simak dan cermati baik2 seru sakali ceritanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siv fa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
Dengan cepat, kabar soal adanya kiriman Flowery untuk Julia itu menyebar di kantor. Di jam istirahat makan siang di kantin, karyawan-karyawannya Julia membicarakannya. Angelica yang kebetulan sedang membeli makanan di kantin diam-diam mengupingnya, dan telinganya langsung panas. Sebagai seorang wanita yang sangat memperhatikan penampilan, Angelica tahu betul seberapa berkelasnya perhiasan-perhiasan keluaran Flowery. Dia sendiri bermimpi memiliki satu set perhiasan dari Flowery, tapi enggan menggelontorkan uangnya sendiri. Kini tiba-tiba saja, tanpa seorang pun di keluarganya mungkin menduganya, Julia mendapat kiriman hadiah berupa perhiasan keluaran Flowery. Itu sungguh membuatnya kesal. Hubungan Angelica dan Julia memang tak pernah baik. Dari dulu, selalu saja ada hal yang dijadikan permasalahan oleh Angelica tentang Julia. Sebenarnya itu adalah bentuk inferioritasnya terhadap Julia yang dinilainya lebih cantik darinya. Tak sudi dikalahkan oleh Julia dalam hal apa pun, Angelica memutar otak untuk mengolah kabar yang barusan diterimanya menjadi bahan olok-olok dan cemoohan. Sebuah ide kemudian muncul di benaknya. Masih membawa makanan yang dibelinya di kantin tadi, dia mampir dulu ke ruangan kerjanya Walton. Seperti biasa, Angelica masuk begitu saja ke ruangan kerjanya Walton tanpa mengetuk terlebih dulu. Itu mengagetkan Walton yang sedang bercumbu dengan sekretarisnya di sofa. Untung saja permainan mereka masih sebatas berciuman panas dan mereka masih sama-sama berpakaian. Tapi, Angelica bisa melihat beberapa kancing atas si sekretaris terbuka dan belahan dadanya terlihat. "Kenapa sih main masuk saja? Kau kan bisa mengetuk dulu!" keluh Walton, cepat-cepat merapikan kemeja dan dasinya. Angelica memutar bola matanya. Sebenarnya dia jengah dengan tingkah Walton yang seperti ini, tapi karena dia dan Walton sering punya satu kepentingan yang sama dia memilih untuk tak terlalu memikirkannya. "Aku punya kabar menarik soal Julia," ucap Angelica datar, menutup pintu dan duduk di kursi kosong di depan meja kerjanya Walton. "Kabar apa?" tanya Walton, beranjak dari sofa, meninggalkan sekretarisnya yang sedang merapikan kemeja dan rambutnya. "Kau tahu Flowery, kan?" "Merek perhiasan ternama itu? Ya. Kenapa memangnya?" "Julia baru saja dapat kiriman perhiasan keluaran Flowery. Sekarang karyawan-karyawannya sibuk membicarakannya." "Hah? Dikirim ke sini?" "Sepertinya begitu." "Siapa yang mengirimnya? Maksudku, tak mungkin Julia membelinya dengan uangnya sendiri, kan? Dia saat ini sedang kekurangan uang. Lagi pula, anaknya kan masih sakit." "Itu juga yang jadi pertanyaanku. Tapi, bukan itu yang ingin kubahas denganmu sekarang." Walton menatap Angelica dengan mata memicing. Kalau sepupunya ini sudah berkata seperti itu, itu artinya dia punya rencana busuk di kepalanya dan dia ingin Walton ikut terlibat dalam mewujudkannya. "Apa yang kamu pikirkan sekarang?" tanya Walton. "Aku tebak Julia pasti lagi dekat dengan seorang tuan muda keluarga kaya, jadi dia dapat kiriman Flowery semahal itu. Julia hebat juga ya," tutur Angelica dengan nada menebak-nebak. "Benar, pasti begitu! Kita harus menyebar rumor Julia yang memiliki hubungan tidak biasa dengan orang kaya itu, agar dia malu dan tidak bisa lanjut bekerja di sini lagi!" Walton memberikan ide. "Ya. Dan aku tahu siapa si pria kaya-raya ini." "Siapa?" "Tuan Muda Keluarga Linardy. Cocok kan dengan apa yang terjadi di rumah sakit kemarin?" Walton memikirkannya lalu mengangguk-angguk. Kemudian dia berkata, "Itu menarik. Tapi