Hanina Zhang, merupakan putri seorang ulama terkemuka di Xi’an, yang ingin pulang dengan selamat ke keluarganya setelah perjalanan dari Beijing.
Dalam perjalananya takdir mempertemukannya dengan Wang Lei, seorang kriminal dan kaki tangan dua raja mafia.
Hanina tak menyangka sosok pria itu tiba tiba ada disamping tempat duduknya. Tubuhnya gemetar, tak terbiasa dekat dengan pria yang bukan mahramnya. Saat Bus itu berhenti di rest area, Hanina turun, dan tak menyangka akan tertinggal bus tanpa apapun yang di bawa.
Di tengah kebingungannya beberapa orang mengganggunya. Ia pun berlari mencari perlindungan, dan beruntungnya menemui Wang Lei yang berdiri sedang menyesap rokok, ia pun berlindung di balik punggungnya.
Sejak saat itu, takdir mereka terikat: dua jiwa dengan latar belakang yang berbeda, terjebak dalam situasi yang tak pernah mereka bayangkan. Bagaimana perjalanan hidup Dewi Hijab dan iblis jalanan ini selanjutnya?
Jangan skip! Buruan atuh di baca...
Fb/Ig : Pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab_11 Rencana Gagal!
...Wang Lei_POV...
Gadis itu menunduk sejenak, sebelum akhirnya mengangguk.
"Aku akan pakai sepatuku dulu." jawabnya. Aku mendehem pelan sebagai jawaban. Dia pun berdiri perlahan dan melenggang menaiki tangga.
Sembari menunggunya, aku melangkah ke arah sofa dan duduk santai dengan satu kaki terangkat ke paha lalu menyalakan rokok dan menghisapnya.
Asap pertama mengepul perlahan dari bibirku, melayang-layang di udara yang mulai pengap dengan keheningan. Mataku terpaku pada tangga yang baru saja dilalui Hanina.
Brengsek... Aku tahu aku terlalu keras tadi. Tapi menunjukan keperdulian secara terang-terangan, itu sama sekali bukan aku. Aku tidak ingin Hanina mengenalku sebagai orang baik. Aku hanya berandalan yang kasar, egois, dan keras kepala, dan itulah yang semua orang tahu.
Tapi sialnya, baru sebentar sejak kedatanganya semuanya jadi kacau. Caranya menatap, caranya merespon, kelembutan dan ketenangan yang tak pernah ku kudapati dari wanita yang kutemui sebelumnya, Semua itu mengusik pikiranku.
Aku menatap rokok yang terbakar perlahan di antara jemariku. Ujungnya memerah, lalu menghitam, seperti rasa bersalah yang perlahan membakar sisi diriku yang sudah lama mati rasa.
Langkah kakinya kembali terdengar di tangga. Kukibaskan abu rokok ke asbak kaleng di samping sofa, lalu berdiri pelan. Kulirik jam di tangan, sudah lewat pukul 9 malam. Pasar malam masih buka, tapi tidak akan lama lagi. Dan aku tak mau berada di luar terlalu lama bersamanya. Terlalu mencolok. Terlalu banyak resiko.
Akhirnya dia muncul menuruni anak tangga dan melangkah mendekat ke arahku, mengenakan mantel dan sepatu kotornya.
"Sudah siap?" tanyaku.
"Sudah.." jawabnya singkat.
"Baiklah, ayo..." Tanpa banyak kata, aku melangkah keluar di ikuti Hanina di belakang.
Setelah mengunci pintu rumah, aku melangkah menaiki motor gantengku, mengenakan helm dan menunggu Hanina naik.
Detik berikutnya Tangan gadis itu menyentuh bahuku, ragu-ragu. Lalu ia duduk di jok belakang, dengan posisi miring seperti biasa.
Aku tak menoleh, hanya berkata datar,
"Pegangan yang benar. Jangan sampai jatuh."
Dia menurut. Tubuhnya kaku. Tak memeluk, hanya memegang ujung jaketku, erat. Aku menarik napas pelan, lalu memutar gas.
Motor melaju pelan menyusuri jalanan malam yang mulai sepi. Keluar gang lalu membelah jalan raya. Motorku menyelip di antara mobil-mobil pribadi dan truk pengangkut barang yang melaju lambat.
Sesekali aku melirik spion, Hijab Hanina berkibar, wajahnya tenang, matanya bergerak seiring dengan lampu-lampu jalan yang berkelebat. Nampak lugu dan manis membuat dadaku berdesir aneh.
Tiba tiba suara ponsel berdering dan bergetar di saku jaketku. Awalnya aku tak menghiraukan, tapi karena deringnya terus terusan menganggu, akhirnya kuputuskan mengerem di tepi trotoar.
"Brengsek!" gumamku kesal, kemudian merogoh saku jaket, meraih ponsel. Nama yang tertera di layar membuat alisku bertaut_Bos Lou Sheng?
"Halo...Bos?" sapaku, dengan nada yang sudah jelas malas dan penuh curiga.
"Lei, kau ke restoran Chì Yàn Lóu, Bos tunggu sekarang, ada masalah urgent!"
Aku mendengus kasar begitu mendengar suara bos yang serak seperti kaset rusak. Tadi Hanina bikin emosi naik, sekarang Bos Lou sheng yang bikin hipertensi.
"Maaf Bos, tidak bisa. Memperkerjakan karyawan di luar jam kerja itu pelanggaran. Ini kan malam minggu," keluhku kesal.
