Rendra Adyatama hanya memiliki dua hal: rumah tua yang hampir roboh peninggalan orang tuanya, dan status murid beasiswa di SMA Bhakti Kencana—sekolah elite yang dipenuhi anak pejabat dan konglomerat yang selalu merendahkannya. Dikelilingi kemewahan yang bukan miliknya, Rendra hanya mengandalkan kecerdasan, ketegasan, dan fisik atletisnya untuk bertahan, sambil bekerja sambilan menjaga warnet.
Hingga suatu malam, takdir—atau lebih tepatnya, sebuah Sistem—memberikan kunci untuk mendobrak dinding kemiskinannya. Mata Rendra kini mampu melihat masa depan 24 jam ke depan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilo Ginting, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Retakan di Menara Gading
Pagi itu langit Jakarta tampak abu-abu, seolah turut menanggung beban rahasia yang terkubur di perut buminya. Elena Paramita menatap layar ponselnya dengan mata yang tidak berkedip. Pesan dari "Hantu" itu singkat, padat, namun daya ledaknya melebihi bom mana pun yang pernah ia bayangkan.
"Wirawan mencoba mengubur bom waktu di fondasi proyekmu."
Elena bukan wanita yang mudah panik. Dia dibesarkan di tengah intrik politik ayahnya, terbiasa dengan kebohongan manis dan tikaman dari belakang. Namun tuduhan ini berbeda. Ini bukan soal uang suap atau mark-up anggaran, Ini soal racun. Jika benar ada limbah B3 yang ditanam di bawah Batavia Megacity proyek masterpiece yang akan menjadi warisan karirnya maka tanda tangannya di atas dokumen AMDAL bukan hanya sekadar persetujuan, melainkan vonis mati bagi ribuan orang di masa depan. Dan ketika itu terungkap. Wirawan pasti sudah bersih-bersih tangan, meninggalkan Elena sendirian di kursi pesakitan.
"Putar balik," perintah Elena pada sopirnya, suaranya serak namun tajam.
"Tapi Nyonya, rapat direksi jam sembilan..."
"Aku bilang putar balik! Kita ke Sektor 9. Sekarang!" bentaknya.
Lokasi proyek reklamasi Sektor 9 masih berupa hamparan tanah merah yang becek sisa hujan semalam. Alat-alat berat meraung, menanamkan paku bumi ke dalam tanah lunak.
Elena turun dari mobilnya, sepatu hak tingginya tenggelam di lumpur, Ia tidak peduli. Matanya menyapu area itu, mencari truk-truk logistik yang disebutkan dalam pesan. Dan di sana mereka berada. Tiga truk boks tanpa logo, parkir di dekat lubang galian fondasi utama. Para pekerja di sekitar truk itu mengenakan masker gas industri perlengkapan yang tidak lazim untuk sekadar menuang semen.
Elena berjalan cepat, mengabaikan teriakan mandor yang mencoba mencegahnya.
"Ibu Elena! Maaf, area ini sterilisasi! Ibu tidak boleh"
Elena menepis tangan mandor itu. Ia berjalan lurus ke arah salah satu truk yang pintu belakangnya terbuka. Bau itu langsung menyergapnya. Bukan bau solar, bukan bau tanah. Itu bau yang tajam, menusuk, rasa logam yang membuat lidah terasa pahit dan perut mual, Bau kematian kimiawi. Di dalam truk, berderet drum-drum besi berkarat. Salah satu pekerja sedang mengarahkan selang dari drum itu langsung ke lubang galian. Cairan kental berwarna hijau kehitaman mengalir deras, bercampur dengan tanah, mendesis saat menyentuh genangan air.
Lutut Elena lemas. "Hentikan!" teriaknya, suaranya pecah di tengah deru mesin. "Matikan pompanya! Hentikan semuanya!".
Para pekerja berhenti, saling pandang bingung. Mandor proyek seorang pria kekar kepercayaan Rudi mendekat dengan wajah tidak senang.
"Bu Elena, ini perintah langsung dari pusat. Kami harus mengejar target pengecoran sebelum siang."
"Ini bukan semen," desis Elena, matanya menatap tajam mandor itu. "Ini limbah. Kalian membuang limbah B3 di proyekku?". Mandor itu tersenyum tipis, senyum yang meremehkan. "Ini hanya campuran khusus untuk memperkuat tanah, Bu. Teknis sipil. Orang kantoran seperti Ibu tidak perlu pusing soal detail lapangan."
"Jangan anggap aku bodoh!" Elena mengeluarkan ponselnya, memotret drum-drum itu dan cairan yang mengalir. "Aku akan laporkan ini. Ini pelanggaran pidana tingkat berat!"
