NovelToon NovelToon
Dinikahi Nenek 60 Tahun

Dinikahi Nenek 60 Tahun

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Cinta Beda Dunia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Sablah

Hidup Danu berubah total ketika ia menemukan sebuah amplop misterius di depan pintu kosnya. Di dalamnya, terselip sepucuk surat dengan kertas usang dan bau kayu basah yang aneh.
“Untuk Danu Setyawan. Baca saat sendirian.“
Awalnya Danu mengira surat itu hanyalah lelucon dari dosen atau senior iseng. Tapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Sampai ia benar-benar membaca isinya…
“Kepada Danu,
Aku tahu ini terdengar aneh, tapi kamu telah menjadi suamiku secara sah sejak 7 hari yang lalu.
Aku, Nyai Laras, menyerahkan seluruh harta dan rumahku kepadamu, sebagaimana tertulis dalam surat wasiat ini.
Datanglah ke Desa Pagarjati dan tinggallah bersamaku, sebagaimana janji yang pernah kamu buat,
meski kamu mungkin tidak mengingatnya.
Hormatku,
Nyai Laras.“
***

Lalu, siapakah sebenarnya Nyai Laras? Apakah Danu hanya korban lelucon terencana? Atau justru kebenaran mengarah ke sesuatu yang jauh lebih mengerikan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

kita bertemu lagi

Danu mengatur napas. Matanya masih terpaku pada gubuk di hadapannya, kecil, reyot, tapi terasa… hidup. Ada sesuatu yang memanggil dari dalam sana, sesuatu yang sulit dijelaskan oleh logika.

Ia melangkah perlahan, mendekati pintu kayu yang sedikit terbuka. Tapi sebelum tangannya sempat mengetuk—

Srrt.

Angin malam berhembus lembut melewati wajahnya, membawa serta aroma yang sangat familiar.

Harum melati… berpadu samar dengan kayu manis.

Danu langsung terdiam. Hidungnya menghirup lebih dalam tanpa sadar.

"Ini…" bisiknya.

Ia pernah mencium aroma ini sebelumnya. Dan itu tepat di rumah Nyai Laras. Bahkan Danu sangat yakin jika aroma inilah yang dulu menyambutnya ketika pertama kali datang ke rumah itu.

Danu langsung menegakkan punggung. Matanya menajam.

"Aroma ini... Nyai Laras?...." gumamnya dengan nada hampir yakin.

Meski tubuhnya masih lelah, dan udara masih menggigit, ada kekuatan aneh yang mendorong Danu semakin dekat ke pintu. Ia berdiri di depan ambang, merasakan jantungnya berdetak keras.

Lalu, dengan segala keberanian yang tersisa, Danu mengangkat tangan dan… mengetuk pelan.

Tok. Tok. Tok.

Tak ada jawaban.

Ia mengetuk sekali lagi, kali ini sedikit lebih keras.

Tok. Tok. Tok.

Masih tak ada jawaban. Namun, bau melati dan kayu manis semakin menguat, menyusup hingga ke rongga dada. Danu menarik napas dalam-dalam, separuh karena aroma yang menenangkan itu, separuh karena menyiapkan diri untuk segala kemungkinan.

Akhirnya, dengan dorongan pelan, ia membuka pintu kayu itu. Engselnya berderit pelan.

Cekkkk…

Ruangan itu remang. Hanya cahaya temaram dari pelita tua yang menggantung di dinding, benda itu terlihat goyang perlahan seperti ditiup angin halus. Lantai tanah padat, bersih dari debu. Di salah satu sisi ruangan, tampak sesosok wanita duduk membelakanginya.

Rambutnya panjang terurai. Tubuhnya berselimutkan kain batik coklat tua.

Seakan merasa kehadirannya, wanita itu menoleh pelan.

Mata Danu langsung membelalak.

Itu dia....

Nyai Laras.

Wajahnya masih seperti kemarin, tenang, anggun, dan sedikit misterius. Matanya menyiratkan kedalaman, tapi tak menyeramkan. Ada sesuatu yang membuat Danu merasa… lega.

"Nyai…" gumamnya, setengah tak percaya.

Nyai Laras tersenyum kecil. Hangat. Tapi sorot matanya tak berkurang tajamnya.