bagaimana kalau, sebagai pemanasan, kita bagikan rumor ini ke Martin dulu saja, jangan dulu ke yang lain? Aku ingin tahu bagaimana si benalu itu meresponsnya." "Hmm, ya boleh sih. Tapi kau saja yang menghubungi dia, ya. Aku sih tak sudi," tanggap Angelica. "Tak masalah. Akan kukirimi dia pesan sekarang," balas Walton. Dia pun mengetik sebuah pesan panjang di ponselnya, mengirimkannya pada Walton lewat sebuah aplikasi chat. Setelah pesan itu terkirim, dia tersenyum licik. Dia bayangkan Martin dan Julia bertengkar hebat karena rumor ini. Dengan begitu siapa tahu mereka akan bercerai—sesuatu yang diinginkan oleh hampir semua anggota Keluarga Wiguna. "Sudah kau kirim?" tanya Angelica. "Ya," jawab Walton. "Kita tidak boleh membiarkan Julia menonjol di acara kali ini, kita harus berusaha membuat Kakek sangat kecewa kepadanya, agar dia malu di acara malam lusa nanti." ... Di dalam taksi, Martin menerima pesan dari Walton itu dan membukanya. Dia tersenyum mengejek. Dia sudah bisa membaca akal bulus Walton. Tentu saja dia tak akan termakan jebakannya. Dihapusnya pesan itu dan dimasukkannya kembali ponselnya ke saku celana. ... Sekitar satu jam kemudian, di ruang rapat PT Mega Farma, salah satu anak perusahaan Wiguna Corp. Benny, pemimpin Keluarga Wiguna sekaligus direktur utama Wiguna Corp., duduk di salah satu kursi, persis menghadap ke Julia yang duduk di ujung lain meja. Suasana begitu tegang. Julia baru saja selesai mempresentasikan laporan pertanggungjawabannya atas performa PT Mega Farma yang tidak begitu baik di empat bulan terakhir. Dia sendiri menjabat sebagai manajer yang memimpin divisi tersebut. "Apa maksudnya ini, Julia? Dari laporan yang kau paparkan barusan, jelas sekali kalau PT Mega Farma terus mengalami kerugian. Apakah keputusanku memberimu kesempatan untuk ikut mengelola perusahaan adalah sebuah kekeliruan?" tanya Benny sambil menatap Julia dingin. Walton yang juga berada di situ tersenyum senang. Angelica yang duduk di sampingnya bertingkah acuh tak acuh. Julia, sementara itu, mukanya serius dan tegang. Dia sedang memikirkan jawaban apa yang sebaiknya diberikannya kepada kakeknya. "Kalau begini terus, perusahaan lama-lama bisa bangkrut juga," ucap Benny. "Memang sih, kalaupun itu terjadi, aku tinggal menyalahkanmu karena kau tak becus bekerja, tapi tetap saja, sebagai direktur utama, aku punya tanggung jawab untuk membuat semua divisi di perusahaan ini memberikan performa terbaiknya. Atau kau sengaja mengelola divisi pemasaran dengan buruk untuk merusak reputasiku?" "Tidak, Kek," sanggah Julia cepat. "Aku tak mungkin melakukannya. Aku tak sebodoh itu." Di titik ini, Walton terkekeh. Julia langsung mendelik ke arahnya, ingin sekali menyumpahi sepupunya itu. "Kakek, kalau kita cermati paparan Julia di presentasinya tadi, jelas sekali bahwa divisi pemasaran tidak berfungsi dengan baik. Itu menunjukkan ketidakmampuan Julia dalam memimpin. Ada baiknya Kakek mempertimbangkan untuk mencari orang lain untuk menggantikannya," kata Walton sambil menatap Benny, tampak penuh percaya diri. Tentu saja Julia tak terima dengan hasutan Walton ini. Dia pun berdiri dan berkata, "Itu tidak benar, Kek. Kalau Kakek mau tahu alasan sesungguhnya di balik penurunan performa divisi pemasaran, itu karena banyak klien kita yang pergi gara-gara ulah orang-orangnya Walton. Mereka sering berbuat ulah dan membuat klien-klien kita itu tak nyaman." Memang seperti itulah kenyataannya. Meski mereka bekerja di induk perusahaan yang sama, Walton selalu mencari cara untuk menjatuhkan Julia, termasuk dengan cara-cara licik yang sebenarnya bisa merugikan perusahaan. Tapi terlalu naif jika mengira apa yang dikatakan Julia itu akan membuat