Velora, dokter muda yang mandiri, tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah hanya karena satu janji lama keluarga. Arvenzo, CEO arogan yang dingin, tiba-tiba menjadi suaminya karena kakek mereka dulu membuat perjanjian yakni cucu-cucu mereka harus dijodohkan.
Tinggal serumah dengan pria yang sama sekali asing, Velora harus menghadapi ego, aturan, dan ketegangan yang memuncak setiap hari. Tapi semakin lama, perhatian diam-diam dan kelembutan tersembunyi Arvenzo membuat Velora mulai ragu, apakah ini hanya kewajiban, atau hati mereka sebenarnya saling jatuh cinta?
Pernikahan paksa. Janji lama. Ego bertabrakan. Dan cinta? Terselip di antara semua itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Fitting baju pengantin
Pagi itu, Velora terbangun dengan kepala berat. Meski tidur cukup, pikirannya kacau setelah makan malam semalam di rumah keluarga Arvenzo. Dua minggu lagi, hidupnya akan berubah drastis. Dua minggu lagi, ia akan menjadi calon pengantin seorang pria yang baru ia kenal secara resmi semalam, Arvenzo Wardhana.
Pesan singkat dari Arvenzo masih terngiang di kepalanya. “Aku akan menjemputmu. Jangan terlambat.” Nada dingin, kaku, tegas. Bahkan hanya membaca kata-kata itu, Velora merasakan detak jantungnya meningkat.
Ia menarik selimut lebih erat, mencoba menenangkan diri. Pikiran tentang kurang dari dua minggu lagi memenuhi kepalanya. Bagaimana ia harus bersikap di hadapan pria yang dingin, kaku, dan tampak selalu mengendalikan setiap situasi? Bagaimana jika ia salah bicara atau salah bertindak?
Dengan langkah perlahan, Velora bangun, mandi, dan bersiap mengenakan pakaian yang nyaman untuk perjalanan ke butik. Ia memilih setelan sederhana, longgar, tapi tetap rapi. Momen ini terasa aneh... ia seorang dokter spesialis penyakit dalam, terbiasa menyelamatkan nyawa dan mengambil keputusan penting setiap hari, namun hari ini, ia harus tunduk pada urusan pribadi yang terasa begitu asing dan menegangkan.
Mobil hitam berhenti tepat di depan rumah Velora, Arvenzo sudah menunggu berdiri dengan setelan jas hitam rapi, rambut tersisir sempurna, wajah tetap dingin, tatapan menusuk.
“Siap?” suaranya pendek, dingin, tanpa basa-basi.
Velora menelan ludah. “Ya, aku siap.”
Selama perjalanan, mobil melaju di jalan-jalan yang mulai sibuk. Lampu lalu lintas berubah-ubah, suara klakson dan kendaraan lain terdengar samar. Velora menatap jalan di luar jendela, mencoba menenangkan pikiran yang kacau.
Arvenzo menyetir dalam diam, pandangan kadang menatap lurus ke depan, kadang sekilas menoleh padanya. Velora merasa diawasi setiap saat. Rasa frustrasi, penasaran, dan sedikit kagum bercampur. Pria ini benar-benar menegaskan dominasi dan ketegasannya, namun tetap memperhatikan batasan.
Velora menelan ludah. Ia sadar, sebentar lagi bukan hanya soal janji keluarga ini juga soal belajar menghadapi Arvenzo pria yang sulit ditebak, dingin, dan tegas.
Butik Diana, adik dari Mela ibu Arvenzo menyambut mereka dengan interior hangat dan mewah. Aroma parfum lembut dan lilin yang menyala memberikan kesan elegan dan nyaman. Rak-rak gaun pengantin tersusun rapi, tirai sutra berjatuhan, cermin besar memantulkan cahaya lembut, dan musik klasik mengalun pelan.
“Selamat pagi, Arven, Velora! Senang akhirnya bisa bertemu langsung. Kamu terlihat cantik sekali,” sapa Diana dengan senyum hangat.
Velora tersipu, merasa gugup. “Terima kasih, Tante...”
“Aduh cantiknya kamu ini, coba saja anak Tante yang cowok sudah dewasa, pasti Tante akan jodohkan sama kamu daripada sama pria kulkas itu," bisik Diana terkikik pelan. Velora hanya menanggapi dengan senyuman.
"Yuk, langsung ke ruang ganti,” ajak Diana.
Arvenzo tetap diam, wajah kaku, tangan disilangkan di atas dada. “Kamu tahu aturan,” katanya singkat. “Saya ingin semuanya cepat dan tepat!”
Velora menelan ludah, sadar bahwa pria ini tidak main-main.
Velora mencoba gaun pertama, klasik, putih, elegan, namun bagian dada terlalu rendah. Ia memutar tubuh di depan cermin, menatap bayangan dirinya, merasa canggung.
“Ini... terlalu terbuka,” gumamnya pelan.
Arvenzo menatap lurus ke gaun itu. “Setuju. Tidak pantas,” jawabnya dingin.
