Aira tak menyangka jika pernikahan harmonis yang ia bina kini hancur lebur, karna orang ketiga.
Dunianya hancur, hingga sebuah kecelakaan menimpanya dan membuat ia koma. setelah sadar, ia dihadapkan dengan seorang pria yang tiba-tiba saja menjadikannya seorang budak. hingga dimana Aira dijadikan bak seorang tawanan oleh pria misterius itu.
sementara disisi lain, Rayyan berusaha menjalani dendam yang diamanatkan padanya dari sang ayah. dendam yang begitu membuatnya berapai-api pada Aira.
akankah Rayyan berhasil menuntaskan dendamnya? atau malah rasa cinta timbul dihatinya untuk Aira?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Annavita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Dikamar yang gelap dengan cahaya tamaran, sepasang suami istri baru saja menyelesaikan penyatuan cintanya yang telah lama mereka nantikan, setelah beberapa bulan ini berpisah karna urusan pekerjaan.
Nafas keduanya tersengal-sengal, mencoba mengatur ritme jantung yang berpacu begitu cepat. Dimas merebahkan diri di samping Aira, memeluknya erat. Namun, Aira merasakan kekecewaan kembali menghampirinya. Ia belum mencapai kepuasan yang sama, sensasi yang ia dambakan masih menggantung di ujung angan.
Aira menoleh pada Dimas, pria yang telah menjadi suaminya selama tiga tahun. Ia menatap wajah lelah itu, mencoba mencari jawaban atas kekecewaan yang selalu ia rasakan. Lagi-lagi, ia harus menelan pil pahit kekecewaan. Kenikmatan yang ia impikan selama berbulan-bulan, sejak Dimas bertugas di luar kota, hanya berlangsung beberapa menit saja.
Setelah kepulangan Dimas dari dinas kerja di luar kota selama berbulan-bulan, Aira sangat merindukannya. Ia membayangkan malam-malam penuh gairah, melampiaskan segala kerinduan yang membuncah. Namun, harapannya pupus. Dimas tak pernah bisa memberikan kepuasan yang ia inginkan di ranjang. Ia merasa seperti seorang pelari yang tak pernah mencapai garis finish, selalu tertinggal di belakang, merindukan sensasi yang tak pernah ia rasakan.
Melihat suaminya tertidur pulas tanpa merasa bersalah, Aira merasa hatinya semakin perih. Ia merasa seperti tidak dihargai, tidak diinginkan. Dengan perasaan campur aduk, Aira memilih untuk membungkus tubuhnya dengan bathrobe dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Di kamar mandi, matanya tertuju pada jaket yang dikenakan Dimas saat pulang. Jaket itu tergeletak di lantai, tampak lusuh dan berdebu. Sebuah benda terlihat mencurigakan dari saku jaket itu. Benda itu tampak asing, tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Aira mengambilnya dan terkejut mendapati sebuah pelembap bibir. Bukan pelembap bibir biasa, melainkan sebuah lip balm dengan aroma yang manis dan feminin. Aroma yang tidak asing, namun bukan aroma yang biasa digunakan oleh Dimas.
"Lip balm?" gumamnya lirih, mencoba mencerna apa yang dilihatnya. Jantungnya mulai berdebar kencang, firasat buruk mulai menghantuinya.
Tak ingin terburu-buru curiga, Aira memutuskan untuk menanyakannya langsung pada Dimas. Ia ingin memberikan kesempatan pada suaminya untuk menjelaskan semuanya. Ia berharap, apa yang ia lihat hanyalah sebuah kesalahpahaman.
"Sayang, ini lip balm siapa?" tanyanya dengan nada lembut, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang melandanya. Ia berdiri di samping ranjang, menatap Dimas yang masih terlelap.
Dimas, yang tadinya terpejam, langsung membuka mata dengan jantung berdebar kencang. Ia terkejut melihat Aira berdiri di depannya, memegang lip balm yang ia sembunyikan. Ia merasa seperti tertangkap basah melakukan kesalahan besar. Namun, ia berusaha menetralkan ekspresinya agar tidak membuat Aira curiga. Ia harus berpikir cepat, mencari alasan yang masuk akal untuk menjelaskan semuanya.
Ia duduk dan tersenyum pada Aira, berusaha terlihat tenang dan meyakinkan. "Oh, itu lip balm-ku, Sayang. Di Bandung cuacanya dingin banget, jadi bibirku pecah-pecah. Nggak enak kan kalau aku ketemu klien dengan bibir kayak gini," jawabnya dengan nada santai, berharap Aira mempercayainya.
"Oh... gitu. Aku kira..." jawab Aira, mencoba menyembunyikan keraguan yang masih menggelayuti hatinya. Ia ingin mempercayai Dimas, tapi ada sesuatu yang mengganjal di benaknya.
"Kamu kira apa?" tanya Dimas, menelan ludah dengan gugup. Ia takut Aira mengetahui kebenarannya, rahasia yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
"Nggak ada kok. Ya udah, kamu tidur aja lagi," ucap Aira, berbalik dan berjalan menuju lemari. Ia mengambil pakaiannya dan bersiap untuk mandi. Ia tidak ingin melanjutkan percakapan ini, ia butuh waktu untuk sendiri, untuk merenungkan semuanya.
Tiba-tiba, Dimas memeluknya dari belakang. Ia memeluknya erat, seolah takut kehilangan Aira. "Maaf ya, kamu pasti belum puas?" tanyanya dengan nada menyesal. Ia tahu, ia belum bisa memberikan kebahagiaan yang seutuhnya pada Aira.
