Pak jono seorang pedagang gorengan yang bangkrut akibat pandemi.
menerima tawaran kerja sebagai nelayan dengan gaji besar,Namun nasib buruk menimpanya ketika kapalnya meledak di kawasan ranjau laut.
Mereka Terombang-ambing di lautan, lalu ia dan beberapa awak kapal terdampar di pulau terpencil yang dihuni suku kanibal.
Tanpa skill dan kemampuan bertahan hidup,Pak Jono harus berusaha menghadapi kelaparan, penyakit,dan ancaman suku pemakan manusia....Akankah ia dan kawan-kawannya selamat? atau justru menjadi santapan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilalangbuana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak yang Hilang
Pagi itu, udara masih terasa dingin meskipun matahari sudah mulai merangkak naik. Kabut tipis menggantung di antara pepohonan, menciptakan suasana yang ganjil—sunyi dan penuh kecemasan. Pak Jono dan yang lainnya perlahan keluar dari goa di balik air terjun, tempat persembunyian mereka semalam. Wajah-wajah mereka masih tegang, belum sepenuhnya percaya bahwa malam purnama telah berlalu.
Namun kegelisahan kembali muncul saat mereka menyadari sesuatu yang ganjil.
“Sebentar... Aldi, Raka, sama Seno ke mana?” tanya Jefri dengan dahi berkerut.
Pak Rahmat langsung menoleh, menghitung ulang setiap orang yang keluar dari goa. “Tiga orang... nggak ada,” bisiknya lirih, seolah tak percaya.
Suasana mendadak membeku. Mata mereka saling berpandangan dengan kecemasan yang sama. Mereka yakin Aldi, Raka, dan Seno ikut bersama saat menuju tempat persembunyian semalam. Tapi kini mereka tak terlihat. Tak ada jejak, tak ada suara, tak ada tanda-tanda ke mana mereka pergi.
“Jangan-jangan mereka ketangkap…” Gilang tak mampu menyelesaikan kalimatnya.
Pak Jono menggigit bibirnya, rasa bersalah menghantam hatinya. Ia tahu, malam purnama bukan sekadar malam biasa di pulau ini. Keheningan yang mencekam, anak-anak yang disembunyikan, dan hanya perempuan yang berani menampakkan diri—semua adalah peringatan besar. Dan kini, tiga kawannya hilang.
---
Hari itu juga, Pak Jono dan Kapten Rahmat meminta bantuan kepada Kepala Suku Arung Tala, pemimpin komunitas yang selama ini menerima mereka tinggal. Kepala Suku yang sudah lanjut usia itu mendengarkan dengan seksama cerita tentang ketiga teman mereka yang hilang.
“Ketika malam purnama datang, roh-roh perempuan dari suku penguasa bulan berkeliaran. Mereka memilih mangsanya diam-diam. Mereka tak meninggalkan jejak,” ujar Arung Tala dengan tenang, namun dalam suaranya ada nada muram.
“Apa... ada cara untuk mengetahui mereka masih hidup atau tidak?” tanya Pak Jono penuh harap.
Arung Tala memejamkan mata sesaat, lalu mengangguk pelan. “Ada. Tapi itu bukan metode manusia biasa. Kami perlu melakukan ritual pemanggilan roh. Itu satu-satunya cara mengetahui di mana posisi mereka, dan bagaimana keadaan mereka.”
Kapten Rahmat saling pandang dengan Pak Jono. “Kalau itu satu-satunya jalan, kami siap.”
---
Malam harinya, di tengah pelataran batu besar yang terletak di tepi hutan, para tetua adat bersiap memulai ritual. Api unggun besar dinyalakan di tengah lingkaran batu, dan beberapa lelaki tua berdiri mengelilinginya, mengenakan pakaian adat dari serat pohon dan bulu-bulu burung. Asap dupa mengepul perlahan, menyelimuti area dengan aroma yang menusuk hidung.
