Pernikahan antara Adimas Muhammad Ibrahim dan Shaffiya Jasmine terjalin bukan karena cinta, melainkan karena sebuah perjodohan yang terpaksa. Adimas, yang membenci Jasmine karena masa lalu mereka yang buruk, merasa terperangkap dalam ikatan ini demi keluarganya. Jasmine, di sisi lain, berusaha keras menahan perasaan terluka demi baktinya kepada sang nenek, meski ia tahu pernikahan ini tidak lebih dari sekadar formalitas.
Namun Adimas lupa bahwa kebencian yang besar bisa juga beralih menjadi rasa cinta yang mendalam. Apakah cinta memang bisa tumbuh dari kebencian yang begitu dalam? Ataukah luka masa lalu akan selalu menghalangi jalan mereka untuk saling membahagiakan?
"Menikahimu adalah kewajiban untukku, namun mencintaimu adalah sebuah kemustahilan." -Adimas Muhammad Ibrahim-
“Silahkan membenciku sebanyak yang kamu mau. Namun kamu harus tahu sebanyak apapun kamu membenciku, sebanyak itulah nanti kamu akan mencintaiku.” – Shaffiya Jasm
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 11
Mobil Adimas baru saja masuk ke garasi rumah saat sebuah pesan masuk ke Whatsappnya. Lelaki itu segera membalas pesan yang terkirim atas nama Rindu tersebut. Sesuatu mengenai Rindu akan selalu mengundang lengkungan matanya dan ketenangan jiwanya. Tidak lupa dengan senyum kebahagian yang juga beriringan dengan rasa senang di hatinya.
Pesannya singkat. Hanya menanyakan apakah Adimas sudah sampai rumah atau belum. Hanya itu. Namun efeknya membuat kupu-kupu di hati Adimas mendadak bertebaran. Ia bahagia. Sesimpel itu jika mengenai Rindu.
Gadis lembut bermata teduh itu selalu menjadi tempat yang memberinya ketenangan. Seperti itulah siang tadi. Di saat gejolak kebenciannya kepada Jasmine semakin menyeruak membuat dadanya sesak, maka saat itulah ia membutuhkan Rindu untuk menenangkan hatinya. Setidaknya melihat senyum Rindu cukup menjadi obat untuknya.
Setelah membalas pesan singkat tersebut, Adimas segera mengambil tas kerjanya berikut jas kerjanya. Namun sebelum itu, ia merenggangkan dasinya terlebih dulu. Kemudian Adimas segera turun dari mobil untuk segera masuk ke rumah.
Rumah minimalis berlantai dua itu tampak sepi. Berbicara tentang rumah ini, Adimas sendiri yang memilihnya beberapa tahun yang lalu tentunya sebagai hadiah dari eyangnya. Rumah ini sesuai dengan keinginannya, tidak terlalu besar namun tidak juga kecil. Cukup untuk keluarga kecil seperti mereka. Meskipun sebenarnya Adimas malas menyebutkan ia dan Jasmine adalah keluarga karena sampai kapanpun baginya, Jasmine adalah orang asing yang akan selalu ia benci.
Rumah tersebut memiliki 3 kamar, dilengkapi dengan satu tempat mihrab, ruang tamu, dan ruang keluarga yang dikonsep dengan open space dengan dapur dan ruang makan. Tidak lupa dengan lahan kosong di belakang rumah, rencananya itu akan ditanami Adimas dengan berbagai tanaman. Entah kapan itu bisa di realisasikan, mengingat malasnya Adimas melihat Jasmine.
Langkah Adimas masih tertahan di ruang tamu. Adimas menghentikan langkahnya saat ia melihat foto pernikahannya dan Jasmine. Senyum bahagia Jasmine teramat kontras dengan senyum Adimas yang begitu samar.
Adimas tahu, itu semua adalah kebahagiaan yang palsu. Namun Adimas bisa apa? Anak yang tidak diinginkan sepertinya tidak mempunyai pilihan selain menerima itu.
"Sadar diri, Dim. Kamu diperlukan hanya untuk membantu Adrian. Selamanya fokus mereka hanya untuk Adrian," ujarnya pelan.
Merasa hatinya terluka jika mengingat itu, Adimas pun segera berjalan menuju tangga. Namun matanya tiba-tiba menangkap sosok perempuan di dapur yang sedang bersenandung.
Adimas pun mengurungkan niatnya untuk naik ke kamar, ia justru memutar haluan menuju dapur. Mata Adimas membulat ketika mendapati sosok perempuan dengan crop top polos berwarna hitam dan hotpants berwarna abu-abu dengan rambut dicepol asal sedang membuat adonan di dapur. Posisinya membelakangi Adimas.
Lantunan syair berbahasa Arab yang dilantunkan Jasmine dan tentunya tidak Adimas kenali itu membuat Adimas membeku. Apalagi matanya sulit diajak kompromi untuk tidak melihat kaki jenjang milik Jasmine itu. Ini adalah kali pertama ia melihat Jasmine tanpa pakaian tertutup selama mereka menikah.