"Wang Lei, bayaranmu yang kemarin kan belum bos lunasin. Nah! Kau datanglah ke sini, bos kasih kau bonus sesuai janji, asal..."
Asal apa nih? Firasatku mulai tidak enak.
"Apa kita tidak jadi pergi?" tiba tiba suara Hanina terdengar di belakang, membuat bos langsung mengalihkan pembicaraan.
"Heh! Suara siapa barusan? Kau lagi sama cewek ya? Jangan bohong, bos denger semuanya,"
Gawat! Kupikir Hanina cukup pelan saat bicara, tapi tentu saja, si bos mata keranjang itu bisa menangkap suara sekecil apa pun jika menyangkut perempuan.
"Itu suara cewek yang lewat bareng pacarnya tadi," kilahku dengan suara malas.
Terdengar Bos di seberang mendengus kasar.
"Kau jangan mengibuli, bos ya.. Pokoknya sekarang juga kau kesini, bawa cewek itu juga! Bos tunggu!" serunya, lalu memutuskan panggilan sepihak.
Aku menahan napas, rahangku mengeras. Sial, Bos Lou Sheng sudah mulai bertingkah.
Aku memijat pangkal hidung, frustasi. Kalau aku datang, Hanina bisa jadi tidak aman, tapi kalau aku tidak datang bayaran dan bonus bisa hangus, sia-sia pekerjaanku. Sumpah! Suatu hari nanti akan kusumpal mulutnya pakai kaos kaki, seenaknya memerintah bawahan tak kenal waktu!
Aku memutar badan sedikit ke arah Hanina, Gadis itu masih duduk anteng di jok belakang.
"Kamu sih, ngomong segala.. Rencana kita jadi gagal!" gerutuku.
Hanina hanya menunduk, "Maaf..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Tapi justru karena lirihnya itu, aku malah merasa seperti bajingan.
Aku menghela napas keras, menatap jalanan yang semakin lengang, lampu toko-toko mulai padam satu per satu. Sial. Aku tak bisa membawanya ke Chì Yàn Lóu. Itu tempat makan bergaya mewah yang jadi markas separuh urusan gelap di distrik barat.
Restoran outdoor itu cuma kedok. Di balik dapurnya ada ruang bawah tanah tempat rapat para tukang pukul, bandar, sampai lintah darat.
Tempat itu bukan sekadar kotor, tapi bisa menodai yang masih suci, dan gadis seperti Hanina tidak pantas tahu dunia kelam seperti itu.
"Aku pulang saja kalau kamu ada urusan. Besok kita bisa pergi lagi, kan?" tanyanya.
Aku berpikir keras, lalu menggeleng bingung. Besok jadwalku melakukan negosiasi dan pelelangan di pasar gelap bersama bos Liang, dan waktu yang dibutuhkan paling cepat dua hari. Selama dua hari, aku tidak mungkin membiarkan Hanina mengenakan baju yang sama, bisa bentol- bentol badannya nanti.
Aku menarik napas dalam. Menundukkan bahu, mecengkeram stang lebih erat, lalu memainkan gas beberapa kali. Raungan mesinnya menggema di telinga. Setelah itu, motor melaju memutar arah menuju distrik barat.
"Pegangan.. Kita mau ngebut!" teriakku.
Perlahan tangan Hanina mulai melingkari pinggangku meski gerakannya terasa ragu.
"Kita pulang atau kemana?" tanyanya agak nyaring.
"Kita ke tempat, bos ku dulu."
Tak ada jawaban. Aku memutar gas lebih cepat, merasakan tangan Hanina semakin erat memelukku dari belakang. Ada sensasi hangat yang tidak familiar menjalar ke dadaku.
Sialan... Aku tidak bisa seperti ini, aku bukan pria labil yang deg-degan cuma karena pelukan dari cewek polos kaya Hanina. Kenapa jadi begini sih? Brengsek!
...•<•<•Pearlysea•<•<•...
Chì Yàn Lóu 15 menit perjalanan. Aku memarkirkan motor di antara mobil-mobil mewah yang berjejer.
Aku dan Hanina turun, menatap restoran itu yang tampak tenang dari luar, lampion-lampion menggantung berayun pelan diterpa angin malam, meja-meja outdoor ramai dan pelayan berseragam hitam-merah yang nampak sibuk melayani pelanggananya.
Aku melirik gadis di sampingku sebelum melangkah ke dalam. Dia nampak mengerutkan dahinya sedikit, mungkin heran atau penasaran.
"Kita masuk ke dalam, kamu tetap di sampingku, diam dan jangan ngomong apa-apa. Ngerti?"
Hanina mengangguk pelan. Tanpa buang waktu lagi, Kami pun melangkah bersama memasuki area outdoor, musik mengalun cukup keras.
Langkah kami melewati beberapa meja dimana para orang-orang brengsek berkumpul, mata mereka menatap Hanina serius, saling berbisik seolah aneh dan asing. Gadis berhijab memasuki tempat hiburan liar, sangat tidak masuk akal. Begitu mungkin pikir mereka.
Aku tak perduli, tetapi gestur Hanina menunjukan ketidaknyamananya.
Pandanganku berkeliling mencari Bos kurang ajar itu, hingga sebuah teriakan keras mengalihkan perhatianku.
"Wang Lei, Kesini!"
Mataku tertuju ke sebuah meja paling sudut, anak buah Lou sheng berkumpul disana. Segera aku mendekat ke arah mereka sementara Hanina masih setia mengekoriku.