Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania memilih diam. Tapi diamnya Rania adalah hukuman terbesar untuk suaminya. Rania membalas perbuatan sang suami dengan pengkhianatan yang sama, bersama seorang pria yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Balas dendam menjadi permainan berbahaya antara dendam, gairah, dan penyesalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sakit. Perih. Terhina.
Pukul sembilan tepat, pintu ruang rapat di lantai atas terbuka.
Asisten pribadi Askara memberi isyarat pada Rania. Tanpa banyak kata, Rania melangkah masuk. Ruangan itu sunyi dan luas, hanya ada satu meja panjang dan cahaya lampu redup yang jatuh tepat di atas tempat duduk Askara. Pria itu sudah duduk di ujung meja, membuka berkas, tidak menoleh saat Rania masuk.
"Duduk," ucapnya singkat, tanpa melihat ke arahnya.
Rania menurut. Duduk perlahan, menyimpan gugupnya dalam diam.
"Waktu saya tidak banyak, langsung saja," Kata Askara, membuka percakapan dengan nada yang dingin dan tak ramah. "Apa yang bisa Anda tawarkan untuk membuat saya berpikir ulang membatalkan semua tuntutan?"
Rania mengatur napas. "Saya paham posisi saya lemah. Perusahaan kami memang lalai. Tapi kami ingin menyelesaikan ini dengan baik. Kami akan memenuhi syarat pembayaran termin ketiga dalam waktu... "
"....Stop."
Askara akhirnya menatapnya. Pandangannya tajam, nyaris menelanjangi. "Itu bukan jawaban yang meyakinkan. Saya butuh alasan, bukan pengulangan janji."
Rania menatap balik. "Saya akan menjamin semuanya. Saya sendiri yang akan mengurus proyek itu sampai selesai. Langsung di bawah pengawasan Anda, jika perlu."
Alis Askara terangkat. "Langsung di bawah saya?"
"Saya tahu Anda tidak percaya lagi dengan janji, atau dengan staf kantor kami yang mengerjakan proyek Anda. Maka izinkan saya membuktikan bahwa saya berbeda."
Hening beberapa detik.
Lalu senyum tipis.. tapi samar.. terbit di sudut bibir Askara. Bukan senyum ramah, tapi lebih seperti ekspresi seseorang yang sedang menguji mangsanya.
"Kalau saya terima... apa jaminannya Anda tidak gagal untuk kedua kali?"
"Saya tidak akan memberi janji. Saya akan bekerja sampai Anda tak punya celah untuk menyalahkan saya."
Askara belum selesai.
Ia membuka kembali berkas di tangannya, seolah baru teringat sesuatu. Lalu tanpa mengangkat wajahnya, ia berkata pelan,
"Anda tahu kalau mengerjakan proyek ini berarti Anda harus berpanas - panasan di bawah matahari. Mungkin juga tak pulang berhari - hari. Apa... pasangan Anda... maksud saya, anak dari Pak Martin...tidak keberatan?"
Pertanyaannya terdengar tenang. Tapi Rania tahu, nada itu sengaja dilemparkan untuk menohok.
Ia tersenyum kecil.. palsu, tentu saja.
Dalam hatinya, ia berbisik lirih, mana mungkin Niko peduli...
Suaminya hanya ingin satu hal, masalah ini selesai, dengan cara apa pun. Kalau bisa tanpa harus menggerakan jarinya sendiri. Kalau perlu, menyerahkan istrinya sekalipun.
Dan itulah yang sedang terjadi.
"Dia tahu ini tanggung jawab saya," jawab Rania akhirnya. Sopan, tapi nyaris terdengar seperti sindiran yang dibungkus kalimat diplomatis.
Askara menatapnya sebentar. Ada ketertarikan samar dalam tatapannya... bukan karena simpati, tapi karena ia melihat sesuatu. Keteguhan yang jarang ia temui dari seseorang yang sedang di ujung jurang.
Pria tampan itu menyandarkan punggung, mengetuk - ngetuk jarinya di meja.
"Baik. Saya beri satu kesempatan. Tapi satu saja. Jika Anda tergelincir sedikit saja, bukan hanya perusahaan Anda yang saya seret. Tapi juga nama baik Anda pribadi."
Rania mengangguk sekali. Tegas.
"Saya mengerti"
Askara menutup berkasnya. Berdiri.
"Mulai besok pagi, jam tujuh, Anda sudah harus ada di kantor ini. Asisten saya akan memberikan semua detail proyek. Dan satu lagi..."
Ia menatap Rania, lama.
"Jangan datang kesini membawa emosi. Saya tidak suka orang yang mengandalkan air mata atau alasan pribadi. Saya butuh hasil."
Rania membalas tatapannya dengan kepala tegak.
"Saya tidak datang untuk drama atau dikasihani."
"Bagus," guman Askara, sebelum berbalik dan keluar dari ruangan. Meninggalkan wangi parfum mahal yang bercampur dengan dingin yang menggantung di udara.
Rania menarik napas panjang. Ini baru permulaan.. dan ia tahu, tidak akan ada ruang untuk kesalahan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Rania pulang nyaris tengah malam. Tubuhnya lelah, matanya berat, tapi pikirannya masih sibuk dengan segala kemungkinan yang akan ia hadapi esok hari.