Pak Jono, Kapten Rahmat, Jefri, dan Gilang diminta duduk bersila di luar lingkaran batu, mengamati dalam diam. Suara gendang suku berdentum perlahan, lalu semakin cepat. Para tetua mulai menyanyikan mantra dalam bahasa yang tidak dimengerti, suara mereka berat dan bergema, seolah dipandu oleh kekuatan dari dunia lain.
Salah satu tetua, seorang perempuan tua bernama Nenek Saha, tiba-tiba masuk ke tengah lingkaran. Ia membawa mangkuk tanah liat yang diisi darah ayam hitam yang tadi sore dikorbankan. Ia mengangkat mangkuk itu ke atas, lalu menyiramkan sedikit darah ke api unggun. Api langsung membesar, melambung setinggi dua kali tubuh manusia.
Mata Nenek Saha mendadak kosong. Suaranya berubah, menjadi serak dan dalam.
“Ada tiga jiwa yang tersesat di hutan utara. Mereka... masih hidup... tapi... terbelenggu...”
Pak Jono menegakkan tubuhnya. “Apa maksudnya ‘terbelenggu’? Di mana mereka?”
“Dibawa... oleh para wanita penjaga kabut. Tubuh mereka tidak bebas. Jiwa mereka digantung di antara kesadaran dan kegilaan. Jika tidak diselamatkan... bulan berikutnya mereka akan dikorbankan,” ucap Nenek Saha lirih, lalu tubuhnya lunglai jatuh ke tanah.
Para tetua buru-buru menghampiri dan mengangkat tubuhnya. Salah satu dari mereka, bernama Paman Lako, mendekati Pak Jono dan kawan-kawan.
“Kami sudah mendapat jawabannya. Teman-teman kalian masih hidup. Tapi mereka sekarang berada di wilayah suku perempuan yang dikenal dengan sebutan Watu Kalima, penghuni lembah kabut di utara.”
Kapten Rahmat mengangguk penuh tekad. “Berarti kami harus segera ke sana.”
Paman Lako menggeleng pelan. “Tak semudah itu. Kalian tidak akan bisa masuk tanpa bantuan kami. Wilayah itu penuh dengan ilusi dan perangkap spiritual. Tapi kami akan bantu. Karena kini kalian bagian dari kami.”
Pak Jono menatap langit malam. Bintang-bintang bersinar tenang, seolah tak peduli bahwa tiga nyawa kini terjebak dalam nasib yang digantung. Ia mengepalkan tangan.
“Kami akan selamatkan mereka. Apa pun yang terjadi.”
---
Malam itu, tak banyak yang tidur. Persiapan dimulai. Senjata tradisional diasah, ramuan pelindung disiapkan, dan para tetua menyusun strategi menuju Lembah Kabut. Perjalanan ke sana diperkirakan memakan waktu dua hari dengan medan yang sulit. Namun mereka tak punya waktu.
Bulan purnama berikutnya bisa menjadi akhir segalanya.
Dan waktu terus berjalan.
---
-Lembah Kabut
Fajar baru menyingsing saat rombongan kecil itu meninggalkan pemukiman tradisional.
Pak Jono, Kapten Rahmat, Jefri, Gilang, dan tiga pria lokal sebagai penunjuk jalan,Paman Lako, Muru, dan Tama,melangkah menuju utara. Tujuan mereka satu...Lembah Kabut, tempat di mana Aldi, Seno, dan Raka diyakini ditahan oleh suku Watu Kalima, suku perempuan yang menghuni daerah berkabut dan penuh misteri.
Langkah mereka menyusuri pinggiran hutan yang mulai menanjak, mengikuti jalur kecil yang nyaris tersembunyi di antara akar pepohonan dan semak belukar.
Matahari yang semula bersinar cerah kini perlahan redup saat kabut tipis mulai turun, padahal hari belum siang.
“Jalur ke Lembah Kabut selalu seperti ini,
gumam Muru, salah satu warga lokal.
