 
                            Kenzo Tanaka — penguasa bisnis raksasa, pria yang menganggap dunia hanyalah papan catur untuk egonya.
Namun pada puncak kejayaannya, langit menjatuhkan vonis: sebuah kecelakaan misterius menghancurkan segalanya.
Ketika membuka mata, Kenzo tak lagi berada di penthouse mewah Tokyo…
melainkan di tubuh seorang anak kecil bernama Kazuki, di sebuah desa miskin yang penuh lumpur dan kesederhanaan.
Dari CEO yang dipuja menjadi bocah tak berdaya — Kenzo harus menghadapi dunia yang sama sekali tak mengenalnya, dunia yang memaksanya belajar arti rendah hati, kehilangan, dan… penebusan.
Apakah ini hukuman Tuhan, atau kesempatan kedua?
Dan bisakah seorang pria yang terbiasa menjadi dewa, belajar menjadi manusia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eagle Ofgod, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 2 “Hari di Mana Ego Dicangkul”
..."Aku Kenzo Tanaka! Bukan Kazuki! Dan aku tidak makan bubur gandum!" Kenzo berteriak, suaranya pecah, tapi wanita yang mengaku ibunya itu, yang ia tahu bernama "Midori", hanya tersenyum maklum....
..."Tentu saja, Kazuki. Tapi perutmu pasti lapar. Ibu akan menambahkan sedikit madu liar agar lebih manis," kata Midori, tangannya dengan cekatan mengaduk bubur di mangkuk kayu....
...Kenzo mendengus. Madu liar? Ia terbiasa dengan madu Manuka kelas premium yang diimpor langsung dari Selandia Baru, bukan madu yang mungkin dikumpulkan dari sarang lebah di semak-semak. Ia mencoba memprotes lagi, tapi perutnya bergemuruh hebat, mengkhianati setiap kata-kata arogannya. Rasa lapar yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa lapar yang menusuk-nusuk....
...Midori meletakkan mangkuk bubur di depannya. Aroma hambar bubur gandum itu membuat Kenzo mual. Tapi tatapan penuh harap dari Midori, yang mengingatkannya pada salah satu *shareholder* kecil yang memohon dividen, membuatnya enggan menolak mentah-mentah. Dengan jijik, ia mengambil sendok kayu kasar itu....
...Satu suapan. Dua suapan....
..."Astaga, ini mengerikan," batin Kenzo. Rasanya seperti memakan bubur kertas dengan sedikit rasa tanah. Ia terbiasa dengan *sushi* kelas atas, *wagyu* yang meleleh di lidah, dan *macarons* dari butik terbaik Paris. Ini adalah penghinaan gastronomi....
...Namun, perlahan, rasa lapar menguasai. Ia menemukan dirinya melahap bubur itu dengan kecepatan yang memalukan. Selesai dalam hitungan menit, mangkuk kayu itu bersih tak bersisa. Ia merasa sedikit malu, tapi energi mulai kembali ke tubuh kecilnya....
..."Enak, Kazuki?" tanya Midori lembut, mengelus kepalanya....
...Kenzo ingin sekali menjawab, "Tentu saja tidak! Ini adalah makanan terburuk yang pernah aku makan!" Tapi yang keluar dari mulutnya adalah gumaman tak jelas, disertai anggukan kecil yang tak sengaja....
...Midori tertawa. "Lihat, Ibu tahu kau lapar. Sekarang, karena demammu sudah turun, bisakah kau membantu Ayah di ladang hari ini? Dia pasti senang melihatmu sudah sehat."...
...Membantu Ayah… di ladang? Kenzo hampir tersedak ludahnya sendiri. Ia, Kenzo Tanaka, yang tugas terakhirnya di luar ruangan adalah bermain golf di lapangan pribadi miliknya, kini harus mengolah tanah? Ini konyol....
..."Aku tidak bisa!" tolak Kenzo keras. "Aku tidak tahu apa-apa tentang ladang! Aku punya rapat, aku punya saham, aku punya…!"...
...Midori hanya tersenyum lagi. "Sudah lama kau tidak membantu, Kazuki. Tapi tidak apa-apa, Ayah akan mengajarimu. Dia pasti butuh bantuan. Panen sayuran musim gugur ini agak berat."...
...Tanpa menunggu persetujuan, Midori meraih tangannya yang mungil, dan menyeretnya keluar dari gubuk. Mata Kenzo terbelalak....
...Di luar, pemandangan yang ia lihat semakin memperkuat keputusasaannya. Bukan Tokyo yang megah, melainkan deretan gubuk serupa, ladang-ladang sederhana yang membentang, dan hutan lebat di kejauhan. Udara bersih, terlalu bersih. Tidak ada polusi, tidak ada klakson mobil, tidak ada keramaian kota....
...Ia melihat sekelompok anak-anak berlarian riang dengan pakaian compang-camping. Beberapa orang dewasa membungkuk di ladang, mencangkul tanah dengan alat yang terlihat kuno....
