"Biar saya yang menikahi Dira, Om."
"Apa? Gak bisa! Aku gak mau!"
***
Niat hati menerima dan bertunangan dengan Adnan adalah untuk membuat hati sang mantan panas, Indira malah mengalami nasib nahas. Menjelang pernikahan yang tinggal menghitung hari, Adnan malah kedapatan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Di saat yang bersamaan Rada—mantan kekasihnya, datang menawarkan diri untuk menjadi pengganti Adnan. Indira jelas menolak keras karena masih memiliki dendam, tetapi kedua orang tuanya malah mendukung sang mantan.
Apa yang harus Indira lakukan? Lantas, apa yang akan terjadi jika ia dan Rada benar-benar menjadi pasangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deshika Widya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ingin Menjadi Pengganti
Mobil tua berwarna silver yang dikemudikan Rada berhenti mendadak di depan sebuah rumah bercat putih gading. Setelah mematikan mesin, pria itu langsung membuka pintu dan keluar dengan langkah panjang. Matanya menatap tajam ke arah rumah yang terasa sangat familiar, meski sudah bertahun-tahun tak berkunjung.
Tanpa ragu, Rada berjalan cepat menuju teras, lalu berhenti di depan pintu kayu yang sedikit terbuka. Dari balik celah pintu, suara tangis terdengar samar, membuat ia menahan napas.
Rada tahu itu suara Indira.
Langkah pria itu berhenti sepenuhnya. Jemarinya sempat terangkat untuk mengetuk, tapi niat itu tertahan saat mendengar percakapan dari dalam.
"Ini semua memalukan!" Suara pria terdengar berat. Ia yakin itu Bagus—ayah Indira. "Undangan sudah disebar. Semua tetangga pasti sudah tahu. Masa kita harus membatalkan begitu saja?" lanjutnya.
Weni—ibu Indira terdengar menimpali dengan suara lembut, tapi khawatir. "Aku juga bingung, Pa. Tapi mau bagaimana lagi? Adnan sudah keterlaluan. Bisa-bisanya dia selingkuh sama sahabat anak kita sendiri. Aku gak mau punya menantu seperti dia, Pa!"
"Aku pun gak sudi punya menantu seperti dia, Ma. Sepertinya pernikahan ini memang harus dibatalkan daripada putri kita yang jadi korban nantinya."
Rada memejamkan mata sejenak. Suasana di dalam rumah itu sama panasnya seperti yang ia bayangkan. Namun, ia tidak datang hanya untuk mendengarkan atau sekadar mengembalikan ponsel Indira yang tertinggal. Ia datang untuk menyampaikan sesuatu yang bahkan tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Pria tampan dengan balutan kemeja putih dan celana hitam itu menghela napas, lalu mendorong pintu perlahan hingga terbuka sepenuhnya.
Langkahnya masuk membuat semua kepala menoleh. Weni yang tengah memeluk Indira refleks berdiri. Begitu pula Bagus. Sementara Indira yang sedang menangis, tersentak saat melihat siapa yang muncul di hadapannya.
"Rada?" gumam wanita itu dengan ekspresi terkejut. "Ngapain kamu ke sini?"
Rada tidak menjawab pertanyaan itu. Ia hanya menatap lurus ke arah Bagus. "Om gak perlu batalin acaranya. Biar saya yang menikahi Dira.”
"Apa?!" Indira hampir berdiri saking terkejutnya.
Bagus memandang Rada tak percaya. "Tunggu ... kamu serius sama apa yang kamu ucapkan barusan?"
"Saya serius, Om," jawab Rada mantap. "Saya paham kalau Om dan Tante masih benci sama saya. Tapi, saya gak bisa lihat Dira menanggung malu. Anggap aja ini tebusan karena dulu saya pun pernah menyakiti putri kalian."
Weni melirik suaminya, lalu buru-buru memberi isyarat pada Rada. "Duduk dulu, Rad." Ia sampai lupa menyuruh pria muda itu untuk duduk di sofa saking terkejutnya.
Indira menggeleng tak percaya. Ini benar-benar konyol menurutnya. Bagaimana bisa ia menikah dengan Rada? Tidak! Ini tidak bisa dibiarkan!