“Kalian akan merasa sudah berjalan jauh, tapi seperti tak bergerak ke mana-mana.”
Pak Jono mengerutkan kening.
Hutan itu seperti hidup, memerhatikan mereka dalam diam.
Setiap ranting yang patah di bawah kaki, setiap hembusan angin aneh, membuat mereka menoleh panik.
Dan meski matahari masih di atas kepala, suasana terasa seperti menjelang malam.
Langkah mereka makin berat...
Tiga jam berlalu.
“Berapa lama lagi?”
tanya Gilang, napasnya terengah. Bajunya basah oleh keringat dan lumpur. Mereka sudah menaiki bukit, menuruni lembah, lalu kembali menanjak ke punggungan lain.
Tama, penunjuk jalan paling muda, berhenti sejenak dan melihat ke langit.
“Seharusnya kita sudah sampai di Sungai Lurus... tapi ini aneh.”
Paman Lako menatap ke sekeliling. “Kita... berputar.”
Jefri memelototkan matanya.
“Apa maksudnya? Bukannya kita tadi naik terus?”
“Ini salah satu kekuatan lembah kabut,”
jawab Paman Lako.
“Ia mengacaukan arah dan waktu. Bahkan kompas pun tak bisa digunakan di sini.”
Kapten Rahmat mengeluarkan kompas dari kantong ransel kecilnya.Jarumnya berputar kacau, tak menunjuk ke arah mana pun. Ia mendengus. “Luar biasa...”
Menjelang sore, kabut mulai menebal. Daun-daun terlihat membasah, meski tidak hujan.
Suara burung perlahan menghilang. Udara menjadi sunyi dan dingin. Langkah mereka menjadi lebih lambat.
Tiba-tiba, Jefri berhenti.
“Eh... kalian lihat itu nggak?” bisiknya pelan sambil menunjuk ke balik pohon besar.
Semua menoleh.
Di balik kabut, samar-samar terlihat sosok perempuan berambut panjang mengenakan kain lusuh putih.
Ia berdiri membelakangi mereka, tubuhnya diam. Lalu...perlahan ia berbalik.
Wajahnya rata. Tak ada mata, hidung, mulut.
Muru langsung menarik Jefri mundur.
“Jangan lihat dia terlalu lama! Itu penjaga kabut!”
Makhluk itu menatap mereka,atau lebih tepatnya, menghadap mereka,tanpa ekspresi. Lalu perlahan menghilang di balik pepohonan.
Pak Jono merasa jantungnya nyaris berhenti. “Apa itu... jin?”
“Bukan jin. Tapi roh yang menjaga batas wilayah suku Watu Kalima. Mereka adalah perempuan yang pernah dikorbankan dalam ritual lama, dan sekarang menjadi pelindung.”
Setelah kejadian itu, mereka terus bergerak, namun tak ada satu pun yang bicara.
Malam perlahan datang. Kabut tak beranjak, seolah menggantung seperti tirai di antara mereka dan dunia nyata.
Mereka memutuskan bermalam di bawah lereng batu yang terlindung. Api unggun kecil dinyalakan,sekadar untuk mengusir dingin, bukan untuk penerangan. Paman Lako melarang mereka menyalakan api terlalu terang.
“Cahaya menarik perhatian penghuni kabut.”
Di tengah keheningan, terdengar suara... tangis bayi.
Pak Jono dan Kapten Rahmat saling menatap.
“Di sini tidak ada bayi,”
bisik Gilang, suaranya tercekat.
Tangisan itu terdengar semakin dekat.
Lalu menghilang.
Semua membisu.
Keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan. Kini medan semakin sulit.
Tebing curam, jembatan akar, dan jalur tanah licin menghadang mereka.
Satu kali, Pak Jono terpeleset dan hampir jatuh ke jurang, beruntung ditarik oleh Kapten Rahmat.
Sampai akhirnya, di tengah siang yang remang-remang, mereka tiba di tepi jurang.
