Doa Serena setiap waktunya hanya ingin bahagia, apakah Serena akan merasakan kebahagiaan yang dia impikan? atau malah hidupnya selalu di bawah tekanan dan di banjiri air mata setiap harinya?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Halaman Sebelas
***
Setelah Serena pergi, Hafiz dan Bu Farhana pun menyelesaikan makan mereka dalam keheningan. Hafiz membayar ke kasir, lalu mereka berjalan menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari sana.
Di perjalanan pulang, tidak banyak kata yang terucap. Hafiz menyetir dengan tenang, tapi pikirannya sibuk menimbang-nimbang sesuatu. Sesampainya di rumah, mereka masuk ke ruang keluarga. Bu Farhana langsung duduk di sofa, melepas scarf dari bahunya.
Hafiz masih berdiri di dekat meja makan, menatap ibunya dengan tatapan bingung.
"Ma..."
Bu Farhana menoleh, menunggu lanjutannya.
"Kenapa Mama kelihatan nggak suka sama Serena? Padahal Mama baru ketemu dia sekali."
Bu Farhana diam sejenak, lalu menegakkan duduknya. "Mama tidak bilang Mama tidak suka."
"Tapi dari cara Mama diam dan menatap tadi, jelas banget ada sesuatu," kata Hafiz, nada suaranya lembut tapi penuh dorongan.
Bu Farhana menghela napas. "Mama cuma... belum yakin. Kamu tahu sendiri latar belakang keluarga kita. Serena gadis baik, mungkin. Tapi Mama cuma takut kamu terlalu cepat memberi ruang untuk seseorang yang kamu belum benar-benar kenal."
Hafiz berjalan perlahan, duduk di hadapan ibunya. "Justru karena itu aku ingin Mama kenal dia lebih jauh. Bukan nilai dia dari satu pertemuan."
Bu Farhana menatap mata putranya lama, lalu mengangguk pelan. "Baik. Mama tidak janji apa-apa. Tapi Mama akan coba melihat lagi... dengan hati yang lebih terbuka."
Hafiz tersenyum lega. Itu sudah cukup untuk sekarang. Padahalkan Hafiz dan Serena belum ada hubungan yang serius selain rekan kerja.
Tapi menurut Hafiz, ia ingin Serena dan keluarganya dekat dulu. Saling mengenal, setelah itu baru Hafiz akan mengatakan yang sejujurnya soal perasaan nya itu.
.
Malam itu, setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian, Serena duduk di atas kasurnya yang sederhana. Di sebelahnya, Delina yang katanya mau Main sambil cerita-cerita, Delina pulang kerja jam lima sore, jadi malam ini ia ingin ngobrol-ngobrol dengan Serena sambil membawa Makanan.
Delina menatap Serena yang tampak murung, "Kenapa? Kelihatan lesu banget mukamu," tanya Delina sambil duduk di lantai.
Serena menghela napas panjang. "Tadi pas makan bakso... aku ketemu Mas Hafiz. Dia bareng ibunya."
Delina membelalakkan mata. "Mas Hafiz yang nawarin pindah ke kantor Papanya? Terus Gimana orangnya?"
"Diam aja. Nggak nyapa, cuma menatap. Tapi tatapannya itu lho, kayak... aku nggak pantas ada di sana," ucap Serena pelan, nada suaranya mengandung luka kecil yang dalam.
Delina mendekat, menyandarkan punggung ke tembok. "Mungkin memang belum kenal kamu aja, Ren. Kadang orang tua suka protektif berlebihan."
"Aku tahu itu. Tapi tetap aja rasanya sakit. Aku udah biasa dianggap sebelah mata, tapi kali ini rasanya beda. Karena aku mulai... berharap."
Delina menatapnya penuh pengertian. "Mas Hafiz pernah ngomong suka sama kamu?"
"Belum pernah, tapi Dia selalu perhatian, tapi aku juga nggak mau berharap terlalu jauh. Lagipula, aku belum tentu cocok dengan dunia mereka."
Delina tersenyum kecil. "Kamu cocok di mana aja, Ren. Dan kalau Mas Hafiz emang serius, dia pasti tahu cara bikin Mamanya lihat itu juga."