Diana tersenyum lembut. “Tidak masalah. Masih banyak pilihan, Velora. Kita bisa cari yang lebih elegan dan nyaman.”
Velora mengangguk, mencoba menenangkan diri.
Gaun kedua memiliki punggung terbuka lebar. Velora menatap cermin, menarik napas.
Arvenzo mencondongkan kepala sedikit. “Bagian belakang terlalu terbuka. Tidak cocok, ganti!”
Velora menghela napas panjang. “Aku tidak terbiasa dengan gaun pengantin modern seperti ini.”
Diana menepuk pundaknya. “Tenang, Velora. Kita akan temukan yang tepat. Kamu tetap terlihat menawan.”
Proses fitting berlangsung lama. Setiap gaun yang dicoba Velora, Arvenzo memberi komentar singkat tapi tegas, terlalu rendah, terlalu terbuka, terlalu berlebihan. Velora merasa frustrasi tapi mulai penasaran bagaimana pria ini menilai, bagaimana ia menegaskan standar, dan mengapa ketegasan itu membuatnya merasa diawasi tapi tetap dihormati.
Velora mencoba gaun ketiga terlalu berlapis, terlihat lebih tua dari usianya. Arvenzo mengangguk singkat: “Terlalu formal dan vintage. Tidak sesuai.”
Diana tersenyum lembut. “Tenang, Velora. Masih ada beberapa pilihan. Aku yakin kita akan menemukan yang tepat. kamu tetap cantik, percayalah.”
Gaun keempat kombinasi elegan, sopan, menonjolkan siluet tubuh tapi menutup bagian yang sensitif. Velora merasa nyaman.
Arvenzo menatapnya sesaat. “Bagus,” katanya singkat. Ekspresinya dingin tapi setuju.
Diana menepuk bahu Velora. “Lihat? Tante bilang kamu akan terlihat menawan. Percaya diri saja.”
Sepanjang proses, Arvenzo tetap dingin, kaku, tapi memperhatikan setiap detail, cara Velora bergerak, ekspresi wajahnya, reaksi terhadap gaun, dan bagaimana ia menyesuaikan diri. Velora mulai merasa sedikit penasaran mengapa pria ini begitu tegas namun tetap menghormati batasannya?
Velora menatap Arvenzo. “Apakah kamu benar-benar setuju dengan gaun ini?”
Arvenzo menatap lurus, menahan ekspresi. “Cukup memuaskan. Tidak ada yang perlu diubah.”
Velora menelan ludah, merasa lega tapi juga canggung. Di ruang ganti, ia menatap bayangan dirinya di cermin. Ia menarik napas panjang. Kurang dari dua minggu lagi akan menjadi ujian nyata, belajar menghadapi Arvenzo, menjalani perjodohan, dan menyesuaikan diri dengan kehidupan baru.
Velora menyadari satu hal, meski Arvenzo dingin dan kaku, ia menegaskan aturan tanpa kasar, memperhatikan batasan, dan memastikan semua berjalan sesuai aturan. Ia tidak tahu apakah itu akan membuat hidupnya lebih mudah atau lebih sulit, tapi satu hal jelas Arvenzo akan selalu ada, mengawasi, menegaskan, dan menuntut kepatuhan.
Diana menepuk pundak Velora. “Selesai! kamu terlihat sempurna. Tante yakin keluarga akan menyukai pilihan ini.”
Velora tersenyum tipis, dan mengangguk pelan.
...****************...
Velora menghela napas panjang begitu mobil melaju keluar dari butik. Ruang fitting yang elegan dan hangat kini digantikan oleh hiruk-pikuk jalanan kota. Ia menatap keluar jendela, mencoba menenangkan pikirannya. Tangannya masih terasa hangat akibat sentuhan kain gaun yang baru dicoba dan detik demi detik, ia merasakan kenyataan hari pernikahannya semakin dekat.
Arvenzo tetap diam, menyalakan mobil dengan tenang. Tatapannya sesekali menoleh padanya, dingin, kaku, seolah menegaskan posisi dominannya.
“Kita akan ke restoran,” katanya akhirnya, suara rendah tapi tegas. “Kamu lapar?”
Velora menelan ludah. “Ya... sedikit.” Ia mencoba terdengar santai, padahal perasaan campur aduk. Fitting baju pengantin, komentar Arvenzo yang dingin, dan fakta bahwa ia akan menikah dengan pria ini membuatnya hampir tidak bisa berpikir jernih.
Mobil berhenti di depan restoran mewah, dan mereka turun. Arvenzo membuka pintu untuk Velora, tetap menahan ekspresi dinginnya. Velora menatapnya sejenak, merasa terganggu sekaligus penasaran pria ini selalu menjaga jarak emosional, namun selalu berada tepat di sisinya.
Mereka duduk di meja pojok restoran yang tenang. Pelayan segera datang, membawa menu dan menawarkan rekomendasi spesial. Velora memesan salad ringan, sedangkan Arvenzo memesan steak medium rare.