Di seberangnya, tersembunyi di balik kabut pekat dan pepohonan tua, terlihat gerbang batu setinggi dua manusia.
Di atas gerbang itu tergurat lambang yang menyerupai wajah wanita dengan mata tertutup dan gigi panjang.
“Itu pintu masuk ke wilayah Watu Kalima,” ucap Paman Lako.
“Lalu bagaimana caranya masuk?” tanya Jefri.
Muru menunjuk pada batu persembahan di sampingnya.
“Kita harus memberikan tanda damai. Biasanya bunga putih, atau benda logam berharga.”
Kapten Rahmat melepas jam tangannya. “Ini?”
Paman Lako mengangguk. “Letakkan di atas batu dan undurkan diri.”
Kapten Rahmat meletakkan jam itu di atas batu persembahan. Beberapa detik kemudian, kabut di depan gerbang seolah bergulung... membuka jalan.
“Cepat,” kata Tama. “Sebelum mereka berubah pikiran.”
Rombongan itu melangkah masuk ke dunia lain,tempat yang lebih sunyi dari kematian, dan lebih aneh dari mimpi buruk.
Pak Jono menatap sekeliling.
Aroma bunga dan tanah basah memenuhi hidung. Gerakan samar terlihat di sela pepohonan. Mereka tahu, di balik kabut ini... Aldi, Seno, dan Raka sedang menunggu.
Dan waktunya tinggal sedikit.
Kabut mulai menipis saat mereka makin dekat ke pusat wilayah suku Watu Kalima.
Udara dingin menusuk tulang, dan langkah kaki terdengar bergema aneh di antara pepohonan. Suara burung, jangkrik, bahkan desir angin... tak ada satu pun yang terdengar. Seolah alam memutuskan berhenti bernapas.
Dari balik semak lebat yang ditumbuhi tanaman merambat berduri, Pak Jono, Kapten Rahmat, Gilang, Jefri, dan dua penunjuk jalan lokal berjongkok sambil mengawasi.
Paman Lako memberi aba-aba agar mereka diam. Ia menunjuk ke arah barat, ke sebuah tanah lapang yang dikelilingi batu besar dan pagar kayu melingkar tinggi.
Di tengah-tengahnya berdiri sebuah kerangkeng dari tulang, dikuatkan dengan simpul rotan dan paku-paku besi kasar.
Di dalam kerangkeng itu, tampak tiga sosok manusia. Dua terbaring lemas dengan tubuh kurus dan luka lebam di sekujur badan,Raka dan Seno. Yang satu lagi duduk membungkuk di pojokan, wajahnya ditutupi kedua tangan,Aldi.
Tiba-tiba, suara Aldi menggema lirih namun jelas di antara hening:
“Sialan... anjeeng… dulu gua sering mimpi hidup dikelilingi wanita dan hari-hari cuma ngewek...tapi bukan kaya gini juga... yang ujung-ujungnya cuma jadi santapan mereka...”
Nafasnya terengah. Ia mengguncang kepala dan meninju tanah di bawah kakinya. Pakaiannya compang-camping, leher dan bahunya penuh bekas cakaran.
Tangannya gemetar,entah karena trauma, lapar, atau ketakutan.
Pak Jono menahan napas, menoleh pada Kapten Rahmat yang menggenggam keris pendek pemberian kepala suku.
Gilang dan Jefri saling berpandangan, mata mereka berkaca-kaca. Paman Lako menggeleng perlahan, berbisik,
“Jika mereka belum dikorbankan... masih ada waktu. Tapi begitu bulan kembali bulat penuh,upacara berikutnya dimulai.”
“Apa maksudnya dengan... jadi santapan?” tanya Gilang pelan, meski ia sendiri ragu ingin tahu jawabannya.
Paman Lako menarik napas panjang. “Suku ini memperlakukan lelaki sebagai persembahan. Mereka... memeras benih kehidupan dari para pria, lalu mengorbankan tubuh mereka untuk roh leluhur.”
Jefri memalingkan wajah, menahan rasa mual.