Mandor itu maju selangkah, postur tubuhnya berubah mengancam. "Bu Elena, sebaiknya simpan ponsel itu. Tuan Wirawan tidak suka kalau proses penguatan tanah ini terganggu. Ibu tahu kan, proyek ini harus jalan? Demi Bapak Seno juga?". Ancaman halus itu menghentikan gerakan Elena, Nama ayahnya disebut.
Elena mundur selangkah, menahan napas agar tidak menghirup uap beracun itu lebih banyak. Dia berbalik, masuk ke mobilnya dengan tangan gemetar hebat.
"Ke kantor pusat," perintahnya pada sopir. "Cepat.", Di dalam mobil yang melaju kencang, Elena menatap foto di ponselnya. Foto drum berkarat itu, Dia merasa jijik. Jijik pada bau yang menempel di bajunya, jijik pada Wirawan, dan yang paling parah, jijik pada dirinya sendiri karena telah begitu buta.
Pukul 10.30 WIB. Kantor Tuan Wirawan.
Elena tidak mengetuk. Dia mendorong pintu mahoni berat itu hingga terbuka lebar. Wirawan sedang duduk santai di sofa kulitnya, membaca koran bisnis sambil menikmati espresso pagi. Dia tidak terlihat terkejut melihat Elena yang masuk dengan wajah merah padam dan rambut sedikit berantakan.
"Elena. Rapat direksi sudah lewat satu jam. Kau tidak biasanya terlambat," kata Wirawan tenang, tanpa meletakkan korannya.
Elena melempar tasnya ke sofa. "Jangan basa-basi denganku. Aku baru dari Sektor 9."
Wirawan melipat korannya perlahan, meletakkannya di meja. Dia menatap Elena dengan tatapan seorang ayah yang kecewa pada anak yang nakal. "Kenapa kau pergi ke sana? Tempat itu kotor. Tidak cocok untuk sepatumu."
"Apa isi drum-drum itu, Tuan?" tuntut Elena, suaranya bergetar menahan amarah. "Apa yang kau kubur di bawah menara impian kita?"
"Penghematan biaya," jawab Wirawan datar. "Lima ratus miliar rupiah. Itu biaya yang harus kita keluarkan jika memproses limbah pabrik pupuk kita di Jawa Barat secara legal. Atau, kita bisa menggunakannya sebagai filler fondasi di sini, gratis. Semen akan menutupnya. Tidak akan ada yang tahu. Dalam seratus tahun, siapa yang peduli?"
"Aku peduli!" teriak Elena. "Itu racun! Jika air tanah terkontaminasi, ribuan orang akan sakit. Dan namaku... namaku yang ada di semua dokumen persetujuan teknis! Kau menjadikanku tameng!"
Wirawan berdiri. Aura kekuasaannya memenuhi ruangan, membuat udara terasa sesak. Dia berjalan mendekati Elena.
"Namamu ada di sana karena kau yang dibayar mahal untuk menanggung risikonya, Elena. Kau pikir gaji miliaran, mobil mewah, dan posisi direktur itu gratis? Itu harga untuk hati nuranimu."
Wirawan berhenti tepat di depan Elena. "Dan jangan bicara soal moralitas padaku. Ayahmu, Pak Seno yang terhormat itu, bisa lolos dari penjara pajak juga karena uang kotor yang kau hasilkan di sini. Kau dan aku sama saja, Elena. Kita membangun istana di atas lumpur."
Elena terdiam, air mata kemarahan menggenang di pelupuk matanya. Kata-kata Wirawan menusuk tepat di jantung keraguannya. Dia terperangkap.
"Jika kau bocorkan ini," bisik Wirawan di telinga Elena, "proyek batal. Saham hancur. Ayahmu kehilangan dukungan politik dan perlindungan dariku. Lawan politiknya akan memakannya hidup-hidup. Dan kau? Kau akan masuk penjara karena kelalaian lingkungan. Aku? Aku punya cukup uang untuk pindah ke Swiss besok pagi."
Wirawan mundur, kembali tersenyum ramah. "Jadi, Elena sayang. Hapus foto itu. Lupakan bau itu. Kembalilah bekerja. Jadilah gadis pintar seperti biasanya."
Elena menatap pria itu. Pria yang dulu ia kagumi sebagai mentor, kini terlihat seperti monster. Dia tidak menjawab. Dia mengambil tasnya, berbalik, dan berjalan keluar. Langkahnya berat, seolah menyeret rantai besi yang tak terlihat.
