NovelToon NovelToon
DUDA LEBIH MENGGODA

DUDA LEBIH MENGGODA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Duda / CEO / Nikah Kontrak / Keluarga
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: Monica

:"Ya Allah, kalau Engkau tidak mengirimkan jodoh perjaka pada hamba, Duda juga nggak apa-apa ya, Allah. Asalkan dia ganteng, kaya, anak tunggal ...."

"Ngelunjak!"

Monica Pratiwi, gadis di ujung usia dua puluh tahunan merasa frustasi karena belum juga menikah. Dituntut menikah karena usianya yang menjelang expired, dan adiknya ngebet mau nikah dengan pacarnya. Keluarga yang masih percaya dengan mitos kalau kakak perempuan dilangkahi adik perempuannya, bisa jadi jomblo seumur hidup. Gara-gara itu, Monica Pratiwi terjebak dengan Duda tanpa anak yang merupakan atasannya. Monica menjalani kehidupan saling menguntungkan dengan duren sawit, alias, Duda keren sarang duit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Monica , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

18

Langit menggelap saat Monica tiba di apartemennya. Pintu dikunci rapat, tirai ditutup, notifikasi ponsel dinonaktifkan. Kepalanya penuh. Fakta-fakta yang diterimanya mulai membentuk pola, tapi masih ada potongan yang hilang.

Ia menyalakan laptop, membuka folder berisi salinan jurnal Nadira, dokumen Arni, dan email Arfan. Setiap halaman dibaca ulang, mencari koneksi yang mungkin terlewat. Lalu ia membuka file video pendek—rekaman CCTV kantor yayasan, yang Arni titipkan diam-diam. Di detik ke-14, seseorang keluar dari ruang direktur dengan tergesa. Berkerudung hitam, wajah tertutup masker.

Tapi Monica mengenali postur tubuh itu. Bukan Raline. Bukan Teddy. Tapi… Lela. Asisten pribadi Nadira.

Monica bergidik, “Kenapa dia ada di sana malam itu?”

Sementara itu, di rumah sakit, Teddy mulai pulih. Luka di pelipisnya diperban, ia sudah bisa duduk. Dimas menemaninya, wajah tegang.

"Kita perlu buka semuanya, Ted," ujar Dimas. "Sebelum mereka lebih dulu membungkam orang lain."

Teddy mengangguk, "Tapi gue gak bisa gitu aja lempar semuanya ke publik. Gak tanpa bukti kuat."

Dimas mengeluarkan ponselnya, menunjukkan foto-foto hasil investigasi timnya.

"Ada satu orang yang tahu lebih banyak dari yang kita kira. Dan dia sekarang mulai panik."

Teddy menatap layar. Foto yang muncul: Lela sedang berbicara dengan seseorang di parkiran basement hotel milik jaringan yayasan. Di belakangnya, siluet Raline masuk ke mobil.

"Lela..." Teddy bergumam. "Dia orang terakhir yang bicara dengan Nadira sebelum meninggal."

Malamnya, Monica menghubungi Dimas.

"Aku nggak tahu siapa lagi yang bisa aku percaya, tapi... kita harus bicara."

"Datanglah ke rumah sakit. Teddy juga harus dengar langsung," balas Dimas.

Monica ragu sejenak, lalu mengiyakan.

Beberapa jam kemudian, di ruang rawat Teddy, Monica duduk berhadapan dengan dua pria itu. Tangannya gemetar, tapi sorot matanya tegas.

"Aku tahu siapa yang masuk ke ruang Nadira malam itu. Aku lihat di rekaman—itu Lela."

Teddy memejamkan mata, "Gue udah curiga dari dulu… Tapi nggak pernah punya alasan buat interogasi dia."

"Dia mungkin bukan dalang, tapi dia perantara," tambah Monica. "Dan aku rasa… dia tahu bagian terakhir dari teka-teki ini."

Teddy menatap Monica, "Kita harus gerak cepat. Sebelum Lela menghilang."