Kapten Rahmat menatap lurus ke depan.
“Kita harus bertindak malam ini. Kalau menunggu esok, bisa terlambat.”
Pak Jono mengangguk pelan, meski pikirannya masih kacau. Mimpi buruk ini nyata. Dan tiga teman mereka sudah di ambang maut... atau kegilaan.
Tujuh sosok perempuan dari suku misterius itu muncul dari balik semak, langkah mereka teratur seperti rombongan pemburu yang telah memilih mangsanya. Dua dari mereka membuka pintu kerangkeng, menyeret Raka menuju lapangan terbuka.
Di sana, dua puluh perempuan telah berjajar, wajah-wajah mereka tanpa ekspresi. Raka digiring ke tengah, seperti persembahan di altar kuno.
Sementara itu, Aldi hanya bisa menyaksikan dari balik jeruji, tubuhnya mulai gemetar menyadari apa yang akan terjadi. Ia ingin menutup telinga, namun jeritan hati lebih bising dari suara luar.
"Sialan....anjiiiiing..."
desis Aldi lirih, napasnya terputus-putus. "Dulu gua sering mimpi hidup dikelilingi perempuan, tapi bukan begini... Bukan begini caranya..."
Di hadapannya, ritual kelam itu dimulai,sunyi yang mencekam, suara-suara samar seperti bisikan dari neraka, dan tangisan yang terkubur dalam lumpur malam.
Mereka dengan ganasnya menyetubuhi Aldi, terus menerus, bergantian tanpa ada istirahat, atau hanya sebatas untuk menghela napas..
Tubuh Aldi semakin lemas tak berdaya,
Aldi tak kuasa lagi menatap. Dunia di sekelilingnya perlahan menjadi gelap. Tubuhnya lemas. Dan ketika ia terbangun, dirinya telah kembali di kerangkeng, terbaring tanpa tenaga. Yang tersisa hanyalah diam, dan luka yang tak terlihat.
Malam masih pekat, namun ketenangan alam seolah mulai terusik.Dari balik semak-semak lebat yang menjadi tempat persembunyian mereka, Pak Jono dan kawan-kawan dikejutkan oleh suara gaduh yang menggema dari kejauhan.
Bukan suara biasa.
Dentuman kaki berlari, jeritan samar, dan pekikan asing yang menggema laksana bunyi perang zaman purba.
Kapten Rahmat merunduk, menajamkan pendengaran.
“Itu bukan suara hewan...”
bisiknya pelan, penuh waspada.
Gilang mengangguk.
“Suaranya datang dari arah timur. Dekat pemukiman suku perempuan.”
Jefri menelan ludah.
“Apa mungkin… suku pantai menyerang?”
Kecurigaan itu seketika berubah menjadi keyakinan. Selama pengintaian, mereka memang sempat mencatat ketegangan antar suku.
Terutama sejak beberapa pria dari suku pantai tak pernah kembali setelah memasuki wilayah suku perempuan.
Ada kecurigaan bahwa mereka menjadi korban ritual yang tidak semua orang bisa mengerti.
Pak Jono menatap ke arah langit yang mulai memerah di ufuk timur, bukan karena fajar, melainkan karena cahaya dari obor-obor yang menyala di kejauhan. Sebuah sinyal bahwa konflik tengah membara.
Mereka tahu, ini saatnya. Kesempatan untuk menyelamatkan Aldi, Seno, dan Raka tidak akan datang dua kali.
Dalam kekacauan yang semakin jelas terdengar, mereka segera menyusup dari jalur lain dan memutar ke arah belakang perkampungan.
Dengan tubuh menempel ke tanah dan napas yang ditahan, mereka mendekat perlahan.
Dari balik semak tinggi, mereka melihat suasana mencekam. Api membakar beberapa sudut perkampungan.
Jeritan wanita menggema bersahut-sahutan. Bentrok telah pecah antara dua suku liar yang selama ini hidup dengan aturan sendiri.
