Dorongan menikah karena sudah mencapai usia 32 tahun demi menghilangkan cap perawan tua, Alena dijodohkan dengan Mahendra yang seorang duda, anak dari sahabat Ibunya.
Setelah pernikahan, ia menemukan suaminya diduga pecinta sesama jenis.
✅️UPDATE SETIAP HARI
🩴NO BOOM LIKE 🥰🥰🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Digital, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Rumah Sakit
Keesokan paginya, Ahen dengan menenteng tas nya pergi dapur untuk sarapan, ia mendapati Alena dengan seragam kerjanya tengah menghidangkan makanan dan dibantu oleh Bi Mia.
Ahen menaikkan satu alisnya melihat Alena.
"Tumben." ujarnya.
Alena menyipitkan mata.
"Aku lagi nyobain resep Mama, ini pertama kalinya ku pakai."
"Masakan apa?"
"Tumis pare. Oseng-oseng mungkin namanya, ya itu lah. Pahitnya masih ada sedikit tapi ya cuma sebagai penghias aja, nggak terlalu pahit. Cobain."
Ahen merasa aneh dengan perubahan tingkah Alena yang memperlakukannya lebih baik dari kemarin-kemarin.
Ahen mencicipi sayu pare itu dan mengangguk pelan berulang kali.
"Gimana?" tanya Alena memastikan.
"Lumayan."
Wajah antusias Alena berubah datar mendengar pendapat Ahen.
"Masa sih? Kurang apa?" tanya Alena.
"Tidak tau." jawab Ahen enteng, kemudian ia mengambil nasi dan juga sayur pare beberapa sendok.
Alena berkacak pinggang dan menyipitkan mata. Setelah itu Bi Mia datang sambil membawa telur ceplok yang di bumbu merah, Alena terlihat senang dan langsung mengambil 1 telur.
Bi Mia tersenyum melihat hubungan majikannya semakin membaik, terlebih raut wajah Alena yang terlihat bahagia.
"Pulang jam berapa?" tanya Ahen.
"Jam 4 sore. Aku ada urusan sama rekanku."
"Oh."
"Ummmm... Yummy!" Alena sampai memejamkan matanya saat perpaduan telur ceplok bumbu merah itu di berpadu dengan sayur pare buatannya. Pedas, gurih, sedikit rasa manis dan segar dari tomat yang di potong kecil.
Ahen tersenyum tipis melihat ekspresi Alena yang seperti anak kecil itu.
"Rekanmu laki-laki?" tanya Ahen lagi.
"Nggak, perempuan." jawab Alena.
Ahen hanya diam dan melanjutkan makannya.
"Kenapa emangnya?" tanya Alena.
"Kepo sedikit."
Alena tertawa.
"Kepo amat sih Bapak Ahen."
"Kirim nomer rekeningmu."
"Buat apa?" tanya Alena.
"Kepo amat Ibu Alena."
Alena tertawa lagi mendapat balasan dari Ahen.
Mereka berdua berangkat bersama dengan mobilnya masing-masing. Sesampainya di sekolah tempat ia bekerja, Alena turun dari mobil. Saat menutup pintunya, terdengar suara notifikasi dari Hp nya.
'Bri*mo'
Alena langsung menghidupkan layarnya dan melihat uang 10 juta masuk ke rekeningnya.
"MasyaAllah, orang baik mana yang kesasar transfer ini duit." tutu Alena pelan, kemudian ia melihat kembali notifikasi itu dan ternyata itu dari Ahen.
"Lah, dari Ahen. Nggak jadi muji."
Alena melangkah menuju ruang kerjanya, di sepanjang lorong sekolah banyak para siswa yang menyapanya dan tidak sedikit yang mencium punggung tangannya.
"Pagi, Ibu En."
"Pagi, ibu cantik."
"Selamat pagi semua," Alena membalas sapaan mereka.
Sesampainya di ruang kerjanya, Alena bertemu dengan rekan kerjanya.
"Wih kenapa nih anak gadis kok kelihatannya happy banget pagi ini." tanya rekannya.
"Haha, iya nih. Habis dapat transferan dari suami."
"Eh iya! Saya lupa loh kamu udah nikah."
Keduanya tertawa bersama.
****************
Sore harinya, mereka sudah pulang, Ahen pun pulang lebih awal sekitar pukul 5 sore. Ahen yang sedang melonggarkan dasinya menoleh ke arah pintu dan melihat kedatangan Alena.
"Tumben pulang sore." ujar Alena sembari masuk ke dalam rumah.
Ahen tidak menjawab , ia hanya mengendikkan bahu. Hp Alena berdering, ia mengambilnya dari saku bajunya.
"Assalamu'alaikum, Mama?"
"Waalaikumsalam, Nak Alena. Ini Saya Rahayu tetangga kamu. Saya mau ngabarin ini Ibu kamu lagi di rumah sakit." jawabnya di seberang telpon.
Alena tertegun, sekujur tubuhnya terasa membeku.
"Di rumah sakit Umum Daerah, ini masih di periksa di UGD. Kesini ya, Nak Alena."
"Iya, Bu. Terimakasih, saya kesana sekarang." sahut Alena dengan cemas.
Alena langsung mengakhiri panggilan, dengan panik ia meminta izin pada Ahen.