Aira hanya membalas pelukan Dimas dengan senyuman tipis. Ia tidak ingin membahas masalah ini lagi, ia lelah. Ia hanya ingin merasakan kehangatan pelukan Dimas, meskipun hanya sesaat.
Dimas menarik Aira untuk kembali berbaring. Mereka pun tertidur dengan Dimas memeluk Aira dari belakang. Namun, pikiran Aira masih berkecamuk. Ia tidak bisa tidur nyenyak, bayangan lip balm itu terus menghantuinya.
"Maafkan aku, Aira," batin Dimas, merasa bersalah karena telah menyembunyikan sesuatu dari istrinya. Ia tahu, ia telah melukai hati Aira.
Malam yang panjang berganti dengan mentari yang bersinar cerah. Hari yang lembut dengan kicauan burung dan suara ayam berkokok menciptakan suasana yang menenangkan. Namun, ketenangan itu tidak merasuk ke dalam hati Aira. Ia masih merasa gelisah, tidak nyaman.
Aira membuka matanya, tetapi tidak melihat Dimas di sampingnya. Ia bangkit dari tempat tidur dan menyusuri setiap ruangan, mencari keberadaan suaminya. Ia menemukan Dimas di ruang kerja, sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon.
"Oke, nanti aku ke sana," ucap Dimas dengan nada tergesa-gesa.
"Mas Dimas teleponan sama siapa pagi-pagi begini?" gumam Aira, berdiri di dekat pintu sambil melihat suaminya yang membelakanginya. Ia merasa curiga, siapa yang ditelepon Dimas sepagi ini?
"Mas...?" panggilnya dengan nada ragu.
Dimas terkejut dan segera mengubah topik pembicaraannya, seolah-olah sedang berbicara dengan atasannya. Ia berusaha terlihat profesional dan meyakinkan.
"Baik, Pak, saya akan kerjakan semuanya," ucap Dimas, lalu menutup teleponnya dan menghampiri Aira. Ia tersenyum, berusaha menyembunyikan kegugupan yang melandanya.
"Sayang, kamu sudah bangun?" tanyanya, yang dibalas anggukan oleh Aira.
"Kamu habis teleponan sama siapa pagi-pagi begini?" tanya Aira dengan nada menyelidik. Ia ingin tahu siapa yang ditelepon Dimas, dan apa yang mereka bicarakan.
"Ah... Biasalah, Pak Danu minta Mas buat lembur di kantor hari ini," jawab Dimas dengan nada santai, berharap Aira mempercayainya.
"Loh, tapi kan ini jadwal libur kamu. Kok main lembur aja?" protes Aira, merasa tidak adil. Ia ingin menghabiskan waktu bersama Dimas, setelah berbulan-bulan berpisah.
"Sayang, tapi keadaan di kantor lagi genting. Perusahaan terancam bangkrut, jadi Mas harus urus beberapa dokumen. Kamu ngertiin ya," rayu Dimas, mencoba membujuk Aira. Ia tahu, ia telah mengecewakan Aira.
Namun, Aira tidak menatapnya. Air mata mulai keluar dari sudut matanya, membasahi pipinya. Bibirnya bergetar, menahan isak tangis. Ia merasa sakit hati, dikhianati.
"Kamu baru aja pulang setelah tiga bulan dinas! Dan hari ini, jatah libur kamu harus dipake lembur di kantor? Terus waktu buat aku-nya kapan, Mas?" protes Aira lagi, dengan suara bergetar. Ia merasa tidak dihargai, tidak dicintai. Ia pun memilih kembali ke kamar dan mengurung diri, menangisi nasibnya.
Sementara Dimas, hanya mengusap pelipisnya dengan kasar. Ia merasa bersalah, telah membuat Aira kecewa. Ia tahu, ia harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki semuanya. Tapi, ia tidak tahu harus mulai dari mana.
*
*
Dimas pun berangkat dengan keadaan hati yang gusar, bagaimana tidak Aira sejak tadi tak bergeming dan mengacuhkannya. Hingga Dimas pun memilih untuk pergi kekantor dengan keadaan sang istri yang masih marah.
mendengar suara mobil Dimas yang melaju menjauh, Aira yang sejak tadi menutup diri dengan selimut tebal pun membukanya. Ia tak menyangka Dimas akan meninggalkannya begitu saja.
Aira bangun, dan pergi kedapur untuk mencari air minum. Saat minum ia tak sengaja melihat sebuah coklat dengan selembar catatan.
'Maafin aku ya sayang, aku janji akhir pekan kita liburan. Sayang kamu, muuacch' tulis Dimas, tiba-tiba saja kalimat itu membuat bibir Aira seketika mengembang.
Hati yang tadinya begitu mendung, kini kembali cerah. Lupakan soal rasa kesalnya pada pekerjaan Dimas, karna ia tahu untuk sampai ke titik ini, membutuhkan perjuangan yang begitu sulit. Jadi ia harus memaklumi jika dirinya prioritas kedua setelah pekerjaan.
*
Aira bersiap untuk pergi kedai rotinya. Dan saat dilampu merah, disebrang sana ia tak sengaja melihat mobil Dimas yang juga tengah menunggu lampu hijau, namun Aira begitu bingung saat melihat bukan Dimas yang mengendarai mobil itu, melainkan seorang wanita.
*,
Bersambung---
Jangan lupa tinggalkan komen
guys baca juga ini seru buanget loh... apalagi mantan suami Aira, nanti sadar dan ngejer ngejer lagi tu mantan bini... hoho