"Mas Danu," katanya pelan, suaranya masih selembut yang Danu ingat, "Akhirnya kamu datang juga, Mas"

Danu berdiri kaku di ambang pintu. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan. Tapi yang pertama kali keluar justru—

"Aku lega... akhirnya aku menemukan mu," katanya lirih, hampir seperti keluhan tulus dari seseorang yang telah lama tersesat.

Nyai Laras mengangguk pelan.

"Tentu saja kamu datang. Karena kamu selalu tahu jalan pulang."

Ucapan itu membuat dada Danu berdebar. Tapi ia menggeleng cepat, mencoba mengumpulkan keberanian dan kesadaran.

"Nyai, aku datang bukan karena aku... suami-mu, atau karena aku bagian dari masa lalu yang kamu yakini itu. Aku ke sini buat menjelaskan. Aku datang bersama teman-teman. Aku bukan siapa-siapamu. Aku cuma—"

Belum sempat Danu merampungkan kalimatnya, Nyai Laras sudah berdiri dan melangkah pelan ke arahnya.

Tangannya yang keriput namun tetap anggun menyentuh lengan Danu dengan lembut, seolah menenangkannya.

"Pasti kamu lelah sampai ke sini," ucapnya.

"Ayo masuklah dulu, Mas. Hangatkan tubuhmu di sini."

Danu terpaku. Kata-kata itu… persis seperti ucapan seorang istri menyambut suaminya pulang dari medan yang jauh.

Nyai Laras tak menjawab penjelasan Danu. Ia malah menyambutnya seperti biasa, seperti suaminya.

Danu ingin menolak, ingin kembali meluruskan semua yang ia yakini. Tapi saat tangan Nyai Laras menggamit lengannya pelan dan membimbingnya masuk, ada kehangatan aneh yang mengalir melalui kulitnya.

"Masih seperti dulu," gumam Nyai Laras.

"Keras kepala… tapi tetap datang kembali padaku."

Danu hanya bisa diam. Karena ia pun bingung…

Mengapa hatinya terasa ringan?

Mengapa ia merasa begitu damai di hadapan wanita ini?

Dan mengapa, ia tidak langsung berkata ‘bukan, kau salah orang’?

Dan malam itu, gubuk kecil di tengah hutan menjadi saksi pertemuan kembali dua takdir yang belum sepenuhnya jelas…

Malam semakin larut. Angin dari luar hanya menyisakan desir pelan yang menyentuh dinding-dinding kayu reyot. Suasana di dalam gubuk itu hangat. Bukan karena apinya, tapi karena kehadiran Nyai Laras yang seolah memancarkan ketenangan dari setiap geraknya.

Danu duduk di atas tikar pandan yang sedikit lusuh, sementara Nyai Laras menuangkan air jahe hangat ke dalam cangkir tanah liat, lalu menyodorkannya dengan kedua tangan.

"Minumlah, Mas. Ini akan membuat tubuhmu hangat," ucapnya.

Danu menerimanya dengan sedikit canggung. Ia memandang wajah wanita tua itu, matanya masih bersinar, senyumnya masih teduh. Tapi tetap saja, Danu merasa ada yang janggal.

Setelah meneguk air jahe itu, Danu menatap Nyai Laras lekat-lekat, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan maksudnya, menyampaikan kebenaran yang ia bawa sejak awal masuk ke desa ini.

Ia meneguk napas panjang, lalu berkata dengan nada serius,

"Nyai… aku ke sini bukan untuk menginap atau menikmati suasana. Aku datang karena ingin menjelaskan sesuatu."

Nyai Laras menatapnya, tetap tersenyum tanpa tergesa-gesa.

"Silakan, Mas Danu. Aku mendengarkan."

Danu menegakkan punggungnya, mencoba menahan getaran kecil dalam suara.

"Aku bukan suamimu. Aku bahkan belum menikah. Aku masih muda… dan aku datang ke desa ini bersama teman-temanku. Aku bisa buktikan semua itu. Aku bawa identitas. Aku punya kartu mahasiswa, aku… aku masih kuliah."