situasi berpihak padanya. Benny, yang mendengar pembelaan Julia tersebut, kini malah menggebrak meja dan memelototkan matanya pada Julia. "Aku tak mau mendengar alasan apa pun darimu, Julia! Kalau kau memang merasa dirimu mampu memimpin divisi pemasaran, kau harus menunjukkannya dengan performa, dengan hasil. Kau paham?!" bentaknya. Semua orang terdiam dan menunduk. Julia kembali duduk di kursinya, mukanya merah padam karena menahan amarah. Benny ketika sudah marah memang menakutkan. Tak seorang pun di Keluarga Wiguna berani menantangnya terang-terangan, apalagi di situasi seperti ini di mana dia sedang menunjukkan kuasanya sebagai direktur utama Wiguna Corp. Tapi ada pengecualian, yakni Walton. Sebab Walton adalah cucu kesayangannya Benny, Benny kerap bersikap lunak padanya. Ini membuat Walton berani menyuarakan pikirannya pada Benny dalam situasi apa pun, termasuk saat ini. "Aku punya usul, Kek. Saat ini PT Alat Kesehatan Makmur yang belum lama ini buka cabang di kota ini sedang mencari partner bisnis. Dengar-dengar, nilai proyek yang mereka tawarkan mencapai 10 miliar. Bagaimana kalau Julia dan timnya itu ditugaskan untuk mendapatkan proyek tersebut? Kurasa akan sangat bagus kalau PT Mega Farma bisa bekerja sama dengan perusahaan tersebut." Mata Julia langsung membulat mendengar apa yang dipaparkan Walton. Dia tahu perusahaan yang dimaksud. Itu adalah cabang dari perusahaan multinasional yang berpusat di ibukota. Banyak perusahaan level menengah di kota ini mencoba menawarkan kerjasama bisnis dengan mereka tetapi ditolak. Standar mereka begitu tinggi. Bagaimana bisa Julia dan timnya yang performanya sedang menurun itu diberi tugas seberat ini? Itu sama saja menceburkan mereka ke kubangan lumpur. "Usul yang bagus. Kurasa itu bisa dicoba," kata Benny. Kembali, mata Julia membulat. Ditatapnya kakeknya itu tak percaya. "Tapi, Kek, bukankah itu terlalu muluk. Soalnya—" "Aku tak mau mendengar penolakan darimu, Julia!" potong Benny. "Ini tes khusus dariku untukmu. Kalau kau berhasil mendapatkan proyek itu, aku tidak akan mempermasalahkan kinerjamu yang menurun beberapa bulan ini. Tapi kalau kau gagal mendapatkannya, kau pergilah dari sini! Mestinya kau paham apa maksudku." Julia terdiam, tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Beberapa anggota timnya yang ikut menghadiri rapat tertunduk lesu, sepemikiran dengannya bahwa mendapatkan proyek dari PT Alat Kesehatan Makmur itu sangatlah mustahil. Sebagai pemimpin divisi pemasaran Julia merasakan tekanan yang berat, yang sangat berat. Bukan hanya nasibnya yang dipertaruhkan di sini, melainkan juga nasib mereka. Sementara itu Walton tersenyum lebar. Dia sangat menikmati momen-momen seperti ini. Dia yakin Angelica di sampingnya pun menikmatinya, meski wanita itu memilih untuk tak menunjukkannya. "Kenapa, Julia? Kau takut? Kalau gitu, kau boleh mengundurkan diri dari sekarang juga kok," sindir Walton. Angelica juga ikut menyindir, "Julia, kalau aku jadi kau, aku tidak akan lanjut di sini lagi kalau memang tidak ada kemampuan itu." Mendengar ucapan mereka, Julia mengepal erat tangannya. Dia tahu betul betapa sulitnya mendapatkan kerja sama ini, dan juga tahu betul ini adalah cara Walton mereka untuk mengusirnya dari sini. Jadi, setelah ragu sesaat, dia pun berdiri dan berkata, "Kakek, aku sudah mengambil keputus—" Di saat ini, pintu tiba-tiba saja dibuka dan seseorang masuk ke dalam, berkata dengan lantangnya, "Terima saja tesnya, Julia. Kau pasti bisa mendapatkan proyek senilai 10 miliar itu." Semua orang di ruang rapat langsung mengarahkan pandangan ke sumber suara. Di sana, di ambang pintu, Martin berdiri dan menatap Julia dengan penuh percaya diri. ...