NovelToon NovelToon
Santri Kesayangan Gus Zizan

Santri Kesayangan Gus Zizan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Keluarga / Romansa
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.

Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.

Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banyak orang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 11

Kabut malam turun lebih pekat dari biasanya, menutup sebagian halaman Pondok Nurul Falah. Suara jangkrik bercampur dengan desir angin yang menusuk kulit. Dari kejauhan, lampu-lampu asrama terlihat redup, sebagian sudah padam karena para santri mulai terlelap. Namun di sisi barat pondok—dekat gudang alat kebersihan—dua bayangan bergerak pelan, seperti hantu yang menyelinap di antara kabut.

Bayangan itu adalah Wulan dan Rani.

Rani tampak ragu, langkahnya tersendat-sendat. Plastik hitam besar di tangannya bergoyang, berisi sesuatu yang jelas berat. Wajahnya pucat pasi, keringat dingin bercucuran meski udara malam dingin. Sesekali ia menoleh ke belakang, seolah berharap ada seseorang yang tiba-tiba muncul dan menghentikan mereka.

Sedangkan Wulan berjalan mantap. Di tangannya ada senter kecil yang dilapisi kain agar cahayanya tidak terlalu terang. Tatapannya tajam, bibirnya mengulum senyum tipis penuh kemenangan.

“Cepat, Ran. Jangan lama-lama,” bisiknya dengan nada memerintah.

Rani hampir menangis. “Wul… aku nggak sanggup lagi. Aku—aku takut. Kalau ketahuan, kita bisa dikeluarin dari pondok. Bisa malu sama keluarga…”

Wulan menghentikan langkahnya, menoleh dengan sorot mata yang membuat Rani terdiam. “Kamu lupa ancaman aku, Ran? Semua orang bisa tahu siapa yang ikut naruh bukti pertama di gudang. Mau gimana muka kamu nanti kalau Ummi dan Gus tahu?”

Rani menunduk, bahunya gemetar. Air matanya menetes tanpa suara. Ia ingin melawan, tapi keberanian itu hilang entah ke mana.

“Bagus.” Wulan tersenyum miring. “Sekarang ikut saja. Tinggal satu langkah terakhir, setelah itu semua orang bakal yakin kalau Dilara memang bawa sial. Dia nggak bakal punya tempat lagi di pondok ini.”

Mereka terus berjalan hingga tiba di depan gudang. Kunci gudang sengaja dibiarkan longgar—ulangan dari siasat sebelumnya. Wulan sudah menyiapkan semuanya dengan rapi. Ia membuka pintu pelan, menyingkap kabut yang masuk bersama mereka.

Di dalam gudang, suasana lembap dan pengap. Bau karung beras, cat, dan debu bercampur jadi satu. Wulan mengarahkan senternya ke sudut paling gelap. “Taruh di situ.”

Dengan gemetar, Rani meletakkan plastik hitam itu. Suara isinya beradu menimbulkan bunyi keras—seperti logam atau batu. Ia terperanjat, lalu menutup mulut agar tidak berteriak.

“Apa isinya, Wul?” suaranya bergetar.

“Rahasia,” jawab Wulan enteng. “Tugas kamu cuma nurut.”

Rani mundur, wajahnya makin pucat. Dalam hatinya, ia tahu isi plastik itu bukan barang biasa. Ada bau anyir samar yang keluar, meski Wulan sengaja menutup rapat dengan dua lapis plastik. Rani hampir muntah, tapi ia menahan.

Sementara itu, di luar gudang, dua sosok lain mengintai dalam diam—Gus Zizan dan Devan. Mereka bersembunyi di balik pohon mangga besar, cukup dekat untuk melihat tapi tetap terlindung oleh kabut.

Devan berbisik pelan. “Gus, itu bener Wulan sama Rani.”

Gus Zizan mengangguk. Sorot matanya tegas, penuh kewaspadaan. “Aku sudah curiga sejak lama. Tapi kita nggak boleh gegabah. Kita harus tahu apa sebenarnya yang mereka taruh di situ.”

Devan menelan ludah. “Tapi kalau kita langsung muncul, mereka bisa kabur, Gus.”

“Makanya, kita tunggu sampai mereka pergi. Baru kita lihat apa isi plastik itu.”

Di dalam gudang, Wulan memastikan posisi plastik itu tersembunyi di balik karung beras. Lalu ia menepuk bahu Rani. “Sudah. Besok pagi, biar semua orang yang nemuin. Dan kamu… jangan pernah buka mulut. Ingat, kalau kamu bicara, habis kamu.”

Rani hanya mengangguk lemah. Air matanya jatuh lagi, tapi ia menunduk dalam-dalam, menyembunyikannya dari Wulan.

Beberapa menit kemudian, keduanya keluar dari gudang. Pintu ditutup rapat, suara kunci berderit lirih. Mereka berjalan cepat meninggalkan tempat itu, menghilang dalam kabut.

Baru setelah langkah mereka benar-benar tak terdengar, Gus Zizan keluar dari persembunyian. Wajahnya serius, sorot matanya penuh kehati-hatian. “Ayo, Van. Kita lihat.”

