Dimana masih ada konsep pemenang, maka orang yang dikalahkan tetap ada.
SAKA AKSARA -- dalam mengemban 'Jurus-Jurus Terlarang', penumpas bathil dan kesombongan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AKSARA 28
Di tepi jalanan, di bawah pohon besar tak jauh dari gang tempat tinggalnya, Ibrahim membawa Saka dan Jono bicara di sana.
Ketiganya duduk lesehan di atas rumput dengan posisi Ibrahim di tengah, dikawal kiri dan kanan dua temannya.
Topi lusuh di kepala dilepas Baim perlahan dengan wajah tetap merunduk. "Kalian ngapain ke sini?" Nadanya tak bertenaga.
Saka mempersiapkan diri untuk bertanya. Ada keraguan sebenarnya, tapi ini penting.
"Umm, maaf, Im ... gua inget ucapan bokap lu tadi, maksudnya Beliau ... lu mau berenti sekolah?"
"Mereka pasti mau maksa Baim supaya sekolah lagi!"
Kalimat itu yang Saka ingat diucapkan bapaknya Baim pada istrinya saat memasuki rumah.
Dalam runduknya Ibrahim terdiam beberapa saat selepas pertanyaan Saka, untuk berpikir.
Dua bocah di sampingnya diam menunggu.
"Sebenernya gua gak mau berenti sekolah," Ibrahim mulai bicara. "Tapi kondisi keuangan keluarga gua bener-bener lagi susah, Sak, Jon. Bapak ketipu orang usahanya, dan berbalik jadi utang. Gua harus bantu Bapak cari uang buat lunasi semua sebelum rumah kami disita pihak bank."
Dua temannya sama-sama terkejut.
"Serumit itu?"
"Iya."
"Gua turut prihatin, Im," ucap Saka. Dia paham itu, tetangganya di Jenggala pernah mengalami kejadian serupa. "Tapi ini 'kan bukan tanggung jawab lu!" debatnya kemudian. "Boleh lu punya pikiran bantu orang tua, tapi lu punya hak atas pendidikan. Lu bisa mikul dagangan, tapi jangan sampe ngorbanin sekolah lah, Im."
Ibrahim terdiam, memikirkan mendalam kalimat Saka yang serius itu.
"Saka bener, Im," Jono setuju. "Gua liat bapak lu juga seger-seger aja! Masih mampu beliau usaha sendiri. Ini dia ada di rumah sementara lu capek-capek bawa tanggungan seberat itu. Jadi di saat lu lelah dan berat-berat mikul dagangan, bokap ngapain malah santai di rumah? Sarungan pula kek abis sunat!"
"Jon!" Saka menegur, menepuk pundak Jono dari belakang. "Rem lah moncong lu."
Jono hanya melengos, jadi terbawa kesal ingat rupa bapak Ibrahim.
Ibrahim sendiri semakin merunduk. "Gak apa-apa, Sak," katanya lemah. "Yang lu berdua bilang bener. Tapi ... sebagai anak gua bisa apa?" Tatapannya sekarang lurus ke depan, banyak bayangan melintas di kepalanya seperti slide memory hitam.
"Tiap hari gua harus nerima omelan Bapak karena dianggap cuma ngabisin duit kalo sekolah. Biaya bulanan, ongkos, buku dan lain-lain, semua dibahas keras sampe bikin gua ngerasa tertampar."
Saka dan Jono saling beradu pandang, miris mendengarnya.
"Gua bener-bener beban buat mereka," sambung Ibrahim. "Adek gua kelas enem SD, mau lulus. Dia juga butuh biaya banyak buat kelulusan sama masuk SMP. Jadi dibanding harus ngedebat sikap Bapak yang kayak gitu, lebih baek gua yang ngalah. Toh sekolah bukan satu-satunya jalan ke masa depan, gua cuma perlu rajin."
Menohok perasaan dua temannya di kiri kanan. Sulit menimpal karena Ibrahim sepertinya tebal dengan persepsinya sendiri.
Tapi itu terlalu lemah untuk disebut sebuah keputusan. Baik Saka maupun Jono tahu, susunan kalimat itu tidak lahir dari hati terdalam Ibrahim. Anak itu suka belajar dan peduli pendidikan, sayangnya karena tekanan ... jadi lahir keterpaksaan yang membawanya pada sebentuk kata 'mengalah'.
Itu menyakitkan.
"Lu kan pinter, Im. Kenapa gak dapet beasiswa?"
Pertanyaan Saka yang statusnya anak pindahan itu dijawab oleh Jono, "Baim pernah dapet itu, Sak. Tapi distop cuma karena gak menang lomba sketsa antar sekolah."
Lagi-lagi itu di luar pemahaman Saka sampai dia tercenung. "Di-stop?''