Bentrok yang jauh dari moral kemanusiaan, namun sangat lekat dalam tradisi kelam mereka.
Tiga kerangkeng masih berdiri di bawah pohon besar.
Di sanalah Seno dan Raka masih terkurung. Aldi tampak lebih lemah dari sebelumnya, tubuhnya tergeletak diam di sudut kandang, tanpa banyak gerak.
Cahaya api memantul dari kulitnya yang berkeringat dingin.
“Sekarang!”
bisik Kapten Rahmat tegas.
Gilang dan Jefri segera bergerak membuka jeruji bambu kerangkeng dengan alat yang telah mereka siapkan dari potongan logam tajam. Seno yang sadar langsung merangkak keluar begitu pintu terbuka. Raka dibantu oleh Pak Jono. Namun Aldi... tetap terbaring, matanya sayu, bibirnya komat-kamit seolah mengucap doa atau mungkin hanya menggumamkan rintihan sunyi.
“Kita harus cepat!
ujar Pak Jono dengan panik, sambil mencoba mengangkat Aldi ke pundaknya.
Namun sebelum mereka sempat mundur dari lokasi, suara siulan keras terdengar dari balik pepohonan. Dalam sekejap, deru panah melesat dari berbagai arah,datang dari suku pantai yang menyadari keberadaan mereka.
Kapten Rahmat berteriak,
“Tiaraaaap!”
Semua berguling ke tanah, namun terlambat,satu anak panah menancap ke tubuh Aldi. Tepat di sisi dadanya. Suaranya tercekat. Matanya yang tadinya kosong, kini menatap ke langit seperti melihat sesuatu yang jauh di atas sana.
Pak Jono menahan tubuh Aldi, mengguncangnya dengan panik.
Namun Aldi hanya tersenyum tipis, sebelum akhirnya nafasnya berhenti, tenang... seperti telah menyerah pada penderitaan yang telah lama ia tanggung.
Seno meraung lirih. Raka memalingkan wajahnya, tak sanggup menatap.
“Kita harus pergi!”
seru Kapten Rahmat, menarik Pak Jono yang masih menahan tubuh Aldi.
Dengan berat hati, mereka meninggalkan jasad Aldi di bawah pohon besar, tubuhnya diselimuti kain seadanya.
Mereka tak bisa melakukan apa-apa lebih dari itu. Nyawa Aldi tak bisa diselamatkan,direnggut dalam kekacauan suku yang saling menghancurkan demi warisan tradisi purba.
Pelarian kembali menuju arah barat berlangsung dalam diam. Tak ada yang berbicara. Tak ada yang menangis.
Semua wajah dirundung duka, terbungkam oleh perasaan bersalah, sedih, dan amarah yang campur aduk tak tertahankan.
Langit mulai cerah. Matahari perlahan merangkak dari balik pepohonan tinggi, menyinari wajah mereka yang kelelahan.
Sesampainya di hutan perbatasan, Kapten Rahmat berhenti dan menghela napas panjang.
“Kita tidak bisa membiarkan Aldi mati sia-sia,”
katanya pelan, matanya menatap ke ujung langit.
Pak Jono mengangguk.
“Dia harus dikenang. Setidaknya kita selamatkan dua lainnya.”
Raka menatap ke arah barat, lalu menunduk.
“Dan kita masih punya jalan panjang untuk bisa keluar dari pulau ini…”
Di kejauhan, suara konflik mulai mereda. Asap masih mengepul dari arah pemukiman. Namun mereka tahu, suku perempuan tak akan tinggal diam. Dan setelah kehilangan salah satu dari mereka, Pak Jono dan kawan-kawan mungkin kini menjadi sasaran berikutnya.
Pulau itu bukan sekadar tanah tak bertuan. Ia adalah tempat di mana manusia dihadapkan pada sisi tergelap dari peradaban yang terlupakan. Dan mereka kini terjebak di dalamnya, tanpa kepastian kapan bisa pulang.
To be continued…