Melihat Jasmine tanpa jilbab? Tentu saja Adimas pernah melihatnya. Namun itu dulu, saat Jasmine menginjak remaja. Perubahan fisiknya memang tidak banyak, namun Adimas mengakui kini Jasmine terlihat lebih cantik dan dewasa. Karena itulah melihat Jasmine dengan pakaian terbuka seperti itu sangat membuat Adimas terkejut dan terdiam.
"Kebencian lo itu bisa diabaikan, Adimas. Halal untuk kamu menyentuhnya. Meski tanpa cinta sekalipun kamu bisa meminta dia memenuhi hakmu sebagai suami." Gema suara dari sisi kirinya membujuknya.
"Jangan Adimas. Jangan kalah dengan logikamu. Tahan dirimu."
"Loh? Mas udah lama sampai?" Suara Jasmine membuat Adimas tersentak. Ia tersadar dan merasa malu karena tertangkap basah menatap Jasmine dengan begitu kagum.
"Hmmmh...." gumam Adimas dengan wajah datar. Padahal jantungnya berdebar kencang. Apalagi kini Jasmine melangkah mendekat padanya.
Kini perempuan itu sudah berdiri di depannya. Meskipun penampilan Jasmine tampak berantakan karena tepung yang bertebaran di sekitar lengan dan wajahnya, namun tetap saja Adimas menjadi gugup. Lebih sialan lagi ketika ingatannya berputar kembali pada kejadian Jasmine yang memeluknya tiba-tiba malam itu.
Bohong jika Adimas bilang ia tidak bereaksi. Ia adalah lelaki normal dan kini Jasmine muncul di hadapannya dengan penampilannya yang tidak biasa. Perempuan itu lalu mengulurkan tangannya di hadapan Adimas.
Tidak mau berlama-lama berhadapan dengan Jasmine, Adimas pun mengulurkan tangannya pada Jasmine. Perempuan itu langsung menarik tangan Adimas dan mencium punggung tangan serta telapak tangan Adimas dengan lembut.
"Mas udah makan? Kalau belum, mau aku siapkan?"
Adimas memalingkan tatapannya dari bola mata hitam pekat milik Jasmine. Kalau saja masa lalunya dan Jasmine tidak serumit ini, mungkin ia bisa saja menerima Jasmine dalam hidupnya.
"Tidak perlu. Saya sudah makan." Adimas lalu berbalik membelakangi Jasmine. Ia lalu segera berjalan ke arah tangga meninggalkan Jasmine yang masih terdiam melihatnya.
Namun Adimas tidak peduli, ia harus segera ke kamar dan segera mandi. Tubuhnya terasa panas. Sesampainya Adimas di kamarnya, lelaki itu langsung meletakkan jas dan tasnya di atas kasur secara sembarang.
Lelaki itu langsung duduk mengatur ritme jantungnya yang tidak karuan. Kepalanya menjadi mendadak pusing. Bayangan Jasmine selalu berputar di kepalanya membuat dirinya kesal.
Akhirnya Adimas pun segera ke kamar mandi. Ia harus segera menyegarkan tubuhnya agar lebih rileks. Cukup lama ia mengguyur tubuhnya dengan air dingin, bahkan ia juga mencoba mengatur napasnya agar lebih tenang.
Setelah ritual mandi tersebut, Adimas pun keluar kamar mandi. Lelaki itu berjalan pelan menuju lemarinya dan mengambil beberapa potong pakaian. Setelah memakai baju, ia pun mengeringkan rambutnya. Kini segarnya tubuhnya dan kepalanya, perlahan tubuhnya pun lebih rileks seiringan dengan rileks jantungnya.
Adimas segera mengalihkan pikirannya dengan membuka laptopnya dan mulai memeriksa beberapa pekerjaan yang ingin ia teliti lagi. Lebih tepatnya menyelesaikan pekerjaan hanya untuk menghilangkan Jasmine dari kepalanya.
Lelaki itu duduk santai di sofa kamarnya. Sesekali tangannya memastikan kacamatanya terpasang dengan nyaman. Baru saja ia memeriksa beberapa laporan, tiba-tiba sebuah pesan masuk. Nama Danish muncul. Selain Rama dan Rindu, Danish adalah sahabat sekaligus dokternya. Ia sudah mengenal lama lelaki itu.
Danish : Efek punya istri, jadi sekarang obat dari gue nggak diperlukan lagi ya, Dim? Wkwkwk
Me : Gue lupa.
Danish : Alasan lo. Istri lo cantik banget. Bagi tips dong biar dapat yang komplit kayak gitu.
Me : Lo liat dimana?
Bukan tanpa alasan Adimas bertanya seperti itu. Selain karena Danish yang tidak datang ketika pernikahannya, Danish juga tidak pernah melihat Jasmine. Seingat Adimas, Jasmine juga tidak memiliki media sosial.
