NovelToon NovelToon
Mencari Kebahagiaan

Mencari Kebahagiaan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / CEO / Cinta Seiring Waktu / Suami ideal / Trauma masa lalu
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Aira, seorang wanita yang lembut namun kuat, mulai merasakan kelelahan emosional dalam hubungannya dengan Delon. Hubungan yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi toxic, penuh pertengkaran dan manipulasi. Merasa terjebak dalam lingkaran yang menyakitkan, Aira akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan percintaan yang menghancurkannya. Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, Aira belajar mengenal dirinya sendiri, menyembuhkan luka, dan menemukan bahwa cinta sejati bermula dari mencintai diri sendiri.
Disaat menyembuhkan luka, ia tidak sengaja mengenal Abraham.
Apakah Aira akan mencari kebahagiaannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rumah Sementara, Luka yang Masih Terasa

Aira meletakkan tasnya di atas sofa ruang tamu rumah Dinda. Suasana rumah itu hangat dan rapi, aroma kayu manis dari diffuser di sudut ruangan langsung menyambutnya.

Rumah ini bukan miliknya, tapi entah kenapa terasa lebih seperti rumah daripada tempat yang pernah ia tinggali bersama Delon.

Dinda muncul dari dapur sambil membawa dua cangkir teh hangat.

“Kamu pulang senyum-senyum sendiri,” godanya sambil meletakkan cangkir di meja.

Aira terkekeh pelan. “Cuma hari yang menyenangkan. Enggak lebih.”

Dinda duduk di sebelahnya, menyipitkan matanya. Ia tahu jika Aira tadi diantar oleh CEO muda yang terkenal.

"Ra, bukankah tadi mobil Tuan Abraham?" tanya Dinda

Aira menatap Dinda sebentar, lalu mengangkat bahu.

“Iya Din. Dia baik. Enggak macem-macem. Tapi... ya, aku belum bisa mikirin soal itu.”

Dinda mengangguk paham. “Pelan-pelan aja. Kamu udah cukup kuat untuk keluar dari neraka yang namanya Delon. Itu aja udah hebat, Ra.”

Mendengar nama itu disebut, senyum Aira memudar sejenak.

Luka itu belum sepenuhnya kering. Kadang, ingatan tentang malam-malam penuh teriakan dan piring pecah masih datang dalam tidurnya.

Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, ingatan itu tidak menenggelamkannya.

“Aku cuma pengen punya ruang buat diri sendiri, Din. Tempat yang aku atur sendiri, yang tenang. Enggak harus mewah. Asal damai.”

Dinda menggenggam tangan Aira. “Kamu akan punya itu. Bahkan lebih.”

Aira mengangguk pelan, lalu menyesap teh hangatnya.

Malam perlahan turun, dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa ingin menatap masa depan—meski masih samar, tapi ada cahaya yang perlahan muncul di ujung jalan.

*****

Keesokan paginya, Aira datang dengan langkah sedikit terburu-buru.

Matahari belum terlalu tinggi, tapi ia tahu dirinya telat dari waktu yang disepakati.

Rambutnya ia ikat asal, dan map berisi sketsa ia peluk erat di dada. Saat sampai di depan kafe, ia melihat sosok Abraham sedang berdiri di tangga depan, dengan lengan disilangkan dan senyum tipis di wajahnya.

Aira mendekat dengan wajah menyesal. “Maaf banget, Pak Abraham. Saya bangun kesiangan. Alarm saya mati, dan—”

Abraham mengangkat satu tangan, memotong kata-katanya dengan tenang.

“Tenang aja, Ra. Aku juga baru datang beberapa menit lalu.”

Aira mengerutkan kening, curiga. “Beneran?”

Abraham tertawa kecil. “Enggak juga. Tapi enggak masalah.”

Aira nyengir malu. “Duh... saya beneran minta maaf. Ini enggak biasa. Biasanya saya paling disiplin soal waktu.”

“Ya sudah, anggap hari ini pengecualian. Manusiawi banget kok telat gara-gara capek atau terlalu banyak mikir,” ujar Abraham, menuruni tangga lalu membukakan pintu kafe untuk Aira. “Yang penting kamu tetap datang.”