Serena menatap langit-langit kamar, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu, malam ini ia harus tidur dengan perasaan yang tidak sepenuhnya nyaman. Tapi setidaknya, ia tidak lagi sendirian dalam pikirannya.
Setelah beberapa saat diam, Serena kembali membuka suara, suaranya pelan namun jelas.
"Tadi siang juga aku ketemu Paman Reza. Dia tiba-tiba muncul di tempat bakso itu."
Delina mengangkat alis. "Hah? Serius? Terus dia ngomong apa?"
"Dia minta maaf. Katanya... atas semua perlakuan Bibi dulu. Dia juga bilang... hari Minggu ini, aku diundang datang ke acara nikahan Vina."
Delina sempat terdiam, lalu pelan bertanya, "Kamu mau datang?"
Serena menggeleng. "Aku belum tahu. Aku nggak pengen ketemu orang-orang itu lagi. Tapi aku juga nggak mau terus-terusan lari."
Delina mengangguk mengerti. "Pikirkan baik-baik. Yang penting, kamu datang bukan untuk mereka, tapi untuk berdamai dengan dirimu sendiri."
Serena tersenyum tipis. Malam itu ia kembali menatap langit-langit kontrakan, membawa semua pikiran yang masih menggantung di ujung hatinya.
.
Matahari pagi menembus tirai jendela kontrakan Serena. Ia terbangun lebih pagi dari biasanya. Meski hari ini masih belum masuk kerja, hatinya tidak tenang. Besok adalah hari pernikahan Vina, dan ia masih belum memutuskan apakah akan menghadirinya atau tidak.
Serena duduk di kursi plastik yang ada di depan kontrakannya, dengan di temani secangkir Téh panas.
Dalam diam, Serena membuka ponselnya, membuka pesan dari tetangganya yang kembali mengingatkan soal acara besok.
Ia juga melihat kembali undangan digital yang sempat dikirimkan oleh sepupunya melalui pesan singkat. Di undangan itu tertulis jelas nama Vina dan Rama, dengan lokasi rumah yang dulu pernah ia tinggali selama bertahun-tahun.
Perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Ia ingin datang, bukan untuk Vina atau keluarganya, tapi untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak lagi hidup dalam bayang-bayang masa lalu.
Tapi di sisi lain, ada ketakutan: bagaimana nanti jika mereka memperlakukannya dengan dingin? Bagaimana jika ia menjadi bahan bisik-bisik di tengah para tamu?
Tak lama kemudian, Delina keluar dari kontrakannya dan terlihat sudah rapi mau berangkat kerja. "Udah mikir soal besok?"
Serena mengangguk pelan. "Masih ragu. Aku nggak tahu apakah itu keputusan yang tepat."
Delina duduk di sebelahnya. "Kalau kamu merasa itu bisa membebaskan kamu dari masa lalu, datangi. Tapi jangan pergi karena terpaksa. Pergilah karena kamu kuat."
Serena tersenyum tipis. Kata-kata Delina seperti setetes embun di tengah panasnya hati. Ia tahu, keputusan tetap ada di tangannya.
“Kalau gitu aku berangkat kerja dulu ya.” Pamit Delina. Serena hanya mengangguk saja.
Serena kembali masuk, pagi ini ia akan memasak tumis kangkung yang sempat ia Beli Kemarin.
Isi dapur kecil nya sudah lumayan, sudah ada kompor, wajan dan yang lainnya. Jadi Serena tidak perlu membeli sarapan di luar lagi.
Setelah sarapan, Mandi dan beres-beres kontrakan nya. Serena membuka lemari kecilnya, memeriksa apakah ia punya pakaian yang pantas untuk dikenakan jika ia jadi datang.
Ia mengeluarkan sebuah dress panjang berwarna biru tua yang sederhana, tapi tetap anggun. Ia belum sepenuhnya yakin, tapi setidaknya, ia mulai mempersiapkan diri.
“Untuk make-up minta bantuan Delina aja.” Ucapnya.
Serena cuma punya lip balm, lip tint dan loose powder. Kalau skincare pasti punya, seperti facial wash, serum, cleansing oil, Moisturizer dan sunscreen.