Elena tidak kembali ke ruangannya. Dia tidak bisa bernapas di gedung itu. Dia menyuruh sopirnya pulang, lalu naik taksi acak. Dia butuh tempat yang netral. Dia butuh seseorang yang tidak terikat dengan Wirawan, tapi mengerti permainannya. Tangannya secara refleks menekan satu kontak di ponselnya.
Rendra.
Bukan Rendra si anak SMA teman adiknya. Tapi Rendra si analis, si "Hantu" yang memberinya peringatan.
"Halo?" suara Rendra terdengar tenang di seberang sana.
"Rendra..." suara Elena pecah. "Kau benar. Semuanya benar. Dia monster."
"Kau ada di mana, Kak?" nada suara Rendra berubah, menjadi waspada dan protektif.
"Aku tidak tahu. Aku di taksi. Aku tidak bisa pulang, aku tidak bisa ke kantor. Aku... aku merasa dia mengawasiku."
"Tenang. Jangan panik," instruksi Rendra tegas. "Suruh taksi itu turun di Mall Grand Indonesia. Masuk ke keramaian. Buang kartu SIM-mu di tempat sampah toilet. Beli kartu baru di konter. Hubungi aku lagi di nomor ini. Aku akan jemput."
"Kenapa aku harus percaya padamu?" bisik Elena, meski dia tahu dia tidak punya pilihan lain.
"Karena akulah yang memberitahumu tentang bom itu. Jika aku ingin menghancurkanmu, aku akan diam saja dan membiarkanmu meledak bersama proyek itu."
Logika itu tak terbantahkan.
Satu jam kemudian, di sebuah kafe sudut yang sepi di dalam mall, Rendra datang. Dia tidak mengenakan seragam sekolah atau jas mahal. Dia memakai jaket hoodie abu-abu dan topi, membaur sempurna dengan keramaian.
Elena duduk di pojok, memeluk cangkir teh panas yang tidak diminumnya. Wajahnya pucat, riasannya sedikit luntur. Wanita besi itu terlihat retak.
Rendra duduk di depannya, meletakkan ponsel baru di meja.
"Ini aman. Sudah dienkripsi," kata Rendra.
Elena menatap Rendra. Pemuda itu terlihat begitu muda, namun matanya menyimpan kedalaman yang menakutkan.
"Apa yang harus kulakukan, Rendra?" tanya Elena putus asa. "Dia memegang kartu Ayahku. Dia memegang karirku. Jika aku melawannya, dia hancurkan semuanya. Jika aku diam, aku jadi penjahat lingkungan."
Rendra condong ke depan, menatap mata Elena tajam.
"Kau tidak perlu melawan dia secara terbuka sekarang, Kak. Itu bunuh diri. Kau harus bermain seperti dia."
"Maksudmu?"
"Wirawan berpikir kau sudah menyerah karena kau takut. Biarkan dia berpikir begitu. Jadilah boneka yang manis di depannya. Tapi di belakang layar..." Rendra tersenyum tipis, senyum yang dingin. "Kita kumpulkan bukti. Bukan hanya foto truk. Kita cari aliran dananya. Kita cari siapa yang menyuap petugas lingkungan hidup."
"Kita?" ulang Elena.
"Ya. Kita," tegas Rendra. "Aku tidak bisa membiarkan Clara hidup dari uang yang dihasilkan dengan meracuni kota ini. Aku akan membantumu, Kak. Tapi kau harus menjadi mataku di dalam sana. Kau harus menjadi Trojan Horse."
Elena menatap Rendra lama. Keraguan perlahan memudar dari matanya, digantikan oleh tekad baru yang dingin. Dia menyadari, dia tidak lagi sendirian. Dia telah menemukan sekutu yang mungkin lebih berbahaya daripada Wirawan, tetapi setidaknya, sekutu ini berdiri di sisinya.
"Baik," kata Elena, mengambil ponsel baru itu. "Apa langkah pertama kita?"
"Langkah pertama," kata Rendra, "Adalah membuat Wirawan merasa dia menang hari ini. Pulanglah. Minta maaf padanya. Katakan kau sedang PMS atau stres. Buat dia lengah."
"Dan langkah kedua?"
Rendra bersandar, menatap keramaian mall di luar jendela kaca.
"Langkah kedua... aku akan menggunakan kekacauan yang akan timbul dari isu lingkungan ini untuk mengambil alih sebagian saham proyek itu tanpa Wirawan sadari. Kita tidak akan menghancurkan menara itu, Elena. Kita akan mencurinya, bata demi bata."
Di tengah kebisingan kota Jakarta, sebuah konspirasi baru lahir. Bukan demi uang semata, tapi demi pembalasan dendam.
Semangat Thor