Aira masuk, senyumnya belum sepenuhnya hilang.

“Terima kasih udah nggak marah.”

Abraham menutup pintu di belakang mereka. “Saya enggak pernah marah ke orang yang datang bawa kerja keras dan niat baik.”

Aira tertawa pelan. “Kalimat itu cocok jadi tagline kafe, lho.”

Abraham mengangguk. “Noted. Siapa tahu kita pasang di dinding dekat pintu masuk.”

Mereka berjalan ke meja kerja di tengah ruangan, di mana catatan dan contoh material sudah tertata.

Meski hari baru dimulai, suasana antara mereka terasa ringan—seperti dua orang yang perlahan menemukan ritme baru dalam hidup masing-masing.

Aira dan Abraham duduk di meja besar kafe yang masih setengah jadi, dikelilingi oleh cat dinding yang belum sempurna dan bahan-bahan renovasi yang berserakan.

Meskipun banyak yang masih harus dikerjakan, ruangan itu sudah mulai terasa hidup, dengan udara segar yang masuk lewat jendela besar dan sinar matahari yang memancar lembut.

Aira menatap sketsanya, memeriksa detail yang harus diperbaiki, sebelum akhirnya menatap Abraham yang duduk di seberangnya, masih sibuk memeriksa beberapa gambar desain.

“Apa kamu yakin, Ra?” tanya Abraham, matanya fokus pada gambar yang baru saja dilihatnya.

“Desain yang kamu buat itu... bener-bener beda dari yang lain. Gaya seperti ini lebih segar, lebih personal.”

Aira menghela napas pelan, meletakkan pensilnya di atas meja.

“Jujur, aku nggak tahu kenapa aku bisa sampai di sini. Rasanya seperti... kayak aku sedang mencari bagian dari diriku yang hilang, setelah semua yang terjadi.”

Abraham menatapnya, dan untuk sesaat, mereka terdiam.

Ruangan yang sedang dibangun ini—begitu banyak yang belum selesai, dan begitu banyak yang masih berantakan—tapi di sinilah mereka, sedang membangun sesuatu yang bisa memberi arti baru.

“Kadang, Ra, kita perlu kehilangan sesuatu yang besar buat bisa menemukan bagian diri kita yang dulu tertutup,” kata Abraham, suaranya lembut, penuh pemahaman.

Aira menundukkan kepala, sejenak merasa ada kedalaman dalam kata-kata Abraham.

Perasaan itu datang begitu saja—sebuah pengertian yang tak perlu diucapkan, namun begitu nyata di antara mereka.

“Aku bisa merasakannya,” jawab Aira akhirnya, dengan suara lebih pelan.

“Aku merasa seperti... aku mulai membangun diriku lagi, pelan-pelan.”

Abraham tersenyum tipis. “Aku suka cara kamu berpikir. Pelan-pelan, tapi pasti.”

Aira terdiam, menatap matanya yang lembut namun penuh ketegasan. Tak ada lagi rasa cemas yang memenuhi hatinya. Kini, di tempat yang tengah mereka bangun ini, Aira merasa ada ruang untuk dirinya sendiri—tanpa ada yang menghakimi, tanpa ada yang mengontrol.

Aira kembali membuka map-nya dan mengambil ponsel.

"Sekarang saatnya memanggil tim renovasi, kan? Waktunya mulai bergerak.”

Abraham mengangguk. “Kita udah cukup banyak memikirkan desainnya, sekarang saatnya mewujudkannya. Ayo, panggil mereka. Aku yakin mereka bakal senang bekerja di sini.”

Aira memanggil tim renovasi dan menjelaskan langkah-langkah yang akan mereka ambil.

Ketika ia menutup ponsel dan menoleh ke Abraham, ia merasa ada semangat baru dalam dirinya—semangat yang bukan hanya berasal dari pekerjaan ini, tapi juga dari seseorang yang tahu betul bagaimana memberi ruang untuk tumbuh.

Pagi itu, suasana di kafe berubah menjadi lebih sibuk.

Tim renovasi yang sebelumnya sudah menunggu instruksi kini mulai bergerak, membawa peralatan dan material yang diperlukan.

