NovelToon NovelToon
KETUA OSIS CANTIK VS KETUA GENG BARBAR

KETUA OSIS CANTIK VS KETUA GENG BARBAR

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Ketos / Nikahmuda / Pernikahan Kilat / Cinta Seiring Waktu / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: Musoka

Ketua OSIS yang baik hati, lemah lembut, anggun, dan selalu patuh dengan peraturan (X)
Ketua OSIS yang cantik, seksi, liar, gemar dugem, suka mabuk, hingga main cowok (✓)

Itulah Naresha Ardhani Renaya. Di balik reputasi baiknya sebagai seorang ketua OSIS, dirinya memiliki kehidupan yang sangat tidak biasa. Dunia malam, aroma alkohol, hingga genggaman serta pelukan para cowok menjadi kesenangan tersendiri bagi dirinya.

Akan tetapi, semuanya berubah seratus delapan puluh derajat saat dirinya harus dipaksa menikah dengan Kaizen Wiratma Atmaja—ketua geng motor dan juga musuh terbesarnya saat sedang berada di lingkungan sekolah.

Akankah pernikahan itu menjadi jalan kehancuran untuk keduanya ... Atau justru penyelamat bagi hidup Naresha yang sudah terlalu liar dan sangat sulit untuk dikendalikan? Dan juga, apakah keduanya akan bisa saling mencintai ke depannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perjodohan

Happy reading guys :)

•••

Bel pertanda pulang sekolah Batara Senior High School berbunyi, membuat para guru yang sedang asyik mengajar di setiap kelas seketika menghentikan aktivitasnya, lantas segera mempersilahkan siswa-siswi untuk pulang ke rumah masing-masing setelah mengucapkan terima kasih kepada sang pencipta atas semua ilmu yang didapat pada hari ini.

Di dalam ruangan kelas XI MIA 1, terlihat sosok Naresha tengah mengukir senyuman manis penuh kebahagiaan seraya bangun dari tempat duduknya—menggendong tas sekolah dan mulai merapikan seragam yang terlihat sedikit berantakan serta kusut.

Begitu seragam sekolahnya sudah cukup rapi untuk ukuran dirinya yang perfeksionis, Naresha mengalihkan pandangan ke arah kanan, menatap kedua sahabatnya yang masih sibuk merapikan barang bawaan masing-masing.

Naresha menyandarkan tubuh sejenak ke meja belajar sambil memainkan tali tas di tangan kanan. “Buruan, ah. Gue harus siap-siap biar nanti malam nggak telat.”

Nayla yang tengah sibuk memeriksa barang-barangnya di dalam tas seketika mengalihkan pandangan ke arah Naresha seraya sedikit mengerutkan kening. “Telat ke mana? Emangnya nanti malam lu ada janji?"

Thalita melirik sekilas ke arah Naresha, lantas dengan cepat mengambil botol minum dari laci mejanya. “Jangan bilang … nanti malam lu mau keluar sama si ‘New Baby’ itu?”

“Yup … tebakan lu itu bener banget, Sayang. Gue udah ada janji sama dia … dan gue pastiin bikin dia semakin susah move on dari gue ke depannya,” jawab Naresha, sembari mengukir senyuman penuh kemenangan hingga menunjukkan lesung pipinya.

Nayla menutup resleting tas setelah memastikan semua barang bawaannya telah tersusun rapi di dalam sana, lalu segera berdiri dan mulai merapikan seragam sekolah yang sedikit berantakan. “Itu cowok yang mana, sih, Sa? Yang anak kuliahan sama bapaknya pengacara itu, kah?”

“Bukan, dong,” jawab Naresha, sambil menggeleng-gelengkan kepala pelan, “Yang itu udah gue blacklist sejak dia ngasih bunga plastik buat anniversary bulanan. Come on, masa iya cewek secantik gue cuma dikasih bunga plastik? … Secara orang tuanya kaya banget sampai bisa liburan ke luar negeri setiap minggu.”