Mereka masuk ke gudang, cahaya lampu senter kecil Devan menyoroti setiap sudut. Hingga akhirnya, plastik hitam itu terlihat. Devan mendekat, menahan napas. “Gus… ini bau…”

Dengan hati-hati, Zizan membuka sedikit ikatan plastik itu. Begitu terbuka, keduanya tertegun. Di dalamnya terdapat bangkai ayam, bercampur dengan kain hitam sobek-sobek, penuh noda merah.

“Ya Allah…” Devan menutup hidung, hampir muntah. “Wulan gila, Gus. Dia mau fitnah Dilara pakai ini? Semua orang pasti bakal yakin kalau itu bukti ‘ilmu hitam’ atau semacamnya.”

Gus Zizan menarik napas panjang, menutup plastik itu kembali. “Ini bukan sekadar bullying lagi. Ini sudah fitnah besar yang bisa merusak nama orang tanpa bisa dibela.” Ia menatap Devan tajam. “Kita nggak boleh biarin ini terus. Besok, kita harus hadapi mereka.”

Sementara itu, di asrama, Dilara masih terjaga. Ia duduk di ranjang dengan mata sembab, menatap kosong ke arah tirai. Salsa, Dewi dan Mita tertidur di sampingnya, kelelahan setelah terus menemaninya. Tapi Dilara tak bisa tidur.

“Kenapa aku? Apa salahku?” gumamnya lirih, suaranya hampir tak terdengar. Air matanya jatuh lagi. Setiap ejekan, setiap tatapan, setiap tawa—semua itu menusuk dalam-dalam.

Di hatinya, ia mulai goyah. Ada suara yang berbisik: Mungkin mereka benar. Mungkin aku memang bawa sial.

Ia menggenggam jilbabnya yang sudah kusut, menekannya ke dada. “Ya Allah… kalau memang aku kuat, kenapa aku merasa lemah sekali?”

Pagi berikutnya, Pondok Nurul Falah kembali gempar. Seorang santri yang hendak mengambil sapu di gudang berteriak kencang. “Astaghfirullah! Ada bangkai!”

Santri lain segera berlarian. Tak lama, kabar menyebar: ada plastik hitam berisi bangkai ayam dan kain hitam penuh noda merah. Bisik-bisik langsung memenuhi udara.

“Itu jelas banget bukti, kan?”

“Ya Allah, ini pondok atau apa sih…”

“Dilara lagi? Jangan-jangan itu beneran punya dia…”

Suasana makin panas. Ummi Latifah dipanggil lagi. Wajahnya tegang ketika melihat isi plastik. Suara santri semakin riuh, banyak yang langsung menuduh Dilara meski belum ada bukti jelas.

Wulan berdiri di tengah kerumunan, pura-pura kaget, lalu menatap sekeliling. “Ummi… kalau boleh jujur, kain ini mirip banget sama yang dipakai Dilara kemarin. Aku takut… jangan-jangan dia memang menyimpan hal-hal kayak gini.”

Bisik-bisik makin riuh. Semua mata lagi-lagi tertuju pada Dilara.

Dilara gemetar, wajahnya pucat. “Bukan… itu bukan punya saya! Saya nggak tahu apa-apa soal itu!” suaranya pecah.

Tapi santri lain tak peduli. “Kamu selalu bilang ‘bukan’! Tapi buktinya selalu ada!” – “Udah jelas, ini pondok jadi nggak tenang gara-gara kamu!”

Salsa maju ke depan, matanya marah. “Jangan nuduh sembarangan! Kalian nggak tahu apa-apa!”

Namun suara Salsa tenggelam di tengah keributan.

Saat itu juga, Gus Zizan muncul bersama Devan. Wajahnya tegas, suaranya keras menghentikan keributan. “Cukup!”

Semua terdiam.

Gus Zizan maju, menatap isi plastik hitam itu, lalu menoleh ke para santri. “Sebelum kalian semua menghukum dengan mulut dan tuduhan, dengarkan baik-baik. Semalam, saya dan Devan melihat siapa yang menaruh plastik ini.”

Santri-serentak terperanjat. Wulan juga, meski cepat-cepat menyembunyikan ekspresinya.

Gus Zizan melanjutkan dengan suara mantap, “Bukan Dilara. Saya ulangi, bukan Dilara.”

Bisik-bisik pecah lagi. Wajah Dilara berubah—antara lega dan bingung.

Gus Zizan menoleh tajam ke arah kerumunan, pandangannya berhenti pada Wulan dan Rani. “Saya sudah tahu siapa pelakunya. Dan kalau kalian masih berani main fitnah, kalian akan berhadapan dengan saya.”

Udara terasa berat. Santri saling pandang, bingung sekaligus takut.

Wulan mengepalkan tangan di balik jilbabnya, wajahnya kaku. Ia tidak menyangka Gus Zizan sampai turun tangan sejauh ini. Tapi ia belum kalah. Ia harus cari cara lain untuk menjatuhkan Dilara—bahkan kalau itu artinya menghancurkan siapa pun yang berani melawan.

Dan Rani… ia berdiri di samping, tubuhnya gemetar hebat. Air matanya sudah jatuh tanpa bisa ditahan. Kata-kata Gus Zizan menembus hatinya, seakan semua rahasia akan terbongkar sebentar lagi.

1
Sahabat Sejati
/Kiss//Kiss/
Sahabat Sejati
/Drool//Drool/
Lia se
bagusss
Dewi Anggraeni
sangat bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!