Ada rasa antusiasme di udara, meskipun banyak bagian yang masih belum selesai. Namun, ada satu hal yang pasti—kafe ini akan segera berubah menjadi tempat yang penuh kehidupan.

Aira berdiri di samping Abraham, melihat para pekerja yang mulai memasang dinding baru, merapikan area belakang, dan mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk tahap renovasi selanjutnya.

Seorang dari tim renovasi mendekat dan memberi laporan kepada Abraham.

“Kami akan selesai dalam dua bulan, Pak Abraham. Kami pastikan semua sesuai dengan rencana, dan kualitasnya terjaga. Setiap detail akan diperhatikan.”

Abraham mengangguk puas. “Bagus. Dua bulan itu waktu yang tepat. Pastikan semuanya rapi dan sesuai desain.”

Aira tersenyum, merasa bangga melihat proses yang telah dimulai. “Terima kasih banyak,” ujarnya kepada tim renovasi, suaranya penuh rasa terima kasih. “Saya tahu ini bukan pekerjaan mudah, dan kalian pasti akan membuatnya sempurna.”

Tim itu membalas dengan senyum, lalu melanjutkan pekerjaan mereka.

Abraham berdiri di samping Aira, menyaksikan semua yang sedang berlangsung. Kemudian, ia berpaling ke Aira, wajahnya serius tapi penuh perhatian.

“Aira,” katanya pelan.

Aira menoleh, agak bingung. “Iya, Pak?”

Abraham mengeluarkan sepasang kunci dari saku jasnya dan menghadap Aira dengan tatapan lembut.

“Ini hadiah untuk kamu,” ucapnya, menyerahkan kunci itu kepada Aira. “Kunci apartemenku.”

Aira terkejut, matanya membelalak. “Pak Abraham, Anda sudah membayar pekerjaan saya, kan? Apa ini… hadiah?”

Abraham tersenyum, sedikit menggelengkan kepalanya.

“Ini bukan bayaran, Ra. Ini hadiah untuk kerja kerasmu. Kamu sudah membantu saya mewujudkan tempat ini, dan aku rasa, kamu juga perlu punya ruang yang nyaman untuk diri sendiri. Jadi, ini untuk kamu, bukan sebagai imbalan atas pekerjaanmu, tapi sebagai apresiasi atas usaha dan dedikasi yang sudah kamu beri.”

Aira terpaku sejenak, kunci itu digenggamnya dengan tangan sedikit gemetar. Ia tidak tahu harus berkata apa. Hadiah seperti ini—sebuah apartemen—terlalu besar untuknya, dan ia merasa terharu. Ada sesuatu dalam diri Abraham yang berbeda dari orang lain, sesuatu yang membuatnya merasa dihargai lebih dari yang ia kira.

“Pak Abraham... saya nggak tahu harus bilang apa,” ucap Aira akhirnya, suaranya pelan.

Abraham menatapnya dengan lembut, memberi senyuman yang penuh pengertian.

“Jangan khawatir. Anggap saja itu ruang untuk kamu. Tempat di mana kamu bisa istirahat, jauh dari semua hal yang mengganggu. Kamu berhak mendapatkan itu.”

Aira menunduk, menatap kunci yang masih ada di tangannya. Ada perasaan hangat yang mengalir di dadanya, dan meskipun ia tahu ia belum sepenuhnya sembuh dari luka-lukanya, hadiah ini seperti sebuah langkah kecil menuju kebahagiaan yang lebih besar.

“Terima kasih, Pak Abraham,” jawabnya akhirnya, suara yang lebih tegas namun penuh rasa syukur. “Ini lebih dari yang saya harapkan.”

Abraham mengangguk. “Kamu layak mendapatkannya.”

Dengan hati yang penuh, Aira melihat tim renovasi kembali bekerja.

Sementara Abraham berdiri di sampingnya, mereka berdua tahu bahwa perjalanan ini, meski panjang, baru saja dimulai.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Aira merasa seperti ia telah menemukan sebuah tempat untuk diri sendiri—sebuah tempat yang penuh dengan harapan baru.