Thalita tertawa geli dan mulai bangun dari atas tempat duduknya. “Aduh, sumpah, Sa. Lu itu benar-benar kombinasi antara savage sama royal vibes … Gue yakin itu cowok sekarang pasti trauma banget sama cewek seksi kayak lu.”

Naresha mengangkat alis dengan mengukir ekspresi penuh rasa bangga. “Ya … bagus, dong. Biar jadi pelajaran buat dia … kalau cewek kayak gue itu butuh effort, bukan asal-asalan kalau ngasih hadiah anniversary.”

Nayla yang telah selesai merapikan seragam sekolahnya sontak melipat kedua tangan di depan dada sembari menatap Naresha dengan ekspresi setengah kagum serta heran. “Oke, terus sekarang ini siapa? Setidaknya kasih clue sedikit buat gue sama Lita … biar kami berdua bisa bantuin lu, kalau lu udah ngerasa bosan sama dia nantinya.”

Naresha terkekeh pelan saat mendengar kalimat Nayla yang terdengar sangat mengenalnya di luar maupun dalam. “Oke. Nggak usah clue-clue-an, langsung gue spill aja … dia itu anak Mahardika utama dan ngambil jurusan manajemen.”

Thalita sedikit mengerutkan kening, berusaha mengingat seorang cowok yang dulu pernah dekat dengan Naresha dari kampus itu. “Aaa … si Gavin bukan, sih, Sha?”

Naresha menjentikkan jari ke arah Thalita seraya mengukir senyuman manis penuh dengan gaya. “Seratus buat lu, Tha! Gavin Raksa Nugraha … Cowok yang dulu pernah gue tinggalin gara-gara dia terlalu clingy dan posesif.”

Nayla menggeleng-geleng pelan kala mendengar jawaban yang telah Naresha berikan. “Gue kira lu bakal blacklist cowok clingy itu, Sa … tapi ternyata malah lu buat uji coba lagi.”

“Apa jangan-jangan lu balik ke Gavin karena pengin ngetes soal clingy-nya masih level dewa atau udah berubah jadi level iblis?” timpal Thalita dengan sangat cepat.

Naresha sedikit mengangkat kedua bahu seraya sedikit mengusap lembut pipi kirinya yang terasa gatal. “Yap, mungkin bisa dibilang kayak gitu … tapi selain itu, gue juga mau lihat apakah dia bisa nahan pesona gue sekarang.”

Thalita memutar bola mata cukup malas. “Oke, Midnight Queen. Semoga malam ini berjalan dengan lancar dan gue sama Nayla nggak perlu ikut campur.”

“Tenang, Sayang. Gue janji malam ini cuma dinner ringan, ngobrol santai, terus pulang dengan kepala tenang dan penuh kebahagiaan …,” ucap Naresha, sembari mengambil handphone dari dalam saku blazer dan segera mengecek layar, “Dia udah chat. Katanya jam delapan dia jemput gue di depan Lovita café.”

Nayla sedikit mengangkat alis. “Bukan di rumah lu?”

Naresha menggeleng sambil menaruh kembali handphone ke tempat semula. “Gue nggak mau bikin nyokap-bokap mikir yang nggak-nggak. Lagian … dia belum naik level buat diajak sampai depan rumah.”

Mendengar hal itu, Nayla dan Thalita spontan saling pandang beberapa saat—mereka tahu betul, kalau seorang cowok masih menjemput Naresha di luar rumah, berarti posisi cowok itu masihlah dalam masa percobaan dan kemungkinan besar akan menjadi boneka mainan.

“Good luck, Sa,” ucap Nayla, menepuk pundak sahabatnya itu pelan sebelum memberikan kode untuk berjalan keluar dari dalam kelas yang sudah sangat sepi.

Naresha mengangguk pelan dan mulai melangkahkan kaki keluar dari dalam kelas bersama kedua sahabatnya itu.

Sepanjang perjalanan, ketiga gadis berparas cantik itu mengobrol serta bercanda ria secara bersama-sama guna menghilangkan rasa sunyi dan bosan yang mulai melanda serta menyelimuti tubuh mereka.

