NovelToon NovelToon
Sabda Buana

Sabda Buana

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Fantasi Timur / Kebangkitan pecundang / Epik Petualangan / Pusaka Ajaib
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Ilham Persyada

Wira Pramana, seorang murid senior di Perguruan Rantai Emas, memulai petualangannya di dunia persilatan. Petualangan yang justru mengantarnya menyingkap sebuah rahasia di balik jati dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ilham Persyada, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mengejar Barda

Sejak terbukti bersalah dalam pengeroyokan Wira dan menjalani hukuman, Barda bukannya jera, melainkan semakin membenci Wira. Ia berniat menyusun rencana untuk mencelakai Wira. Saat mengetahui perguruan telah memberi kabar kepada orang tua atau keluarga setiap murid yang terlibat pengeroyokan, Wira sempat khawatir ayahnya akan murka kepadanya.

Ketika para wali murid dari teman-temannya mengunjungi perguruan dan meminta maaf kepada Wira, Barda hanya menerima sepucuk surat. Dalam surat itu, sesuai dugaannya, sang ayah memang murka dan merasa malu. Namun, alasan di balik kemurkaan dan rasa malu itu bukan karena perbuatan Barda, melainkan karena Barda telah membiarkan sosok seperti Wira menginjak-injak harga dirinya dan juga nama besar keluarga Malanata.

Tentunya, hal itu semakin memicu kebencian yang ada dalam diri Barda terhadap Wira menjadi rasa dendam. Sayangnya, saat menyampaikan hal itu pada Mahendra dan Sularsa, kedua temannya itu justru menentangnya karena mereka telah meminta maaf kepada Wira dan tak ingin lagi melakukan sesuatu yang pada akhirnya hanya akan merugikan mereka sendiri.

Barda tentu tak bisa menerima hal itu. Ia memprovokasi Mahendra yang sempat sungguh-sungguh berniat untuk mencelakai bahkan mungkin membunuh Wira, tetapi Mahendra mengatakan bahwa ia melakukan itu hanya karena tak ingin Wira meremehkan atau memandang rendah dirinya dan teman-temannya.

Mahendra menambahkan bahwa saat Wira memaafkannya, bahkan masih memandangnya sebagai saudara seperguruan, ia justru semakin menyesalkan seluruh sikapnya kepada pemuda itu. Di sisi lain, Sularsa pun memiliki pemikiran yang serupa dengan Mahendra. Keduanya juga membujuk Barda agar berhenti mencari masalah, tetapi Barda tak mau mendengarnya sama sekali.

Tak hanya gagal mendapat dukungan untuk niatnya, Barda pun merasa teman-temannya mulai menjauh dan mengabaikannya. Semakin tak terima karena menganggap semua orang tak memandang dirinya lagi, Barda nekat melakukan pembalasan dendamnya seorang diri.

...***...

Kabar penculikan Ratnasari membuat suasana di Perguruan Rantai Emas menjadi ricuh. Meskipun Ki Damar sangat murka karena putrinya harus mengalami peristiwa ini, beliau masih dapat bersikap tenang.

Penyelidikan dilakukan dan berdasarkan keterangan teman sekamar Ratnasari, ditambah informasi dari Mahendra dan Sularsa perihal Barda yang menghilang, Barda pun ditetapkan sebagai terduga pelaku penculikan. Seluruh penghuni perguruan pun dikumpulkan. Ketua Raksala memberi instruksi. Meyakini pelaku penculikan belum terlalu jauh dari perguruan, pencarian besar-besaran pun segera dilaksanakan.

Jenderal Dranasapta juga memerintahkan agar Prajurit Suranaga turut membantu proses pencarian tersebut. Kedua wakil sang jenderal, Dewi Andini dan Cakradara, dengan sigap menjalankan perintah.

Setelah mengambil pedangnya, Wira pun bergerak bersama Nala untuk mencari sahabat mereka. Keduanya bergegas menelusuri area sesuai instruksi yang diterima. Di tengah pencarian, Mahendra dan Sularsa menyusul mereka berdua dengan terburu-buru.