Ia membuka tas punggung nya dan mengeluarkan dompet. Menunjukkan KTP dan kartu mahasiswa. "Lihat, Nyai. Aku lahir tahun dua ribu dua. Umurku dua puluh tiga tahun. Aku bukan pria seumuranmu. Kamu sendiri... maaf, tapi kamu sudah sangat tua, Nyai. Mana mungkin kita..... kita menikah? Logikanya gak masuk."

Ada jeda panjang setelah Danu mengucapkan itu. Ia menunggu reaksi yang mungkin akan datang dengan emosi atau penyangkalan. Tapi yang ia dapat hanyalah…

…senyum.

Nyai Laras tetap tersenyum. Lembut, tenang. Seolah semua yang dikatakan Danu barusan bukan hal baru baginya. Ia tidak terlihat terkejut, tidak marah, bahkan tidak sedih.

"Memang aku tua, Mas Danu…" ucapnya pelan,

"Tapi apakah itu berarti hatiku juga tua? Apakah itu membuatku tak berhak mengingat dan mencintaimu?"

Danu terdiam.

Nyai Laras menatap jauh ke arah dinding gubuk, seolah menembus ruang dan waktu.

"Kamu masih muda, ya. Aku bisa lihat dari matamu. Dari kulitmu, dari caramu bicara." Ia menghela napas, lalu melanjutkan, "Tapi tahukah kamu, ada cinta yang tak kenal waktu. Ada ikatan yang tak bisa dijelaskan dengan akta, kartu identitas, atau logika."

Danu mencengkeram cangkir tanah liat di tangannya.

"Tapi itu nggak masuk akal, Nyai. Ini semua… kayak mimpi. Kamu menganggapku suami, padahal aku bahkan baru sekali melihatmu."

Nyai Laras tersenyum tipis, memandang Danu lembut.

"Mas Danu… mungkin kamu lupa. Tapi aku tidak."

"Lupa apa?" Danu mulai gelisah. "Aku tidak pernah merasa punya hubungan denganmu. Aku yakin aku bukan siapa-siapa bagimu."

Nyai Laras mencondongkan tubuh sedikit ke depan, nadanya tetap tenang, nyaris seperti membisikkan mantra.

"Mungkin kamu memang tidak pernah menikahiku di kehidupan ini… Tapi bukan berarti kita tak pernah menjadi pasangan."

Danu tersentak.

"Maksudmu apa,?"

Mendengar pertanyaan Danu, Nyai Laras tak menjawab secara langsung. Ia hanya menatap api kecil yang menyala di tungku pojok gubuk itu.

"Aku tak ingin memaksamu percaya, Mas," lanjut Nyai Laras. "Bahkan saat kamu menyangkal segalanya, aku tetap akan memperlakukanmu seperti yang aku tahu. Karena buatku… kamu tetap suamiku."

Suasana mendadak hening. Hanya suara kayu yang berderak pelan di tungku.

Danu tidak tahu harus bicara apa lagi. Di satu sisi, logikanya berteriak. Tapi di sisi lain… sesuatu dalam dirinya mulai runtuh. Mungkin karena aroma melati dan kayu manis yang terus menguar, atau tatapan Nyai Laras yang seperti pernah ia lihat, entah di mana.

Nyai Laras menoleh perlahan ke arah Danu. Tatapannya masih hangat, tapi kini mengandung sesuatu yang berbeda, misterius… seolah menyimpan pintu ke dunia yang tak terlihat.

"Sekarang, Mas Danu harus memilih." Ucapnya kemudian

Danu mengerutkan dahi.

"Memilih? Memilih apa?"

Nyai Laras berdiri perlahan dari duduknya. Tubuhnya yang tampak renta itu tetap anggun, meski jelas tampak lelah dimakan usia. Tapi anehnya, saat ia berdiri, langkahnya ringan… nyaris melayang.

Nyai Laras membawa dirinya berjalan kearah jendela yang hanya ditutupi tirai goni. Ia membuka sedikit celahnya, memperlihatkan kegelapan hutan yang pekat di luar.

"Mas Danu bisa pergi sekarang, kembali ke teman-temanmu. Aku tidak akan menahanmu, Mas," katanya pelan, hampir seperti bisikan. "Tapi kalau itu yang Mas pilih… maka mulai besok, aku tak akan ragu lagi menyebutmu sebagai suamiku di depan siapa pun. Termasuk pada teman-temanmu yang kini berada di rumah singgah itu. Aku akan mendatangi mereka satu per satu, dan menceritakan semuanya."