“Aku gak mau nikah sama dia!” seru wanita itu keras, memecah suasana.
Weni mencoba menarik lengan sang putri agar kembali duduk lagi. "Sayang, dengar dulu—”
“Enggak! Aku gak perlu denger apa-apa, Ma! Aku udah cukup kecewa sama Adnan. Dan sekarang mau ditambah lagi sama dia? Gak! Aku gak mau!" tegas Indira.
Bagus menghela napas panjang. Sungguh ia pun bingung menghadapi situasi ini. "Dira, kita semua paham kamu lagi marah dan kecewa, tapi kamu juga harus berpikir panjang, Nak. Coba kamu pikirkan matang-matang dulu, ya?"
"Betul, Sayang," tambah Weni pelan. "Kamu masih bisa berpikir setidaknya sampai besok. Ya? Mama yakin kalau Rada—"
"Apa? Rada apa, Ma? Mama mau bilang dia baik, iya?" bentak Indira sambil berdiri. Ia bahkan sampai tak sadar sudah meninggikan suara di depan orang tuanya sendiri.
"Apa Mama gak inget waktu dulu dia ninggalin aku gitu aja?" Suara wanita itu perlahan melemah. Matanya berkaca-kaca mengingat kenangan demi kenangan yang dilewati bersama Rada.
"Dia jahat, Ma .... Dia sama aja kayak si Adnan!"
Weni dan Bagus tak bisa berkata-kata karena tahu betul sakit yang dialami putrinya setelah ditinggal Rada.
Seketika Rada tertunduk. Ia memang pantas mendapat luapan amarah bahkan umpatan dari mantan kekasihnya. Namun, tak ada sedikitpun niat di hatinya untuk mundur.
"Dira ... aku tahu aku salah. Tapi tolong, percaya sama aku kali ini ... aja. Aku akan buktiin kalau aku gak seburuk yang kamu kira. Selama lima tahun ini, aku bahkan masih cinta sama kamu, Dir ...."
Indira menatap tajam mantan kekasihnya itu. "Ck! Cinta? Apa itu cinta, hah?!"
"Cukup!" Bagus segera menengahi. "Tolong jangan ribut. Kita kan bisa bicara baik-baik.”
Weni menarik nafas dalam. Kepalanya jadi bertambah pusing semenjak Rada datang. "Begini saja." Ia hendak memberikan usulan. "Lebih baik kita biarkan Dira berpikir dulu. Kamu bisa pulang sekarang kan, Rad? Soal jawaban Dira, Tante atau Om akan kasih tahu kamu nanti."
Rada mengangguk pelan, meskipun sebenarnya ia merasa keberatan. "Baik, Tante."
Indira terdiam. Menatap kosong pada punggung Rada yang kini sudah berada di luar rumah.
Weni perlahan mendekat, menggenggam tangan putrinya. "Sayang ... Mama gak akan maksa. Tapi kamu tahu sendiri, kita gak mungkin menarik undangan, atau menjelaskan ke semua orang soal batalnya pernikahan kamu sama Adnan. Nama baik keluarga juga harus kita jaga. Mama mohon, kamu pikirkan baik-baik, ya."
Indira mengangguk pelan. Meski air matanya sudah mengering, mata wanita itu masih sembab. Ia tak lagi bicara. Hanya diam dan menghindari tatapan kedua orang tuanya.
Setelah kepergian Rada, Indira memilih mengurung diri di dalam kamar hingga malam tiba. Ia duduk di pinggir ranjang ditemani cahaya remang yang berasal dari lampu tidur. Jari-jari tangannya menggenggam kain sprei erat. Pandangannya kosong. Pikirannya kacau.
Perasaan sakit karena dikhianati belum sempat pulih, kini ia malah disodori pilihan tak masuk akal. Dihadapkan pada wajah dari masa lalu yang dulu pernah ia cintai ... dan ia benci di saat yang sama.
Wanita cantik dengan mata sembab itu menarik napas dalam, lalu mendongak menatap langit malam lewat jendela yang terbuka. "Tuhan ... kenapa malah Rada? Gak adakah laki-laki lain selain dia?"
mau berpaa kali pun mah gasken kan halal'