“Wira! Sepertinya aku tahu ke mana Barda membawa Ratnasari!” kata Mahendra. Ia lalu menjelaskan keberadaan sebuah tambang terbengkalai yang letaknya cukup tersembunyi dan berjarak sekitar 30 kilometer ke arah selatan dari perguruan.

“Benarkah?’ tanya Nala dengan nada curiga.

“Karena …,” dengan raut wajah yang penuh rasa malu dan penyesalan, Mahendra menjelaskan mereka bertiga kerap menuju tempat itu dalam hari bebas latihan untuk minum tuak dan menghisap candu.

“Oh …, lalu kenapa kami harus percaya pemabuk dan pemadat seperti kalian?” kali ini Nala tak terang-terangan menunjukkan sikap sinisnya, “Bukankah selama ini kau dan temanmu itu selalu ingin melukai Wira?”

Hingga saat ini, Nala memang tak bisa mempercayai orang-orang yang kerap mengganggu Wira, tak terkecuali Mahendra dan Sularsa. Terlebih lagi, Nala mengetahui bagaimana Mahendra pernah hendak mencelakai Wira.

“Apa maksudmu?!” emosi Sularsa tersulut mendengar Nala mencecar Mahendra.

“Apa? Kau mau menyangkalnya?!” Nala tak peduli, bahkan terang-terangan menantang Sularsa. Akan tetapi, Wira bergerak untuk menahannya.

Mahendra menunduk lesu dan tak sedikit pun membantah Nala. Ia menghela napas, “Aku tidak berharap kau mempercayainya, tetapi aku lebih mengenal Barda dibandingkan kalian,” Mahendra memutar kudanya, “Barda tak akan segan menyakiti siapa saja yang dibencinya. Semakin lama kita menunda, semakin besar pula kemungkinan sesuatu yang buruk akan terjadi pada Ratnasari.”

Mahendra berniat mencari Barda di tempat yang tadi dijelaskannya walaupun hanya bersama Sularsa saja, tetapi Wira memintanya untuk menunggu.

Wira kemudian berkata kepada Nala, “Aku tahu apa yang kau pikirkan, tapi sekarang inilah satu-satunya peluang kita untuk menemukan Ratnasari secepatnya.” Wira tersenyum karena memahami kekhawatiran sahabatnya itu, “Tak apa kalau kau ingin terus mencari bersama yang lainnya. Aku akan mencoba mengikuti Mahendra.”

“Tapi Wira…,”

“Dengar, Nala. Kalau nanti kami memang menemukan Ratnasari, aku janji akan membawanya kembali. Sampaikan saja hal ini pada Wakil Ketua dan para guru lainnya. Aku yang akan bertanggung jawab.”

Wira merasa untuk saat ini mereka tak memiliki pilihan lain jika ingin segera menemukan Ratnasari. Wira pun memahami bahwa ada kemungkinan jika semua ini sudah direncanakan oleh Barda untuk menjebak dirinya, tetapi hal itu juga berarti besar kemungkinan dirinya dapat menemukan Ratnasari.

Di samping itu, tanpa adanya petunjuk yang jelas, mereka sama saja mencari jarum dalam tumpukan jerami. Maka, setelah menenangkan Nala, Wira pun meminta Mahendra untuk memimpin jalan menuju lokasi yang kemungkinan menjadi tempat Barda dan Ratnasari berada saat ini.

...***...

Wira, Mahendra, dan Sularsa memacu kuda mereka secepat mungkin. Sekitar hampir satu jam berkuda dari lokasi awal mereka di sekitar perguruan, Mahendra tiba-tiba berbelok ke sebuah jalan setapak.

“Barda tak akan melewati jalan utama!” seru Mahendra yang berposisi paling depan.