"Ya. Emang tolol mereka semua itu," Jono mengutuk.
Arjuna Palas segitu kejamnya mempermainkan hak murid-muridnya. Suka mengancam pula. Termasuk dirinya, Akmal Nugraha dan Gendhis yang diancam gak naik kelas jika salah bicara soal kasusnya Yordan Siregar.
Saka semakin tenggelam dalam pikiran kacau.
Jadi ada dua penderitaan Ibrahim sekarangーpemutusan beasiswa dan tekanan keluarga, terutama dari bapaknya yang arogan itu.
Saka dan Jono memutuskan pulang langsung setelah obrolan di bawah pohon usai tanpa penyelesaian.
Ibrahim melepas mereka dengan berat hati dan penuh penyesalanーmenyesal karena mungkin tak akan bisa bersama lagi.
"Gak ada kelas, gak ada nongkrong istirahat di pinggir lapangan. Maafin gua, Temen-temen."
.
.
Berpisah dengan Jono di jalanan, Saka memutuskan ke sebuah tempat lebih dulu dengan berjalan kaki sebelum pulang.
Lapangan yang beberapa malam ini dia gunakan untuk berlatih jurus. Merenung di sana, di bawah pohon pala yang berbuah ranum.
Bayangan wajah lesu Ibrahim terus mengganggu.
"Gimana caranya gua bantu Baim? Gua gak mau kalo sampe dia beneran putus sekolah."
Saat semua yang dia pikirkan berada dalam kebuntuan, seseorang berteriak memanggilnya dari sebuah arah, "SAKA! NGAPAIN LU BENGONG DI SITU? AYOK TURUN MAEN BOLA!"
Wajah Saka yang redup mendadak cerah. "Bud."
Budi itu tetangganya, rumahnya bersebrangーanak mantri tukang sunat, rombongannya menguntai di belakang. Mereka semua melambai tangan mengajak Saka.
"GUA IKUT, BUD!"
Mereka mengacungkan jempol.
Sebelum itu, lebih dulu Saka menggantungkan tasnya di tangkai pohon dan membuka sepatu.
Bertepatan dengan dia berlari memasuki lapangan, hujan turun langsung deras saja.
Tapi itu justru menambah semangat mereka untuk bermain.
Untuk beberapa saat Saka bisa mengesampingkan bebannyaーbeban yang sebenarnya tidak harus dia yang menanggung.
Tapi karena dia adalah Sakaーbukan tentang dirinya sendiri.
Sampai tak terasa, keseruan mereka sudah menurunkan jingga di horizon. Hujan bersisa gerimis dan langit akan memeluk pekat.
Setelah duduk acak di tengah lapangan untuk menetralkan napas sambil tertawa-tawa, mereka kemudian beranjak pulang.
Saka berjalan berdampingan bersama Budi.
"Kapan-kapan main lagi, Sak!"
"Siap, Bud!"
Keduanya berpisah, berbelok ke rumah masing-masing.
Saka melirik teras, motor Aryani sudah di sana. Ya, sudah lebih seminggu Aryani pulang lebih awal. Pekerjaannya sedang tidak menumpuk.
"Alamat diomelin ini gua," cicit Saka. Menyapu seragamnya yang basah dan penuh tanah.
Untuk tasnya anti air, bukunya tidak akan basah.
Sampai di dalam, meskipun dengan langkah mengendap, tetap saja.
"SAKAAA! ITU BAJU SERAGAM KENAPAAAA?!! ABIS NGAPAIN KAMU?! KECEBUR SUMUR?!”
Aryani berkacak pinggang di depan pintu kamarnya dengan bola mata hampir meloncat. Untung tampangnya tidak mirip Mak Lampir.
"Hehe." Saka malah nyengir. "Main bola, Ma."
"BOCAH GEMBLUNG!"
Cepat Saka berlari sebelum sisir di tangan Aryani terlempar ke badannya. "SAKA CUCI SENDIRI, MA! AMPUN!"
“DASAAARR!”
PTAK!
Sisir itu dilempar juga, tapi menimpa dinding.
Setelah itu selesai.
Aryani hanya menggeleng seraya bersungut-sungut. Terdengar kucuran air dari dalam kamar mandi setelah itu, Saka langsung menyiram diri.
Saat sama ketika Aryani akan menyalakan tv, bunyi ketukan pintu terdengar, gerak Aryani urung, remote ditaruhnya kembali ke samping tv. “Siapa jam segini?” gumamnya sambil berjalan.
Setelah pintu dibuka, kening Aryani mengernyit. “Maaf, cari siapa, ya?” tanyanya sesopan mungkin.
“Ah, Bu, permisi. Kami ... orang tuanya Yordan. Maaf, Saka-nya ada?”
huahahahaha
sama-sama beresiko dan bermuara pada satu orang.. yordan..