Ketika sedang asyik mengobrol serta bercanda, Naresha tanpa sadar menabrak seseorang yang sedang berjalan dari arah berlawanan, membuat dirinya sontak terjatuh di atas lantai koridor sekolah sambil merintih kesakitan.

“Aduh, pantat gue lama-lama bisa rusak kalau terus-terusan jatuh kayak gini,” gumam Naresha, mengelus lembut pantatnya seraya mendongakkan kepala untuk melihat sosok orang yang telah bertabrakan dengannya, “Lu lagi!”

Naresha segera bangun dari posisi jatuhnya, kemudian merubah tatapan menjadi begitu tajam ketika melihat sosok Kaizen tengah berdiri di hadapannya dengan mengukir ekspresi yang sangat sulit untuk diartikan.

“Jalan yang bener, jangan kebanyakan bercanda … kasihan orang lain yang harus tabrakan sama lu,” kata Kaizen, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana.

“Lu seharusnya bilang gitu ke diri sendiri! Dari tadi terus-terusan nabrak gue! Lu sengaja, kan? Ngaku lu?” bentak Naresha—suasana hatinya berubah begitu sangat cepat ketika melihat wajah serta mendengar perkataan Kaizen—dengan kedua pipi putihnya perlahan-lahan mulai berubah menjadi merah padam.

Kaizen menghela napas panjang beberapa kali. “Buat apa juga gue nabrakin diri ke lu? Nggak ada untungnya sama sekali … yang ada badan gue sakit semua gara-gara lu itu berat.”

“Sialan! Mana ada gue berat!” Naresha menggerakkan tangan kanan ke wajah tampan Kaizen untuk mendaratkan sebuah tamparan di sana, tetapi tidak berhasil lantaran cowok itu dengan sangat mudah menahan serta sedikit mencengkeram tangannya. “Lepasin tangan gue! Gue nggak sudi dipegang-pegang sama lu, Kaizen!”

Kaizen mengabaikan perintah dari Naresha, kemudian mengalihkan pandangan ke arah tempat Nayla dan Thalita yang sedari tadi hanya diam sambil memasang ekspresi wajah penuh akan kewaspadaan. “Kalian berdua kenapa betah temenan sama ini anak, dah? Gue yang ketemu beberapa menit aja udah nggak betah sama sekali.”

Nayla dan Thalita saling melirik beberapa saat, lantas kembali mengalihkan pandangan ke arah tempat Kaizen beserta Naresha berada tanpa mengatakan apa-apa.

“Kaizen! Lepasin tangan gue!” seru Naresha, berusaha melepas tangan kanannya dari cengkeraman Kaizen.

Kaizen diam sejenak, menatap wajah cantik Naresha dengan tatapan yang sangat sulit untuk diartikan, lalu segera melepaskan cengkeraman tangannya dan kembali melangkahkan kaki tanpa menunggu respons dari gadis itu.

“Lain kali hati-hati kalau jalan,” ujar Kaizen, tanpa menghentikan langkah kaki serta melihat ke arah Naresha.

“Kaizen! Sini lu! Urusan kita berdua belum selesai!” Naresha menatap punggung lebar Kaizen yang perlahan demi perlahan mulai menjauh dari indera penglihatannya, sembari memberikan elusan lembut di tangan kanannya.

Sepeninggal Kaizen, Nayla dan Thalita berjalan mendekati tempat Naresha berada, lantas merangkul pundak serta memberikan elusan lembut di punggung sahabat mereka itu.

“Sabar, Sa … Jaga mood lu … Jangan sampai emosi lu justru ngebuat kalian berdua berjodoh pada nantinya,” ucap Thalita, berusaha sedikit mencairkan suasana yang tadi sudah sangat tegang.

“Gue berjodoh sama dia? Amit-amit jabang bayi … hal itu nggak akan pernah terjadi sampai kapan pun. Udah, ah, ayo kita pulang … gue mau perbaiki mood sebelum dinner nanti malam.” Naresha berbalik badan dan mulai kembali berjalan menuju salah satu parkiran sekolah.

