NovelToon NovelToon
Kelahiran Kedua

Kelahiran Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Ketos / Dosen / Spiritual / Reinkarnasi / Iblis
Popularitas:369
Nilai: 5
Nama Author: 62maulana

Bagi BIMA, kehidupan sebagai anak SMA adalah kesempatan kedua yang ia dambakan. Setelah tewas dalam sebuah perang surgawi yang brutal, menjadi manusia biasa dengan masalah biasa adalah sebuah kemewahan. Ia hanya ingin satu hal: kedamaian. Lulus sekolah, punya teman, dan melupakan gema pertumpahan darah yang pernah mewarnai keabadiannya.
Tetapi, SMA Pelita Harapan, sekolah elit tempatnya bernaung, bukanlah tempat yang normal. Di balik kemewahan dan prestasinya yang gemilang, sekolah ini berdiri di atas tanah dengan energi gaib yang bocor, memberikan kekuatan super kepada segelintir siswa terpilih.
ADHITAMA dan gengnya, sang penguasa sekolah, menggunakan kekuatan ini untuk memerintah dengan tangan besi, menciptakan hierarki penindasan di antara para siswa. Selama ini, Bima selalu berhasil menghindar dan tidak menarik perhatian.
Hingga suatu hari, sebuah insiden di kantin memaksanya untuk turun tangan. Dalam sekejap, ia tak sengaja menunjukkan secuil kekuatan dewa miliknya—kekuatan yang kuno, absolut, dan jauh berbeda dari kekuatan mentah milik Adhitama. Tindakannya tidak membuatnya disegani, melainkan menyalakan alarm di telinga sosok yang jauh lebih berbahaya: sang dalang misterius yang selama ini mengamati dan mengendalikan para siswa berkekuatan.
Kini, Bima terseret kembali ke dalam dunia konflik yang mati-matian ingin ia lupakan. Di hadapkan pada pilihan sulit: haruskah ia kembali membangkitkan dewa perang dalam dirinya untuk melindungi teman-teman barunya, atau tetap bersembunyi dan membiarkan kekuatan gelap menguasai satu-satunya tempat yang ia sebut rumah?
Karena kedamaian, ternyata, adalah kemewahan yang harus ia perjuangkan sekali lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 62maulana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ruang paling atas

Ruang Kepala Sekolah berada di lantai paling atas gedung utama, sebuah tempat yang terasa terisolasi dari hiruk pikuk seluruh sekolah. Saat aku berjalan menyusuri koridor yang sepi, langkah kakiku sendiri terdengar terlalu keras. Aku tidak suka ini. Perhatian adalah hal terakhir yang kuinginkan, dan dipanggil ke ruangan ini adalah bentuk perhatian paling puncak.

Pintunya terbuat dari kayu jati yang berat. Aku mengetuk dua kali.

"Masuk," sebuah suara tenang menjawab dari dalam.

Aku mendorong pintu dan melangkah masuk. Ruangan itu luas dan rapi. Jauh dari kesan kantor sekolah yang penuh tumpukan berkas. Hanya ada meja mahoni besar, rak buku yang tertata sempurna, dan jendela raksasa yang menyajikan pemandangan kota dari ketinggian. Di balik meja itu, duduk seorang pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih di pelipisnya. Pak Tirtayasa. Kepala Sekolah.

Senyumnya ramah, tapi tidak sampai ke matanya. Matanya tajam, mengamatiku seolah aku adalah spesimen menarik di bawah mikroskop. Dia menunjuk kursi di depan mejanya.

"Silakan duduk, Bima."

Aku duduk. Aku tidak mengatakan apa-apa. Dalam situasi seperti ini, pihak yang lebih dulu bicara biasanya akan menunjukkan kartunya lebih dulu. Aku sudah melewati ribuan negosiasi dan interogasi. Aturannya selalu sama.

Pak Tirtayasa menautkan jari-jarinya di atas meja. "Kamu tahu kenapa saya panggil ke sini?"

"Saya tidak yakin, Pak," jawabku, menjaga suaraku tetap datar.

"Saya dengar ada sedikit keributan di kantin kemarin," katanya, nadanya santai, seolah sedang membahas cuaca. "Melibatkan Adhitama dan teman-temannya."

"Hanya salah paham kecil, Pak. Sudah selesai," kataku.

"Oh, saya tidak ragu itu sudah selesai," balasnya, dan senyumnya sedikit melebar. "Adhitama bukan anak yang pendendam. Tapi saya lebih tertarik pada bagaimana itu selesai. Menurut laporan beberapa siswa, kamu menghentikan pukulan Adhitama dengan satu tangan. Tanpa bergerak sama sekali. Itu cukup mengesankan untuk anak seusiamu."

