Demi biaya pengobatan ibunya, Alisha rela bekerja di klub malam. Namun kepercayaannya dikhianati sang sahabat—ia terjerumus ke sebuah kamar hotel dan bertemu Theodore Smith, cassanova kaya yang mengira malam itu hanya hiburan biasa.
Segalanya berubah ketika Theodore menyadari satu kenyataan yang tak pernah ia duga. Sejak saat itu, Alisha memilih pergi, membawa rahasia besar yang mengikat mereka selamanya.
Ketika takdir mempertemukan kembali, penyesalan, luka, dan perasaan yang tak direncanakan pun muncul.
Akankah cinta lahir dari kesalahan, atau masa lalu justru menghancurkan segalanya?
Benih Sang Cassanova
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu.peri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENYESALAN ALISHA
"Baby.. Apa ini... pertama kalinya untukmu?" tanyanya lembut.
Alisha mengangguk lemah, menahan sesuatu dalam dirinya.
Theo tersenyum kecil, merasa mendapatkan momen yang berharga. Ia bergerak dengan hati-hati, perlahan menyesuaikan diri dengan ritme yang membuat gadis itu mulai merasa nyaman.
Air mata mengalir di sudut matanya, bukan karena sakit lagi, melainkan karena sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Theo terus bergerak dengan lembut dan penuh perhatian, memastikan setiap gerakannya membawa kehangatan dan kedamaian.
"Ugh.. Kau memang beda dari wanita-wanita lainnya. "
Setelah beberapa saat, gadis itu mulai merasakan kelegaan dan kebahagiaan yang dalam, seolah beban berat terangkat dari hatinya.
Alisha awalnya merasakan ketegangan yang membuatnya meringis, namun seiring waktu, perasaan hangat dan nyaman yang belum pernah ia alami mulai mengalir dalam dirinya. Ekspresinya berubah menjadi lebih rileks, dan kata-kata lembut terus terucap dari bibir mungilnya.
"Emh.. Ayo .. terus.." Kata-kata itu terus keluar dari bibir Alisha, seolah menjadi luapan rasa.
"Untukmu.. Aku melakukannya dengan perlahan." Theo mengusap kepala Alisha pelan, ia merasakan getaran yang sama, membuatnya semakin fokus dan intens dalam menyatu dengan Alisha. Keduanya terhanyut dalam momen itu, seolah waktu berhenti, dan kehangatan yang mereka rasakan semakin mendalam hingga Alisha akhirnya terlelap dalam ketenangan.
Theo pun tetap di sisinya, merasakan kedamaian setelah perjalanan emosional yang mereka lalui bersama.
****
Cahaya mentari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai tipis yang menggantung di jendela kamar. Dalam balutan selimut yang setengah terbuka, tubuh Alisha masih tertidur dengan nafas tak beraturan, bekas air mata di pipinya telah mengering, menyatu dengan guratan letih yang begitu jelas tergambar di wajahnya.
Di sisi ranjang, Theo telah lebih dulu terbangun. Ia menatap hening gadis yang malam tadi menyerahkan seluruh ke po lo sannya, bukan karena cinta… bukan pula karena naf su tapi karena keadaan yang menje bak nya.
Perlahan, Theo melepaskan pelukannya, mencoba untuk tidak membangunkan Alisha.
Jemarinya dengan lembut menyibak helaian rambut cokelat tua yang menempel di pipi gadis itu, lalu memperbaiki posisi selimut yang nyaris melorot dari bahu mungilnya, dan tanpa sengaja melihat tahi lalat di da da nya
"Kau sangat cantik…" gumam Theo lirih. Matanya tetap menatap penuh tanya.
“…Tapi siapa yang menjebakmu?”
Tak ada jawaban, hanya suara nafas lembut gadis itu yang terdengar. Dan dalam benaknya, Theo tahu: ia tak boleh ikut campur. Ia tak mengenal siapa gadis ini, dan menyelamatkan seseorang yang terjerumus bukanlah pekerjaannya. Ia bukan pahlawan. Ia seorang mafia.