Nayla dan Thalita saling pandang beberapa saat, menggeleng-geleng pelan sebelum melangkahkan kaki menyusul Naresha yang sudah cukup jauh dari tempat mereka berada sekarang.

•••

Langit kota Jakarta pada malam hari ini dipenuhi oleh banyak sekali bintang bersinar terang, meskipun sebagian tertutupi oleh awan tipis yang melayang pelan mengikuti arah hembusan angin datang.

Di bawah sana, terdengar suara alunan musik bergenre hip-hop sedang memenuhi sebuah ruangan kamar mewah berukuran besar yang didominasi oleh perpaduan warna putih-hitam, dengan pencahayaan sangat terang dari lampu gantung kristal.

Tirai tipis berwarna putih susu bergoyang pelan kala tertiup oleh hembusan angin malam yang menyelinap masuk melalui celah-celah jendela kaca—seolah sedang memberikan kode kepada sang pemilik kamar guna menikmati keindahan kota Jakarta pada malam hari ini.

Di depan kaca cermin berukuran besar, terlihat sosok Naresha sedang sibuk mengenakan sebuah dress bodycon mini berwarna hitam yang terlihat sangat seksi—dengan potongan punggung rendah dan detail belahan tinggi di bagian paha kanan—menambah kesan elegan sekaligus menggoda pada penampilannya malam ini.

Setelah memastikan dress yang ia kenakan terpasang rapi di tubuhnya, Naresha melangkahkan kaki menuju meja rias, guna memoles wajah cantiknya menggunakan beberapa macam jenis make up—lipstik berwarna merah marun, eyeliner tajam, serta highlighter pinkflash di tulang pipi. Ia juga tidak lupa menyemprotkan sedikit parfum favoritnya ke leher dan pergelangan tangan, membuat aroma flora woody yang mewah seketika memenuhi udara di dalam ruangan kamar—memperkuat aura percaya diri yang sejak tadi telah melekat padanya.

“Perfect … gue pastiin dia semakin susah buat move on dari gue,” gumam Naresha, mengukir senyuman manis penuh kemenangan seraya merapikan rambut panjangnya yang sudah ditata rapi dengan model butterfly—berlayar tegas dengan volume cantik di bagian bawah serta efek mengambang ringan di sisi wajah.

Sesudah memastikan semuanya sempurna, Naresha mengambil clutch kecil berwarna senada dengan dress-nya dan juga mantel panjang berwarna beige yang sengaja dirinya pilih untuk menyamarkan penampilannya malam ini. Ia tahu betul, meski orang tuanya tidak terlalu cerewet soal gaya berpakaian, tetapi keluar rumah malam-malam dengan dress bodycon jelas akan memicu banyak sekali tanda tanya.

Dengan sangat cekatan, Naresha mulai mengenakan mantelnya, mengancing hingga ke bagian atas, dan memastikan bahwa bagian dada serta pahanya benar-benar tertutup. Saat ini, siapa pun yang melihatnya sekilas hanya akan mengira dirinya hendak pergi makan malam biasa, bukan untuk menuju sebuah permainan yang diam-diam telah dirinya kuasai sepenuhnya.

“Let's make this night unforgettable,” bisik Naresha, sebelum berjalan dengan sangat anggun menuju pintu keluar kamar.

•••

Suara langkah kaki seseorang sedang menuruni satu per satu anak tangga terdengar memenuhi seluruh ruangan yang berada di lantai satu sebuah rumah mewah nan megah, membuat sepasang suami-isteri yang tengah memasang ekspresi sangat tidak mengenakkan seketika mengalihkan pandangan ke arah sana.

Dari tempatnya berada, mereka dapat melihat sosok Naresha yang tengah berjalan menuruni tangga dengan penuh percaya diri, mengenakan mantel panjang berwarna beige yang membalut tubuh rampingnya.

Naresha melangkahkan dengan sangat teratur dan penuh ketenangan, seakan tidak menyadari dua pasang mata tajam yang sedang memperhatikannya tanpa berkedip sama sekali.