Danish : Gue baru tahu istri lo itu pemilik Mine Kafe. Gue pernah lihat. Tapi gak di kafenya. Tapi di masjid. Gila itu muka adem banget.
Me : Omongan lo udah kayak Rama. Paling nggak bisa lihat cewek cantik.
Danish : Kalo yg ini beda. Jilbabnya aja selebar itu. Lo tau apa yang ada di otak gue pas tahu lo nikah sama dia?
Me : Apaan?
Danish : Gue kepikiran Natasha Rizki sama Desta. HHAHAHAHA....
"Sialan!" rutuk Adimas kesal. Ia langsung melemparkan ponselnya ke ujung sofa.
Ia kesal disamakan dengan Natasha Rizki dan Desta. Bukan karena kesal karena dirinya yang disamakan dengan Desta, namun ia tahu Jasmine tidak sebaik selebriti yang terkenal sudah memakai jilbab panjang dan lebar itu. Dia juga kesal karena baik Rama atau pun Danish justru berpihak kepada Jasmine hanya karena perempuan itu cantik.
"Bisa-bisanya mereka hanya melihat Jasmine di saat sekarang dan kagum hanya karena penampilannya yang sudah berubah itu." dumel Adimas jengkel.
Tok! Tok!
Suara ketukan pintu kamar Adimas terdengar. Tidak lama kemudian, suara Jasmine memanggilnya terdengar. Adimas memutar bola matanya karena malas. Namun suara Jasmine semakin terdengar disertai dengan ketukan pintu yang mengganggu Adimas jika tidak segera dibuka.
Adimas menghela napasnya kesal. Ia masih memakai kacamatanya saat melangkah menuju pintu. Adimas menggelengkan kepalanya saat lagi-lagi kepalanya memikirkan Jasmine saat di dapur tadi.
Adimas menarik napasnya dalam, kemudian menghembuskannya. Setelah memastikan raut wajahnya biasa saja, Adimas pun menbuka pintu kamarnya.
"Ada apa?" tanya Adimas langsung dengan suara yang jauh dari kata ramah.
Di depannya kini Jasmine berdiri dengan sebuah nampan yang terdapat beberapa potong roti yang masih tercium bau harumnya dan segelas es kopi.
Penampilannya kini tidak seterbuka tadi. Tidak ada lagi crop top dan hotpants seperti tadi, kini telah berganti dengan daster rumahan berwarna pastel. Meskipun begitu, Jasmine terlihat lebih segar dan... manis. Adimas bisa memastikan, perempuan itu baru selesai mandi. Aroma sabun dan parfumnya tercium jelas. Jangan lupakan dengan senyum lebarnya yang terus menghiasi wajahnya itu.
Hanya lelaki buta yang tidak tahu bahwa seorang Shaffiya Jasmine itu cantik dan mempesona.
Hanya saja bagi Adimas, kecantikan itu tertutup oleh kelicikan gadis itu.
"Tadi aku buat roti. Barangkali Mas mau coba?" tawarnya memperlihatkan makanan tersebut pada Adimas.
"Tidak. Saya tidak mau." Adimas menolak cepat. Padahal lidahnya menjerit ingin merasakan roti tersebut. Meskipun hanya roti rumahan, namun Adimas tahu kafe milik Jasmine terkenal dengan roti-rotinya yang enak.
Adimas pikir Jasmine akan menunjukkan kesedihan saat Adimas menolak, ternyata tidak. Ia justru menyerobot masuk tanpa permisi di hadapan Adimas dan segera masuk ke kamar Adimas. Tentu saja hal itu membuat Adimas mendelik kesal.
"Kamu apa-apaan? Keluar sana! Saya sudah bilang kalau kamu dilarang masuk ke sini!Lagipula saya tidak mau makanan dari kamu. Bawa lagi sana!" tegur Adimas.
Namun bukannya keluar, Jasmine justru meletakkan nampan tersebut di meja dekat sofa. Setelah itu ia tersenyum pada Adimas.
"Aku taruh di situ aja, ya. Lumayan buat nemenin Mas lembur," katanya lembut dan tentu saja membuat Adimas kesal setengah mati.
Saat Jasmine berlalu dihadapannya, Adimas dengan cepat menahan lengan Jasmine dengan kasar. "Saya bilang bawa kembali itu."
"Buang aja kalau kamu-"
Kriyuuukkk.....
"Buang aja kalau Mas tahan lapar malam-malam. Kasihan tuh perutnya demo mau makan...." Jasmine segera keluar sambil menahan senyum.
"SIALAAAAN!" seru Adimas karena malu dengan perutnya yang ternyata tidak bisa berkompromi itu.
Hatinya semakin dipenuhi dengan kebencian, karena ternyata tidak hanya para sahabatnya yang membela Jasmine, kepala dan perutnya pun demikian.
Terlebih saat ia tanpa sadar segera memakan roti buatan Jasmine itu dengan hati yang bahagia.