Danu menelan ludah. "Dan kalau aku memilih untuk tinggal…?"

Nyai Laras membalikkan badan. Wajahnya samar diterangi api tungku yang berkedip. "Kalau Mas memilih tinggal di sini malam ini, aku akan memberimu satu bukti. Bukti yang tidak mungkin bisa kamu bantah. Bukti bahwa kita memang pernah menikah. Di bawah pohon aren itu."

Danu terdiam. Perkataannya terdengar terlalu nyata untuk sekadar omong kosong.

"Aku tidak akan memaksamu untuk percaya malam ini juga," lanjut Nyai Laras. "Tapi jika Mas Danu benar-benar ingin tahu siapa dirimu… siapa aku… dan kenapa semuanya terjadi… maka tidurlah di sini malam ini. Esok pagi, aku akan tunjukkan."

Ia kemudian menunjuk sudut gubuk, tempat sebuah tikar pandan telah digelar. Di atasnya ada bantal kecil yang tampak usang, dan sebuah selimut tipis dengan motif batik yang telah pudar.

"Mas punya waktu sampai api di tungku itu padam. Setelah itu, tak ada lagi pilihan."

Danu menatap Nyai Laras tanpa berkedip. Api kecil di tungku berderak pelan, seolah ikut menahan napas bersamanya. Angin malam menyusup masuk dari sela-sela dinding bambu yang mulai lapuk. Suara serangga hutan bergaung pelan di kejauhan. Semua terasa tidak nyata.

"Tidur di sini…? Di gubuk ini?" gumam Danu, seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Nyai Laras hanya mengangguk. Sorot matanya tajam namun tidak memaksa. Seperti seseorang yang tahu ia sedang memegang kunci, dan hanya menunggu apakah tamunya cukup berani untuk membukanya.

Sedangkan Danu hanya terdiam. Sekali lagi ia menatap sekeliling, atap bambu yang bocor di beberapa tempat, kayu-kayu tua yang menghitam, dan aroma melati yang tak juga menghilang sejak ia masuk. Aroma itu anehnya… familiar.

"Aku boleh menyalakan ponsel?" tanyanya, ragu-ragu.

Nyai Laras menggeleng. "Tak akan ada sinyal di sini. Dan kalaupun ada… benda itu tidak akan membantu menjawab pertanyaanmu."

Danu mulai merasa, ia seperti berada di dalam cerita orang lain. Di dalam dunia yang tidak masuk akal, tapi juga terlalu rapi untuk dianggap bohong. Ia melirik api yang mulai mengecil di tungku. Suara Nyai Laras terngiang:

“Kau punya waktu sampai api di tungku itu padam. Setelah itu, tak ada lagi pilihan.”

Jantung Danu berdebar. Ia bisa saja keluar sekarang. Lari menuruni lereng, kembali ke jalan utama, menyusuri arah teman-temannya yang mungkin sedang menunggunya kembali. Tapi kemudian, hidupnya akan berubah menjadi bayangan. Ancaman Nyai Laras bukan gertakan, ia tahu itu. Perempuan ini bukan sekadar orang tua gila yang kesepian.

Dan yang lebih menakutkan dari ancaman itu adalah… kemungkinan bahwa semua yang dikatakan Nyai Laras benar.

Danu menatap tikar pandan untuk terakhir kalinya, lalu menarik napas panjang.

"Baiklah," katanya akhirnya, lirih. "Aku akan menginap di sini malam ini."

Nyai Laras menutup matanya sejenak, seperti tengah mengucap syukur dalam bahasa yang tak terdengar. Lalu ia membuka mata, menatap Danu dengan sorot yang berbeda. Ada kepedihan di sana… sekaligus kelegaan.

"Terima kasih, Mas. Besok… saat embun belum mengering, aku akan tunjukkan sesuatu padamu."

Danu hanya mengangguk pelan. Ia lalu berjalan pelan ke tikar, melepas jaket, dan merebahkan tubuhnya perlahan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!