..."Selamat pagi, Kazuki!" sapa seorang pria paruh baya yang kekar, dengan janggut tipis dan kulit kecoklatan karena matahari, melambai dari ladang terdekat. Pria itu menunjuk ke sebuah cangkul kayu di sampingnya. "Kemarilah, Nak! Ajari Ayah cara menggali lobak hari ini!"...
...Kenzo merasa dunianya runtuh. Ini bukan mimpi. Ini nyata. Ia, Kenzo Tanaka, kini adalah seorang anak petani bernama Kazuki, di sebuah desa antah berantah, dan disuruh mencangkul lobak. Harga dirinya hancur berkeping-keping....
..."Ini tidak bisa dibiarkan," bisik Kenzo pada dirinya sendiri. "Aku harus keluar dari sini. Aku harus kembali. Atau lebih baik lagi… aku akan menguasai tempat ini! Aku akan menjadi Kenzo Tanaka lagi! Aku akan menjadi kaya raya!"...
...Tekad itu, meskipun dibalut ego dan kesombongan, adalah satu-satunya percikan yang tersisa dari dirinya yang lama....
...Kenzo menatap cangkul kayu di hadapannya. Alat itu tampak primitif, berat, dan sama sekali tidak ergonomis. Di dunia asalnya, dia hanya perlu menyentuh layar, dan traktor otomatis akan melakukan semua pekerjaan ini dalam hitungan menit. Tapi di sini? Di sini, ia harus menggunakan otot-otot mungilnya....
..."Ayo, Nak! Jangan melamun terus!" Pria paruh baya itu, yang kini ia tahu adalah "Ayah"-nya, sebut saja Haru, menyeringai ramah. "Tanganmu pasti sudah gatal ingin membantu!"...
...Kenzo merasakan tangannya memang gatal, tapi bukan karena ingin membantu. Ia gatal ingin menampar wajah Haru dengan tumpukan uang. "Aku tidak pernah 'menggaruk' tanah, aku menggaruk keuntungan!" batin Kenzo pedih....
..."Lihat ini, Kazuki," Haru melanjutkan, mendemonstrasikan cara mencangkul dengan gerakan yang mulus dan efisien. "Kaki kiri di depan, punggung lurus, ayunkan cangkul, tarik ke belakang, dan dorong. Seperti ini. Mudah, kan?"...
...Mudah? Bagi seorang Kenzo Tanaka, "mudah" adalah ketika dia menandatangani cek, bukan ketika dia menggali lumpur. Dengan enggan, Kenzo mengambil cangkul itu. Beratnya jauh melebihi dugaannya. Ia hampir terjengkang ke belakang....
..."Ups! Kekuatanmu masih kurang, Nak!" Haru tertawa. "Tidak apa-apa, butuh latihan."...
...Kenzo mengabaikan rasa malunya. Ia mengambil posisi seperti yang Haru tunjukkan. Kaki kiri di depan, punggung mencoba lurus (meski tubuhnya terlalu pendek), dan ayunkan cangkul....
...*Plak!*...
...Cangkul itu tidak mengenai tanah. Malah mengenai kakinya sendiri. Kenzo meringis, menahan pekikan....
..."Hati-hati, Kazuki!" Haru tertawa lebih keras. "Jangan sampai melukai dirimu sendiri!"...
...Kenzo mencoba lagi. Kali ini, ia berhasil mengayunkan cangkul ke tanah. Tapi alih-alih mencangkul, ia justru mencabut gumpalan rumput dan melemparkannya ke wajahnya sendiri. Lumpur menempel di pipinya....
..."Ugh, menjijikkan!" gumam Kenzo, mencoba membersihkan wajahnya dengan tangan kotor....
...Haru, masih geli, mendekat dan membantunya membersihkan lumpur. "Sudah lama tidak mencangkul, ya? Ingatanmu memang agak lemah sejak demam." Ia mengambil cangkul dari tangan Kenzo. "Bagaimana kalau kau bantu mengambil lobak saja? Itu lebih mudah. Cukup cabut dari tanah."...
...Kenzo merasa harga dirinya terinjak-injak. Dari seorang CEO yang mengelola ribuan karyawan, kini ia direduksi menjadi seorang anak kecil yang bahkan tidak bisa mencangkul, dan hanya bisa "mencabut lobak". Ini adalah degradasi yang tak termaafkan....
...Namun, ia melihat Haru kembali ke pekerjaannya dengan gerakan yang terampil. Ada rasa bangga dalam setiap ayunan cangkul itu, kebanggaan seorang pekerja keras yang menghasilkan makanan....
...Kenzo menunduk. Ia mulai mencari lobak-lobak merah yang menyembul dari tanah. Dengan jari-jari mungilnya, ia menarik satu lobak. Sulit. Akar-akarnya mencengkeram kuat. Ia harus mengerahkan seluruh tenaganya....
...*Croot!*...
...Lobak itu akhirnya tercabut, membawa serta gumpalan tanah yang...
......
 
                     
                    