“Naresha Ardhanari Renaya, kamu mau ke mana malam-malam gini?” tanya Ardhan Renaya—ayah kandung Naresha—dengan sangat tenang, tetapi mengandung tekanan.

Naresha menoleh pelan ke arah sofa ruang keluarga berada, mengukir senyuman manis dan melangkahkan kaki mendekati tempat kedua orang tuanya. “Mau ketemu Nayla sama Thalita sebentar, Pa. Kami mau bahas soal pembagian tugas event tahun sekolah … Sekalian makan malam juga, sih. Aku boleh pergi, kan?”

Gayatri Renaya—mama kandung Naresha—menyelipkan beberapa helai rambut yang sedikit menutupi indera penglihatan ke belakang telinga, lantas menyipitkan mata dan meneliti penampilan putri semata wayangnya itu. “Tumben banget pakai mantel? Biasanya juga pakai dress kalau nggak baju-baju branded dan santai waktu ketemu mereka.”

Mendengar pertanyaan sang mama, Naresha hanya tertawa pelan, ringan, dan sangat natural—persis seperti seorang anak baik-baik yang tidak menyimpan rahasia apa pun. Ia berjalan mendekati tempat sang mama berada, lalu duduk sebentar di salah satu sandaran lengan sofa seraya menyilangkan kaki dan memainkan tali clutch dengan jari-jemari lentiknya.

“Cuaca malam ini dingin banget, Ma,” jawab Naresha, menyandarkan kepala di bahu kanan sang mama, “Tadi aku sempat buka jendela, anginnya kencang banget. Jadi, aku mikir pakai mantel aja, biar nggak masuk angin.”

Gayatri hanya mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari wajah cantik Naresha, seakan sedang berusaha mencari-cari celah dari ekspresi sempurna putrinya itu. Sementara Ardhan, pria paruh baya itu mengambil handphone dari atas meja, lantas mencari sesuatu di dalam sana.

“Resha, buka mantel kamu,” perintah Ardhan, tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari dalam layar handphone-nya.

Perintah itu melayang begitu saja di udara, menggantung layaknya pisau yang siap jatuh di atas kepala Naresha kapan saja. Senyuman manis yang semula terukir di wajah gadis itu secara perlahan mulai menipis, tergantikan oleh ekspresi bingung yang ditampilkan secukupnya—tidak berlebihan, tetapi cukup meyakinkan sebagai respons dari seorang anak yang tidak mengerti kenapa diminta melakukan hal tersebut.

“Kenapa, Pa?” tanya Naresha dengan suara tetap tenang—meskipun detak jantungnya mulai tak beraturan—seraya menatap wajah sang papa yang terlihat sedang sangat serius.

Ardhan mengangkat kepala, menatap wajah cantik sang putri dengan sangat datar, lantas memperlihatkan isi di dalam layar handphone-nya kepada Naresha.

Layar handphone menampilkan sebuah folder yang telah dinamai ‘Resha—Bukti’.

Jantung Naresha seketika terjun bebas, sementara wajahnya masih berusaha mempertahankan ketenangan yang sedari tadi telah dirinya tunjukkan. Ia sedikit menggigit bibir bawah, ketika satu demi satu foto mulai terbuka—menampilkan dirinya di sebuah bar eksklusif yang berada di kawasan SCBD, sedang berdiri di dekat meja panjang dengan gelas cocktail di tangan kanan, tertawa bersama seorang cowok yang memiliki umur beberapa tahun di atasnya.

Beberapa detik berlalu, Ardhan menggeser layar handphone ke kanan—memperlihatkan sebuah video Naresha sedang meneguk wine dengan ekspresi penuh kepuasan, diiringi dentuman musik keras, kilatan lampu neon, serta rangkulan dari seorang remaja laki-laki yang kali ini seumuran dengannya.

“Naresha, buka mantel kamu!” perintah Ardhan, sedikit menaikkan intonasi suaranya seraya menatap datar wajah sang anak semata wayang.