Setelah membersihkan diri, Theo mengenakan kembali jas biru dongkernya dengan rapi.
Saat ia menunduk untuk mengambil jam tangan yang ia lepas semalam, matanya secara tak sengaja menangkap sepotong kain tergeletak di lantai. Pakaian hitam putih sederhana dengan celemek kecil—pakaian seorang pelayan.
“Hmm…” gumamnya pelan. “Jadi… dia seorang pelayan…”
Ia berdiri sejenak, seperti berpikir. Tapi hanya sejenak.
Theo mengeluarkan dompetnya, mengambil satu kartu hitam eksklusif—Black Diamond Card milik pribadi. Kartu yang hanya dimiliki oleh kalangan terbatas dari keluarga tingkat atas. Ia meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidur, lalu merobek selembar kertas dari buku catatan kecil di dalam jasnya, dan menulis sepenggal kalimat:
"Gunakan uang ini, anggap saja sebagai ganti rugi" – Theo Smith
Ia menatap sekali lagi ke arah Alisha, sebelum akhirnya berbalik dan melangkah menuju pintu dengan suara langkah yang nyaris tanpa suara. Ia pergi begitu saja, meninggalkan kamar yang masih menyisakan aroma samar dari malam yang kelam.
****
Tepat ketika Theo hendak melewati koridor keluar, suara bentakan keras menggema dari ujung lorong.
“Dasar bodoh! Kau bilang dia masih pe ra wan!” suara pria paruh baya itu penuh amarah.
PLAK!
Tamparan keras mendarat di pipi Vanesha, membuat kepalanya tertoleh ke samping. Bibirnya pecah, darah menetes sedikit dari sana.
“Saya tidak tahu, Tuan! Saya bersumpah, dia memang belum pernah… saya tidak tahu kalau—”
“Bohong! Uang sebesar itu kau kantongi, dan sekarang kau membuatku kecewa! Dasar ja lang murahan!”
Theo yang baru saja melewati mereka, sempat menghentikan langkah. Sorot matanya menajam, namun wajahnya tetap tenang. Ia menoleh sepintas.
Tapi kemudian Theo kembali berjalan—melewati pria tua dan Vanesha seperti angin dingin yang tak bisa dihentikan. Beberapa detik kemudian, suara pintu besar gedung itu terdengar menutup. Ia telah pergi.
Theo memasuki mobil Bentley hitam dengan plat khusus sudah menunggunya di depan hotel itu.
Setelah duduk, matanya kembali menatap ke luar jendela.
Wajah Alisha kembali terlintas di benaknya.
Tubuh yang bergetar. Air mata yang mengalir. Tatapan yang kosong.
Dan sebuah suara di kepalanya berbisik… Ia ingin mengulang kejadian semalam.
"huh..banyak gadis yang sudah aku tiduri, kenapa aku sekarang memikirkan gadis itu, aku memang gila," Theo menggelengkan kepalanya, bisa-bisanya pikiran itu muncul. Walaupun ia sudah biasa meniduri banyak wanita, tapi ia belum pernah melakukannya dengan gadis yang masih su ci Seperti Alisha.
*
Sementara itu, di dalam kamar…
Alisha perlahan menggeliat. Matanya terbuka perlahan. Sakit, kaku, dan panas… semua bercampur aduk. Pandangannya kabur, dan tubuhnya seperti tak punya tenaga.
Alisha duduk perlahan, memijat kepalanya yang pusing. Bahkan kakinya sulit untuk digerakkan.
Namun ia melihat secarik kertas dan kartu hitam di meja samping.
Tangan gemetar mengambilnya. Ia membaca tulisan di sana… dan saat nama “Theo Smith” tertangkap oleh matanya, tubuhnya seketika bergetar. Nafasnya tercekat.
Air mata jatuh lagi. Tapi kali ini bukan karena sakit… melainkan karena rasa asing yang menghantam hatinya. Saat mengingat kejadian semalam, ternyata Ia tidur dengan seorang pria asing. Itu nyata, bukan hanya mimpi belaka.
"Maafkan Alisha, ibu.. Alisha tidak bisa menjaga ke su ci an ini.. ?"