Wira mengangguk. Ia pun memiliki pemikiran yang sama dengan Mahendra sebab Barda juga pasti tahu kalau perguruan akan segera melakukan pencarian secara besar-besaran.

Jalan setapak itu membawa mereka menembus semak-semak dan melewati sebuah turunan. Di ujung turunan, Mahendra memberi tanda agar ketiganya kembali mempercepat laju kuda mereka, dan memasuki hutan.

Sementara itu, jauh di kedalaman hutan, Barda sedang bergerak secepat yang ia bisa. Di pundaknya, Ratnasari tergolek lemas tak sadarkan diri.

Melompat dari satu batang pohon ke batang pohon lainnya, Barda tiba-tiba berhenti saat mendengar suara derap kuda di kejauhan.

“Sialan! Mereka berdua benar-benar mengkhianatiku!” geramnya sambil melirik ke belakang.

Barda menyesali karena tak sempat mencuri seekor kuda dari perguruan. Sebelumnya, ia tak menyangka Ratnasari masih bisa mempertahankan kesadarannya meskipun telah terkena serbuk pelemah otot.

Gadis itu bahkan sempat melakukan perlawanan yang cukup sengit sehingga Barda tak bisa melumpuhkannya tanpa membuat keributan.

“Baik …, kemarilah kalau begitu! Kemarilah, biar kuhabisi kalian semua sekaligus!” gumam Barda dengan raut wajah yang bengis.

Wira dan kedua temannya terus memacu kuda mereka. Semakin ke dalam hutan, semakin tinggi dan besar pepohonannya. Mahendra tiba-tiba mengangkat tangan dan menghentikan kudanya.

Ia melihat Wira dan Sularsa telah waspada yang artinya mereka semua merasakan hal yang sama: hawa negatif yang memenuhi udara di sekitar mereka.

Dengan kesepakatan tanpa kata-kata, ketiganya menuruni kuda dan mencabut pedangnya masing-masing. Tatapan mereka pun beredar ke sekelilingnya.

“Awas!” Wira berteriak sambil mendorong Sularsa dan langsung melompat ke belakang.

Sesuatu menghantam tanah tempat mereka berdiri sebelumnya dengan sangat keras, mencipratkan serpihan dan bongkahan tanah ke segala arah.

Di balik tipisnya kepulan debu yang tercipta kemudian, sebuah bayangan hitam muncul, dan seiring memudarnya kepulan debu tersebut, sesosok makhluk dengan tinggi hampir dua meter menampakkan wujudnya.

Wira yang baru saja lega melihat Mahendra dan Sularsa baik-baik saja menjadi tegang kembali saat menyaksikan penampakan makhluk itu.

“Barda …,”

Walau tidak terlalu keras, Wira dapat mendengar ucapan Sularsa itu karena suasana hutan yang sepi. Wira melihat tatapan Sularsa begitu nanar, tetapi ekspresi Mahendra lebih sukar dijelaskan. Antara marah, kasihan, dan heran.

Saat itulah ia memastikan kalau makhluk di hadapannya, yang bertubuh besar dan berotot dengan kulit berwarna kecokelatan dan terkelupas di sana-sini serta bertelanjang kaki itu memang adalah Barda.

1
anggita
like, iklan utk novel fantasi timur lokal, moga lancar👌
anggita
Wira...,,, Ratnasari😘
Mythril Solace
Seru banget ceritanya, thor! Alurnya ngalir dan gaya penulisannya hidup banget—bikin aku kebawa suasana waktu baca. Aku juga lagi belajar nulis, dan karya-karya kayak gini tuh bikin makin semangat. Ditunggu update selanjutnya ya! 👍🔥
Ilham Persyada: siyap kak ..🫡
total 1 replies
Hillary Silva
Gak kebayang ada cerita sebagus ini!
Kaede Fuyou
Ceritanya bikin saya ketagihan, gak sabar mau baca kelanjutannya😍
Ilham Persyada: terima kasih Kak ... mohon dukungannya 🙏🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!