Dengan napas yang tertahan, Naresha secara perlahan bangun dari sandaran sofa. Matanya masih terpaku pada layar handphone sang papa yang kini telah ditaruh di atas meja, seolah ingin memastikan bahwa yang berada di dalam sana benar-benar dirinya.

Naresha sadar, kali ini bukan cuma tentang masalah mantel, bukan juga tentang dress mini di baliknya, tetapi tentang seluruh rahasia yang selama ini berhasilnya dirinya jaga rapi—dan kini semuanya terbuka lebar tepat di hadapan kedua orang tuanya.

Jari-jemari Naresha mulai membuka kancing mantel secara perlahan-lahan. Tidak ada gerakan tergesa-gesa, dan tidak ada pula pembelaan diri—hanya kesunyian yang makin terasa mencekam, diiringi oleh suara ‘klik’ dari setiap kancing yang telah terlepas.

Beberapa detik berlalu, setelah semua kancing mantel terbuka, muncullah sebuah dress bodycon hitam yang membungkus tubuh ramping Naresha dengan sangat sempurna, menonjolkan lekuk tubuh gadis itu yang begitu indah.

Gayatri melebarkan mata sempurna, menatap tubuh sang anak semata wayang dengan bola mata bergetar hebat. “Resha … Ini bukan pakaian buat bahas tugas sekolah!”

“Dan bukan juga pakaian buat anak umur tujuh belas tahun,” sahur Ardhan cepat, suaranya datar, tetapi dipenuhi oleh kekecewaan sangat mendalam, “Kamu pikir kami bodoh? Kamu pikir kamu nggak tahu kamu udah main di maha aja, sama siapa, dan ngapain aja?”

Naresha menundukkan kepala, menggigit bibir bawahnya cukup kencang guna menahan gejolak emosi yang sudah meronta-ronta. Ia menggenggam erat kedua tangan, lantas mengembuskan napas pelan beberapa kali—berusaha mengumpulkan sedikit keberanian—untuk mengeluarkan suara.

“Ak-Aku cuma … mau—”

“Papa nggak mau denger penjelasan apa pun dari kamu,” potong Ardhan, melirik sekilas ke dalam layar handphone yang menampilkan sebuah notifikasi pesan dari salah satu sahabat serta rekan bisnisnya, lantas bangun dari tempat duduk dan berjalan mendekati tempat Naresha berada, “Kamu benar-benar udah buat Papa sama Mama kecewa … dan Papa nggak akan tinggal diam.”

Naresha refleks mendongakkan kepala, menatap sang papa yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya. Ia kembali menelan air liur susah payah, kala tatapan sang papa kini tidak lagi sekadar kekecewaan—melainkan ketegasan, dingin, dan penuh keputusan.

“Ma-maksud Papa apa?” tanya Naresha dengan suara pelan, serak, dan sedikit bergetar.

Ardhan menatap mata double eyelid sang putri sangat dalam. “Papa udah bicara sama salah satu sahabat dan rekan bisnis Papa. Beliau punya anak laki-laki seumuran kamu, dan dari keluarga yang terhormat … Papa dan Mama sudah sepakat … Kami berdua akan jodohin kamu dengan dia.”

“Apa?!”

To be continued :)

1
Vlink Bataragunadi 👑
what the..., /Shame//Joyful//Joyful//Joyful/
Vlink Bataragunadi 👑
buahahaha puas bangett akuu/Joyful//Joyful//Joyful/
Musoka: waduh, puas kenapa tuh 🤭
total 1 replies
Vlink Bataragunadi 👑
buahahaha Reshaaaa jangan remehkan intuisi kami para orang tua yaaaaa/Chuckle//Chuckle/
Musoka: Orang tua selalu tahu segalanya, ya, kak 🤭🤭
total 1 replies
Vlink Bataragunadi 👑
ada ya yg ky gini/Facepalm/
Musoka: ada, dan itu Resha 🤭🤭🤭
total 1 replies
Vlink Bataragunadi 👑
gelooooo/Facepalm/
Musoka: gelo kenapa tuh kak 🤭🤭🤭
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!