Ini jebakan. Dia sedang mengujiku. Dia ingin melihat reaksiku. Aku mengangkat bahu sedikit, mencoba terlihat biasa saja.

"Mungkin Adhitama tidak memukul sekuat itu, Pak."

Pak Tirtayasa tertawa kecil. Tawa yang tidak terdengar tulus. "Mungkin saja. Tapi itu membawa saya ke topik lain. Bima, saya sudah melihat nilaimu. Rata-rata. Tidak menonjol, tapi tidak buruk. Kamu tidak ikut ekstrakurikuler apa pun. Di kelas, kamu lebih banyak diam. Kamu seperti berusaha keras untuk tidak terlihat."

Jantung versi manusiaku berdebar sedikit lebih cepat. Dia melihat polanya.

"Saya hanya ingin fokus belajar, Pak," jawabku, menggunakan alasan paling klise yang bisa kupikirkan.

"Fokus itu bagus," katanya, tubuhnya sedikit condong ke depan. "Tapi Pelita Harapan bukan sekolah untuk siswa rata-rata. Kami mencari bakat. Kami mencari potensi yang tersembunyi. Dan saya rasa, kamu punya potensi itu, Bima. Potensi yang sangat besar."

Dia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung di udara. Lalu, dia mengajukan pertanyaan yang membuatku sadar bahwa ini bukan lagi percakapan biasa.

"Menurutmu, apa itu kekuatan, Bima?"

Aku diam. Pertanyaan ini terlalu aneh untuk datang dari seorang kepala sekolah. Ini bukan lagi interogasi tentang perkelahian di kantin. Ini adalah tes.

"Kekuatan untuk apa, Pak?" aku balik bertanya.

"Kekuatan secara umum. Kekuatan untuk mengubah keadaan. Kekuatan untuk memimpin. Kekuatan untuk memastikan segalanya berjalan sesuai keinginanmu," jelasnya. Matanya bersinar dengan intensitas yang aneh.

"Saya tidak pernah memikirkannya," jawabku bohong. Aku menghabiskan ribuan tahun memikirkannya.

"Kalau begitu, coba pikirkan sekarang," desaknya. "Lihat Adhitama. Dia punya sedikit kekuatan, dan dia menggunakannya untuk hal-hal sepele. Menindas adik kelas. Pamer. Dia seperti anak kecil yang diberi pistol mainan. Tapi bayangkan jika kekuatan itu ada di tangan orang yang tepat. Orang yang punya visi. Orang yang dewasa."

Sekarang aku mengerti. Dia bukan hanya tahu tentang siswa berkekuatan. Dia yang mengaturnya. Adhitama dan gengnya bukan anomali. Mereka adalah bagian dari sebuah sistem.

"Saya tidak tahu harus berkata apa, Pak."

"Tidak perlu berkata apa-apa." Pak Tirtayasa bersandar kembali ke kursinya, senyumnya kembali normal, seolah percakapan aneh tadi tidak pernah terjadi. "Saya hanya ingin mengenal siswa-siswa saya lebih baik. Terutama mereka yang punya 'bakat' istimewa."

Dia sengaja menekankan kata 'bakat'. Sebuah kode.

"Kami punya program khusus di sini untuk siswa seperti itu. Program pengembangan potensi. Untuk memastikan bakat mereka tidak terbuang sia-sia untuk hal-hal seperti keributan di kantin."

Ini dia. Perekrutan. Tawaran yang tidak bisa kutolak.

"Saya akan memikirkannya, Pak," kataku, sebuah jawaban netral untuk mengakhiri percakapan ini.

"Bagus." Pak Tirtayasa berdiri, menandakan pertemuan selesai. "Pintu saya selalu terbuka, Bima. Jika kamu merasa ingin melakukan sesuatu yang lebih berarti daripada sekadar menjadi siswa rata-rata, kamu tahu di mana harus mencari saya."

Aku mengangguk, berdiri, dan berjalan keluar dari ruangan itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi. Pintu kayu itu tertutup di belakangku, dan aku bisa merasakan tatapan Pak Tirtayasa masih menembus punggungku.

Aku berjalan menyusuri koridor, kali ini dengan pikiran yang berkecamuk.

Ini bukan lagi tentang Adhitama. Ini bukan lagi tentang geng sekolah. Aku baru saja bertemu dengan sang dalang. Dan dia tidak hanya tahu aku punya kekuatan, dia juga menginginkanku untuk bergabung dengannya.

Kedamaian yang kucari terasa semakin jauh. Masalah ini jauh lebih besar dari yang pernah kubayangkan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!