Begitu pintu rumah dibuka, aroma makanan yang sudah mengering menyambutnya. meja makan dibiarkan berantakan.. piring - piring kotor menumpuk, beberapa bungkus makanan take - away terbuka, dan botol minuman dibiarkan begitu saja. Tak ada suara, tak ada yang menunggunya. Hanya sisa - sisa pesta kecil yang mencolok dalam sunyi.
Pembantu mereka sudah pasti pulang sejak sore, seperti biasa. Maka Rania yang mengambil alih. Ia melepas tas, menggulung lengan, dan mulai membereskan satu per satu, diam - diam, tanpa keluhan.
Saat membawa piring - piring ke dapur, matanya tertumbuk pada satu gelas wine di sudut meja. Sekilas biasa saja... sampai ia melihat jejak samar lipstik warna coral di bibir gelas. Bukan miliknya. Bukan warna yang pernah ia kenakan.
Tangannya sempat terhenti.
Ia memandangi noda itu lama. Dingin. Hening. Napasnya terasa berat. Bibirnya menegang. Otaknya langsung menghubungkan.. di saat ia menunggu di lobi kantor selama berjam - jam, ditolak, diremehkan, lalu menunduk demi harga diri yang tersisa... suaminya malah mengundang mantan istrinya ke rumah ini. Rumah mereka.
Rania menghela napas pelan. Ia tak menangis. Sudah habis rasanya. Tapi luka itu mengiris pelan - pelan, seperti silet yang diseret perlahan di kulit perasaannya.
Tak ada pesan masuk. Tak ada tanya di mana tadi. Tak ada kabar dari Niko soal bagaimana hasil perjuangannya hari ini.
Tak ada yang peduli.
Dan barangkali itu yang paling menyakitkan dari semuanya.
Niko terbangun tengah malam. Lampu ruang tengah masih menyala redup. Dari celah pintu, ia melihat sosok Rania duduk di lantai dapur, membersihkan sisa piring terakhir. Setelah beberapa menit, ia kembali masuk ke kamar tanpa suara.
Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Rania masuk perlahan, hanya mengenakan handuk tipis dan membawa pakaian ganti. Baru saja ia meletakkan baju di atas ranjang, Niko berdiri dari sisi ranjang, mendekatinya.
"Lama banget kamu." gumamnya pelan. Bau alkohol menguar dari mulutnya.
Rania tak menjawab. Ia hanya berjalan menuju lemari, mengambil handuk bersih. Tubuhnya begitu lelah, matanya sembab karena terlalu lama terjaga.
Niko mendekat dari belakang. Tangan besarnya menyentuh lengan Rania. "Kamu cantik malam ini."
Rania menoleh tajam. "Kamu mabuk?"
Niko tersenyum samar. "Mungkin. Tapi aku masih sadar kalau kamu istriku."
Tangan Niko menyusup ke pinggang Rania, menarik tubuh perempuan itu mendekat. Tapi Rania menepisnya, dengan wajah dingin dan suara pelan.
"Lepas, Nik."
Niko mendengus, emosi mulai naik. "Apa sih yang salah sama aku? Aku suamimu, Ran."
"Dan aku bukan bonekamu." Rania berbalik. Tapi kalah cepat dengan Niko yang menarik pinggangnya, mendorongnya dekat. Tanpa aba - aba mencium rakus bibir Rania.
Wanita itu tersentak, tangannya sibuk memukul - mukul dada Niko. Saat ada kesempatan Rania mendorong Niko hingga terhempas ke kasur.
Bagai binatang buas yang sudah membidik mangsanya, Niko tak melepas Rania. Pria itu bangun, menarik tangan Rania. Hingga wanita itu ambruk di kasur. Handuk yang melilit, dilepas sekali tarik oleh Niko. Niko semakin kalap melihat tubuh molek Rania.
"Niko lepas... lepas!" Rania meronta saat Niko menindihnya. Niko menahan dada Rania dengan sebelah tangan, sedang tangan yang lain sibuk melucuti celana tidurnya.
"Aku tidak mau Niko... aku tidak mau!" teriak Rania, kakinya menendang - nendang. Melawan sekuat tenaga.
Mata Rania mendelik ketika Niko menggigit kasar pundaknya. Kasar. Dan saat Rania lengah karena sakit yang mendera. Niko membuka kedua paha Rania, memasukinya dalam sekali hentakan.
Rania meringis. Meski bukan yang pertama kali.. tapi tak ada pemanasan, tak ada penyesuaian. Sakit. Perih.
"Jahat... kamu jahat!" maki Rania. Niko bak kesetanan, semakin menghujam, tak peduli bagian bawah Rania kering dan lecet.
"Hah...Hah.." desahnya.
Rania kembali memberontak dengan sisa tenaga yang ada, mendorong dada pria mabuk itu.
Niko semakin buas, menekan dada Rania agar diam. Tak puas.. Niko beralih mencekik leher istrinya.
Sakit. Terhina. Sesak.
Rania akhirnya pasrah, dimasuki entah untuk berapa kali.
"Uh... Fuck... Fuck" Racau Niko disela hentakan demi hentakan. Buah dada Rania tak lepas dari serangan. Ia remas kuat, hisap, hingga gigit. Sementara cekikan tetap mencengkram.
Air mata Rania sudah basah membekas di seprai. Sedang Niko belum juga terpuaskan. Pria itu baru berhenti setelah mendapatkan pelepasannya berkali - kali di rahim Rania. Meninggalkan Rania, lalu tertidur pulas, seolah tak terjadi apa - apa.
(Bersambung).....