Sementara menunggu pesanan, suasana di meja terasa hening. Velora menatap tangannya sendiri, jantungnya masih berdebar setelah fitting tadi. Ia mencoba menenangkan diri dengan mengulang urutan acara di kepala, fitting, pilihan gaun, komentar Arvenzo yang tegas tapi diam-diam memperhatikan.
Arvenzo tiba-tiba memecah keheningan. “Velora...”
Velora menoleh, sedikit terkejut oleh nada seriusnya. “Ya?”
Dia mencondongkan tubuh ke depan, menatap lurus ke matanya. “Kamu sudah memutuskan kekasih mu itu?”
Velora terdiam. Jantungnya serasa berhenti sejenak. “Apa maksudmu?” suaranya terdengar gemetar meski berusaha terdengar tenang.
Arvenzo menatapnya tajam, kaku, wajahnya tetap dingin. “Siapa lagi kalau Ethan, kekasihmu itu! Dengarkan baik-baik, Velora... saya tidak ingin pacarmu itu jadi masalah suatu hari nanti. Jangan sampai dia menjadi boomerang yang membuat keluargaku malu!”
Velora menelan ludah, merasa seluruh tubuhnya tegang. Ia tidak menyangka Arvenzo akan mengingatkan hal ini lagi, dan nada suaranya tidak memberi ruang untuk debat.
“Arvenzo... aku masih… tidak tahu harus bagaimana,” jawabnya perlahan, berusaha menahan gemetar.
Arvenzo tetap menatapnya tanpa mengalihkan pandangan. “Kurang dua minggu lagi kita menikah. Saya tidak ingin ada rahasia atau ketidakjelasan yang bisa merusak segalanya. Kamu harus membuat keputusan. Sekarang! Sebelum semua ini menjadi lebih rumit.”
Velora menarik napas panjang. Kata-kata Arvenzo menekan pikirannya, membuatnya merasa tidak ada ruang untuk kesalahan. Ia tahu ia harus jujur, tapi hati kecilnya masih terikat pada Ethan. Namun di sisi lain, ia menyadari realitas yang dihadapinya, janji keluarga, posisi Arvenzo, dan fakta bahwa mereka akan menikah segera.
“Aku butuh waktu sebentar,” akhirnya Velora berani berkata, meski suaranya terdengar lirih.
Arvenzo mengangguk, tetap kaku dan dingin. “Saya beri waktu, tapi ingat... setiap hari yang kamu tunda, berarti risiko untuk keluargamu bertambah. Saya tidak menuntut perasaanmu, hanya kepastian. Jangan sampai kesalahan kecil menimbulkan masalah besar di kemudian hari.”
Velora mengangguk perlahan. Rasa tegang di dadanya semakin terasa. Ia menatap Arvenzo yang duduk di seberangnya kaku, dingin, tegas, dan penuh dominasi. Meski kata-katanya tajam, ada sesuatu dalam caranya menegaskan aturan yang membuat Velora merasa ia harus menyesuaikan diri.
Pelayan datang membawa pesanan mereka. Velora mengambil sendok salad dan mencoba mengalihkan pikirannya sejenak dengan makanan. Tapi matanya terus menatap Arvenzo, yang dengan tenang memotong steaknya.
Suasana di meja terasa hening, tegang, dan anehnya, membuat Velora merasa ia benar-benar berada di dunia baru yang belum pernah ia alami, dunia di mana keputusan pribadinya diawasi, dinilai, dan ditegaskan oleh seorang pria yang dingin tapi tak bisa diabaikan.
Setiap gigitan terasa berat. Pikiran Velora terbang ke Ethan di Kanada, memikirkan bagaimana ia akan menjelaskan keadaan ini. Tetapi di sisi lain, tatapan Arvenzo yang tajam seakan berkata bahwa tidak ada alasan untuk menunda keputusan lebih lama lagi.
Velora menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia tahu, makan siang ini bukan sekadar waktu untuk makan, ini adalah awal dari fase baru dalam hidupnya, di mana ia harus menghadapi Arvenzo, membuat keputusan sulit tentang Ethan, dan menyiapkan diri menghadapi pernikahan yang semakin dekat.
Arvenzo meneguk air mineralnya, menatapnya sekali lagi, dingin, kaku, tanpa senyum. “Pikirkan baik-baik, Velora. Keputusanmu hari ini akan menentukan bagaimana dua minggu ke depan berjalan. Jangan sampai keluarga saya malu karena ketidakjelasan atau kesalahan kecil!”
Velora mengangguk lagi, kali ini lebih tegas. Dalam hatinya, ia berjanji untuk berpikir matang tidak terburu-buru, tapi juga tidak menunda. Dua minggu ke depan akan menjadi titik balik hidupnya, dan ia harus siap menghadapi semua konsekuensinya.
Seorang dokter iya profesinya, istri statusnya sekarang jadi perawat dengan pasien suaminya sendiri🤭🤭