Di sebuah hotel di luar kota, Lela berdiri di balkon, menggenggam koper kecil dan ponsel. Di layar ponselnya: pesan singkat dari nomor asing.

“Waktumu habis. Jangan buka mulut.”

Lela menghapus pesan itu. Ekspresi wajahnya menunjukkan sesuatu yang berbeda—takut, sekaligus… lelah. Ia menatap langit malam, "Maaf, Nadira. Mungkin sudah waktunya."

Pagi itu, udara Jakarta terasa lebih berat. Monica menatap pantulan wajahnya di cermin mobil yang diparkir tidak jauh dari rumah sakit. Matanya sembab, tapi sorotnya tidak padam. Ia baru saja menerima pesan dari nomor asing:

“Jika kamu ingin tahu kebenaran yang sebenarnya, temui aku di tempat Nadira biasa menulis—perpustakaan kota, ruang arsip belakang. Pukul 10 pagi.”

Tak ada nama. Tak ada ancaman. Hanya satu petunjuk—tempat yang sangat Nadira. Monica segera mengemudi ke sana, tak memberi tahu siapa pun.

Ruang arsip belakang perpustakaan itu sunyi. Aroma kertas tua dan kayu lembap menyelimuti udara. Monica masuk perlahan, matanya menyisir tiap rak buku lawas.

Lalu ia melihat seorang pria berdiri membelakanginya, mengenakan kemeja krem pudar dan celana bahan gelap. Saat ia berbalik, Monica langsung mengenalinya dari foto-foto lawas di jurnal Nadira.

Itu suami Nadira—Adrian. Tapi... bukankah dia telah lama menghilang?

"Monica?" sapanya pelan, suaranya serak.

"Kamu... Adrian? Tapi... kamu menghilang bertahun-tahun lalu."

Adrian mengangguk, "Karena aku dijebak. Nadira tahu. Dia satu-satunya yang percaya aku nggak bersalah."

Monica mendekat, jantungnya berdetak cepat, "Apa maksudmu dijebak?"

"Yayasan itu, dan orang-orang di belakangnya—termasuk Raline—memanfaatkan namaku dalam proyek fiktif bertahun-tahun lalu. Nadira menemukan alurnya. Tapi saat dia mencoba membongkar semuanya, dia mulai diteror."

Adrian menyerahkan catatan harian Nadira—halaman terakhir yang tak pernah ditemukan Monica. Tulisan tangan Nadira terpampang jelas:

“Jika sesuatu terjadi padaku, cari Adrian. Dia bukan pelaku. Dia saksi pertama dari kejahatan yang tersembunyi rapi di balik amal.”

Monica menutup buku itu perlahan, "Kenapa baru sekarang kamu muncul?"

"Karena aku pikir mereka sudah berhenti mencariku. Tapi begitu aku dengar tentang Monica dan Teddy... aku tahu waktunya belum selesai."

Sementara itu, Teddy berdiri di balkon rumah sakit, ditemani Dimas. Ia menerima kabar dari timnya: Lela terlihat meninggalkan hotel sendirian. Tapi belum ada yang tahu ke mana arahnya.

"Kita kehabisan waktu," ucap Dimas pelan.

Teddy mengangguk, "Kita nggak bisa tunggu Monica lagi. Gue harus temui Lela duluan."

Beberapa jam kemudian, Monica dan Adrian tiba di sebuah apartemen kecil milik mendiang Nadira. Mereka mencari sesuatu yang mungkin bisa menjadi bukti fisik—dokumen, USB, rekaman.

Saat membuka salah satu laci meja kerja, Adrian menemukan flashdisk tersembunyi di balik lapisan kayu palsu. Monica menyalakannya di laptop. Folder terbuka:

"Yayasan – Rahasia.

Kontrak – Raline.

Transaksi – Teddy.

Video: Lela confession."

Monica terdiam.

"Semuanya ada di sini..."

1
Wien Ibunya Fathur
ceritanya bagus tapi kok sepi sih
Monica: makasih udah komen kak
total 1 replies
Monica Pratiwi
lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!