"Ahen, aku harus ke rumah sakit. Mama masuk rumah sakit." ucap Alena, matanya kini memerah dan mulai berkaca-kaca.
Dengan masih menenteng tas kerjanya, Alena kembali keluar rumah dan membuka pintu mobil, namun tangannya ditahan.
"Aku ikut." ucap Ahen. Ia pun mengambil alih kemudi. Alena segera masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelah Ahen.
Selama di perjalanan, Alena terus meremas jari-jemarinya, air matanya terus mengalir sambil terus-terusan menggumam kata "Mama".
"Lebih cepat, Ahen." pinta Alena.
Sesampainya di Rumah Sakit, Alena terburu-buru turun dari mobil dan tidak sengaja kakinya tersangkut hingga membuatnya terjatuh, Ahen segera mengangkat tubuh Alena.
Alena menangis, setelah dibantu berdiri, Alena berlari ke ruang UGD dan mencari keberadaan Ibunya.
Beruntung di kursi tunggu ada tetangga yang menelponnya tadi dan melihat Alena.
"Nak Alena."
"Bu Rahayu, dimana Mama?" tanya Alena dengan panik.
Tetangganya lantas mengantar Alena ke ruangan Ibunya yang sudah dipindah ke ruang rawat inap, tidak lagi di UGD.
"Mama." panggil Alena sambil membuka pintu.
"Alena..." lirih Ibunya sambil tersenyum pada Alena.
"Mama kenapa?" tanya Alena sambil memegangi tangan Ibunya pelan karena sedang di infus.
"Mama nggak kenapa-napa, cuma sedikit sakit di dada kiri tadi. Tapi ini sudah aman, kok."
Mendengar itu Alena kembali menangis, Ahen ikut berdiri di samping Alena dan mengelus pelan punggung Alena untuk menenangkannya.
"Itu kenapa-napa, Ma." Alena kesal pada Ibunya yang menganggap enteng sakitnya.
"Apa kata Dokter?" tanya Alena.
"Ya seperti biasa, Mama harus banyak istrihata, pola makan di perbaiki sama ngurangin aktivitas berat."
"Mama ikut Alena aja ya habis ini." pinta Alena.
"Kita bicarakan nanti. Oh iya, ini kamu masih pakai seragam, baru pulang ngajar ya?"
Alena mengangguk.
"Menantu Mama juga sepertinya baru pulang kerja ya?" tanya Ibu Alena sambil menatap Ahen.
Ahen tersenyum dan mengangguk.
"Maaf, Ya. Kalian jadi repot-repot kesini padahal masih lelah."
Ahen pamit keluar sebentar. Alena terus menangis dan memeluk Ibunya.
"Mama harus sembuh pokoknya."
"Iya, pasti. Udah ah nangis mulu, kalau banjir gimana?" goda Ibunya.
"Tinggak renang." jawab Alena asal.
Ibu Alena tertawa kecil, ia mengelus kepala Alena lembut. Setelah beberapa saat, Ahen kembali masuk sambil membawa kantong plastik berisi beberapa box makanan.
"Apa itu?" tanya Ibu Alena.
"Alena belum makan, Ma." jawab Ahen.
Ahen mengambil kursi dan duduk di sebelah Alena, ia mengambil 1 kotak makanan dan membukanya.
"Makan dulu." ucap Ahen sambil menyodorkan makanan tersebut namun Alena menggeleng.
"Alena, makan dulu." bujuk Ibunya.
"Nggak mau, nggak laper." tolaknya.
Ahen kemudian menyendok makanan itu dan memberikannya pada Alena.
"Aku suapi." ucap Ahen. Alena mengerutkan keningnya.
"Mau makan sendiri apa aku suapi? Hanya ada dua pilihan."
Alena mengerucutkan bibir, ia pun memilih makan sendiri. Melihat kerukunan anak dan menantunya, Ibu Alena merasa lega.
"Nak." panggil Ibu Alena.
Alena dan Ahen menoleh bersamaan.
"Kalian harus tetap rukun seperti ini, ya. Apapun masalah dalam rumah tangga pasti ada solusinya, jangan sampai terpengaruh hal yang tidak baik."
Alena tersenyum dan mengangguk, begitupun dengan Ahen.
"Nisa!" terdengar suara perempuan yang baru masuk yang tidak lain adalah Ibu Ahen.
Ibu Alena tersenyum melihat kedatangan sahabatnya itu.
"Kamu kenapa? Kebanyakan makan cabe, ya? Lagian sepohon-pohonnya dimakan."
"Ngawur," Ibu Alena menoel paha Sahabatnya.
"Kamu tau darimana?" tanya Ibu Alena.
"Tau dari Ahen tadi. Aku khawatir tau."
"Padahal sakitku nggak parah, loh."
"Nggak parah gimana? Itu infus sama selang ada di hidung dan tanganmu."
"Hahhh, astaga."
Semua orang menoleh ke arah pintu dan melihat Ayah Ahen sedang terengah-engah masuk ke dalam ruangan.
"Eh maaf ya sayang, tadi aku panik sampai lupa kamu di belakang." ucap Ibu Ahen sambil tertawa kecil.
"Dasar."
Tapi kadang yang di pikirin malah cuek aja karena merasa dah mapan jadi bisa hidup sendiri,bisa mandiri tanpa harus punya pendamping hidup.