Malam itu, Aira duduk di kamar Dinda, suasana di sekitar mereka tenang, hanya terdengar suara detik jam dinding yang bersahutan.

Dinda baru saja menyelesaikan pekerjaannya di ruang tamu, dan Aira duduk di ujung tempat tidur, memandangi kunci apartemen yang diberikan Abraham.

Dinda duduk di sampingnya, menyandarkan punggung ke kepala tempat tidur.

“Ada yang mengganggu pikiranmu, Ra?” tanya Dinda.

Aira menoleh, lalu menghela napas. “Aku... Aku akan pindah, Din. Ke apartemen yang Abraham beri.”

Dinda terdiam sejenak, lalu senyum lebar menghiasi wajahnya.

“Serius? Wah, itu kabar baik banget!”

Aira mengangguk pelan, masih merasa tidak percaya dengan keputusan itu.

“Iya, dia memberi kunci apartemennya sebagai hadiah. Aku... aku bingung, Din. Rasanya seperti terlalu banyak yang datang sekaligus.”

Dinda menatap Aira dengan penuh perhatian, lalu berkata dengan lembut, “Tapi, Aira, kamu pantas mendapatkannya. Tuan Abraham memang orang yang sangat baik. Aku tahu dia bukan tipe orang yang memberi hadiah tanpa alasan. Dia lihat kamu, dia tahu kamu butuh ruang untuk diri sendiri. Dan... ya, mungkin dia juga tahu, kamu sudah melewati banyak hal.”

Aira diam, menyentuh kunci itu, merasa berat di tangan, tapi juga ada rasa lega yang perlahan mengalir.

“Aku... aku tahu, Din. Tapi kadang aku merasa nggak layak. Terlalu banyak yang baik datang, dan aku enggak tahu bagaimana cara membalasnya.”

Dinda menyandarkan punggungnya dengan santai, melanjutkan dengan tenang, “Ra, hadiah itu bukan untuk dibalas. Kamu nggak perlu merasa bersalah atau terbebani. Tuan Abraham memberimu itu karena dia tahu kamu butuhnya, dan kamu layak menerimanya. Jangan pusingin tentang cara membalasnya. Hidup itu tentang memberi dan menerima dengan ikhlas.”

Aira menatap sahabatnya, merasa sedikit lebih tenang.

“Kamu benar, Din. Mungkin aku terlalu sering merasa nggak pantas mendapat kebaikan, karena selama ini aku banyak terpuruk... Tapi aku mulai sadar, ini saatnya aku berusaha untuk bangkit, dan mungkin... ini langkah pertama.”

Dinda tersenyum, menggenggam tangan Aira.

“Langkah pertama untuk apa, Ra?”

Aira mengangkat bahunya, matanya jauh menatap keluar jendela.

“Langkah pertama untuk jadi diri aku yang baru. Yang bisa berdiri sendiri, tanpa harus terus merasa terkekang oleh masa lalu.”

Dinda mengangguk, matanya penuh haru. “Itu yang aku tunggu dari kamu, Ra. Kamu sudah cukup kuat.

Kadang, kita hanya perlu sedikit waktu untuk menyadari betapa kuatnya diri kita.”

Aira tersenyum tipis, merasakan hangat dari sahabatnya. “Terima kasih, Din. Kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu apa yang akan terjadi.”

“Aku selalu di sini,” jawab Dinda, dengan lembut.

“Sekarang, jangan ragu untuk melangkah. Pindah lah ke tempat yang kamu butuhkan, di mana kamu bisa merasa lebih bebas.”

Aira menatap kunci itu lagi, sejenak membiarkan perasaan baru itu mengisi ruang dalam hatinya.

“Aku akan mulai, Din. Aku akan mulai."

Malam itu, Aira merasa sedikit lebih siap untuk menyongsong apa yang ada di depan.

Dengan apartemen baru yang akan segera ia tempati, dengan dukungan sahabat yang selalu ada, dan dengan Abraham yang memberi ruang tanpa syarat, mungkin—hanya mungkin—ini saatnya untuk melangkah lebih jauh, keluar dari bayang-bayang masa lalu.

1
Asmara Senja
Kereeeennnn
my name is pho: Terima kasih kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!