sana—sebuah luka lama yang belum sepenuhnya kering.

Sementara itu, di ruang guru, pembicaraan sudah lebih serius. Para guru saling bertukar pandang setelah kabar itu menyebar terlalu cepat untuk bisa diabaikan. Kepala sekolah memegang ponselnya erat, dengan wajah muram. Dan di sudut sekolah lainnya, seorang siswa dengan pandangan yang tajam, beberapa kali memukuli tembok meski tangannya terlihat memar.

Berita tersebut telah mengguncang seluruh sekolah, meski semua orang di sekolah itu sudah tau betul, bagaimana Kehidupan Gracia yang di juluki sebagai 'Queen party'. Topik hangat itu mulai menyebar dalam satu hari. Tapi yang menjadi pertanyaan saat ini, siapa yang menyebarkan kabar tersebut melalui Notifikasi?

Berita tersebut pertama kali di sebarkan oleh nomor yang tidak di kenal. Para murid mulai menduga-duga kalau orang yang menghamili Gracia, adalah siswa di sekolah mereka sendiri. Tapi para guru dengan cepat menyumpal berita tersebut agar tidak menyebar ke lingkungan luar.

Freya berjalan menuruni tangga. Sepatu hitamnya basah karena genangan kecil. Ia tidak mempercepat langkah. Di ujung tangga, seseorang berdiri dengan hoodie abu-abu, kepala tertunduk. Tangannya berbalut perban. Freya berhenti. Menatapnya sebentar.

"Shani?"

Shani menoleh pelan. Matanya merah. Napasnya terengah. Ia tak bicara. Freya mendekat. "Kau kenapa? Tanganmu di perban seperti itu. Wajahmu pucat, dan... badanmu panas?"

Shani menggeleng pelan, "Aku baik-baik saja. Hanya...tidak enak badan." Jawab Shani.

"Tapi—tanganmu?" Tanya Freya sembari menoleh sedikit ke arah tangan Shani.

"Aku tidak sengaja menjatuhkan ponselku di semak-semak. Tanganku lecet saat aku mencarinya."

"Mau aku antar ke UKS?" Tawar Freya.

Shani kembali menggeleng, "Tidak perlu, aku baik-baik saja. Ngomong-ngomong kamu darimana?"  Tanya Shani, terkesan seperti mengalihkan topik.

"Toilet." Jawab Freya singkat. Shani mengangguk mengerti. Tidak lama bel istirahat berbunyi. Meski tidak ada bedanya sama sekali dengan cuaca hujan saat ini.

"Frey, kantin yuk..." Azizi tiba-tiba muncul dari arah lain. Langkahnya terhenti ketika melihat Freya dan Shani yang sedang berdua. "Ups, maaf gak tau." Ucapnya dengan nada sedikit jahil. "Tanganmu kenapa, Shan?" Tanya Azizi.

"Hanya lecet." Jawab Shani singkat. Azizi mengangguk kecil.

"Mau ikut ke kantin bersama?" Tawar Freya.

"Kalian saja, aku mau ke perpustakaan. Sampai jumpa." Ucap Shani. Freya menatap punggung Shani yang perlahan menjauh. Langkahnya tampak tenang, tapi sedikit limbung. Hujan di luar belum benar-benar berhenti. Bau tanah basah menyusup masuk lewat jendela lorong yang terbuka sedikit.

Azizi berdiri di samping Freya. Ia ikut memperhatikan kepergian Shani. "Dia kelihatan aneh gak sih?"

Freya tidak menjawab. Matanya masih tertuju ke arah sudut tangga yang baru saja dilewati Shani.

"Frey?" Azizi menyikut pelan.

"Aku merasa ada yang dia sembunyikan." Ucap Freya datar.

"Semua orang punya rahasia." Balas Azizi, mencoba santai. "Tapi bukan berarti semuanya berbahaya."

"Rahasia yang disimpan terlalu dalam... bisa membunuh dari dalam." Freya melangkah lebih dulu. "Ayo ke kantin."

...***...

Kantin tampak lebih ramai dari biasanya. Suara dentingan sendok, gesekan kursi, dan percakapan murid-murid yang membicarakan topik yang sama, Gracia. Beberapa dari mereka bahkan tanpa rasa bersalah menertawakan rumor yang beredar. Gambar editan dan meme terus berganti di layar ponsel. Freya duduk di sudut. Azizi membawakan dua gelas teh hangat.

"Frey, kamu yakin gak mau makan?"

Freya menggeleng pelan. "Selera makanku hilang sejak manusia kehilangan rasa malu."

Azizi menatap Freya, lalu menoleh ke sekeliling. "Kamu tahu... kadang aku takut. Bukan pada gosip itu, tapi pada betapa cepatnya semua orang berubah jadi hakim."

Freya menatap lurus ke depan. "Karena jadi hakim itu mudah. Yang sulit adalah menjadi manusia." Azizi terdiam.

Beberapa siswa menatap ke arah mereka. Ada yang berbisik, ada yang diam-diam memotret. Freya sadar, Ia menoleh, menatap balik dengan tenang, tidak ada senyum, tidak ada amarah. Hanya sorot mata tajam yang membuat dua siswa buru-buru memalingkan muka.

"Entah siapa penyebar notifikasi itu?" tanya Freya tiba-tiba.

Azizi mengangguk. "Itu akar dari semua kekacauan ini."

"Orang itu tahu betul apa yang dia lakukan. Dan dia... mungkin tidak jauh dari kita."

Azizi menatap Freya. "Kau mencurigai seseorang?"

Freya menyesap teh. "Tidak, lagipula aku tidak perduli. Aku tidak ingin ikut campur. Lagipula, Gosip seperti ini cepat atau lambat akan memudar dengan sendirinya."

...***...

Di dalam bilik toilet, Shani tampak menelpon seseorang. Ia terlihat marah. "Apa kau sadar apa yang sudah kau lakukan, Gracia? Aku tau kau yang menyebarkan hal ini."

"Lalu kenapa?" Tanya Gracia. Nadanya terdengar santai. "Orang tuaku sudah mengurus semuanya. Mulai hari ini aku tidak lagi bersekolah di sana. Aku akan pindah ke luar negeri sampai aku melahirkan. Aku sudah menghubungi orang tuamu, aku akan memberimu waktu selama lima bulan, sampai ujian berakhir. Setelah itu, aku ingin kau menghubungiku di sini." Ujar Gracia.

Shani nampak geram, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan. "Apa yang kau inginkan sebenarnya?" Tanya Shani.

"Tidak ada, aku hanya membuat semuanya lebih menarik. Dan, bagaimana jika kita tambahkan sesuatu sebagai hidangan penutup?" Ujar Gracia, ia menyeringai di balik telepon.

"Apa maksudmu?" Tanya Shani.

"Kau terima perasaan Freyanashifa, kalian bisa berpacaran selama lima bulan ini. Dan setelah itu, kau harus membuangnya. Itu pasti akan menjadi momen yang paling menarik." Gracia tertawa riang.

Shani tidak membalas, tangannya telah mengepal sempurna, "Jangan libatkan dia dalam hal ini, Gracia!"

"Kenapa tidak, atau aku sendiri yang harus memberitahunya? itu pasti akan menghancurkan hatinya..." Setelah itu, Gracia menutup sambungan teleponnya. Shani kembali memukul dinding kamar mandi dengan emosi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!