Dimana masih ada konsep pemenang, maka orang yang dikalahkan tetap ada.
SAKA AKSARA -- dalam mengemban 'Jurus-Jurus Terlarang', penumpas bathil dan kesombongan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AKSARA 2
Anak lelaki berkacamata yang tingginya kurang lebih sebelas sentimeter di bawah SakaーIbrahim, teman sebangkunya. Hanya anak itu yang sempat Saka ajak bicara selain Dadang Kurniawan di gerbang sekolah saat hari pertama, itu pun dia hanya menanyakan, “Pelajaran berikutnya apa?” Yang kemudian dijawab Ibrahim dengan sangat singkat, “Matematika.”
Saka bersiap menekan diri, untuk jadi penyendiri.
Belum ada teman yang bisa dijadikan teman.
Dunia mereka terasa sulit dimasuki meski berada di satu lingkaran.
Hari ketiga dan keempat.
Pelajaran normal, Saka bisa mengikuti dengan biasa.
Ada kemajuan, sedikit tahap saja, tidak signifikan. Beberapa teman sekelasnya selain Ibrahim yang pendiam, sudah bisa diajaknya bicara meski tak intens.
Namun ada sesuatu cukup mengganggu nurani Saka. Yang lain bilang, Ibrahim tak pernah makan apa pun selama di sekolah sampai pulang kembali.
Ragam pertanyaan mencuat ke kepalanya. Apakah Ibrahim tidak punya uang? Puasa? Irit? Atau mungkin sebuah kebiasaan?
Tidak satu pun teman tahu tentang anak itu, selain secara umum Ibrahim adalah si cerdas yang selalu berdiri di tiga besar.
Dan di hari kelima ....
Pagi sebelum bell masuk berbunyi memanggil.
Saka sudah naik. Tiga detik saat memasuki kelas, pemandangan 'tak biasa didapati pasang matanya.
Tiga murid yang terkenal dengan sebutan ‘Trio Kalajengking’, melingkari tempat duduknya. Terlihat di atas meja, isian tas Ibrahim berantakan seperti baru dijarah.
“Ada apaan, tuh?”
Saka mendekat perlahan.
Anggota Trio Kalajengking:
Andi Wiguna, panggilan disingkat; AW. Porsi tubuh tegap dan tinggi standar Indonesia. Rambutnya sebatas pundak, menutup telinga, tapi sering diikat, jadi 'tak terlihat bentuk gondrongnya.
Guntur Cahyadi, punya nama beken 'Moncos', rambut plontos mirip tentara, sedikit kurus.
Alvian Hendra, nama panggilan Piang, paling pendek dan berisi di antara dua temannya, rambutnya standar anak sekolah.
Di tengah-tengah mereka atau Trio Kalajengking itu, Ibrahim dengan wajah cemas dan takut, merunduk dalam, tidak berani mengangkat wajah.
Saka penasaran, terus bertanya-tanya dalam benaknya.
Dia menoleh sekitaran. Sudah banyak anak di sana, tapi mereka semua diam jadi penonton di tempat duduknya masing-masing, ada juga yang berdiri penasaran seolah mendapat hiburan seru.
“Lu anak yang baek, anak pinter, sekali-kali ngapa sih traktir kita bakso seorang semangkok, Im?!” Alvian Hendra atau Piang, duduk di atas meja tepat di depan Ibrahim, dia yang melontar kalimat itu.
Ibrahim menjawab dengan gemetar, “Gu-gua ... Gua gak punya uang.”
Saka mendapat penilaian dari sikap Ibrahim. Ternyata sedang ada permainan mental yang menjijikkan.
“Boong lu!” tukas Piang, mengempas pengakuan Ibrahim sesaat lalu.
“Se-serius. Gua ... emang gak punya uang sebanyak itu.“
Guntur Cahyadi atau Moncos, tersenyum miring sambil membuang wajah dan berdecak. Dia mengambil posisi duduk tepat di sebelah Baim, mengisi kursi milik Saka Aksara. “Bakso semangkok dua puluh rebu, dikali tiga cuma nem puluh rebu. Segitu doang lu gak punya?”
“Iya! Tiap hari lu mendem di kelas jam istirahat, duit jajan lu pasti udah kekumpul banyak, 'kan?” timpal Piang.
Sementara Andi Wiguna masih duduk santai dengan senyuman kecut, di kursi samping kiri Moncos barisan sebelah.
“Gua ... beneran gak punya uang!” Dengan gemetar, Baim merogoh ke dalam saku celana. “Cu-cuma ada goceng ... buat ongkos pulang.”
Selembar lima ribuan lusuh, menggumpal, ada di telapak tangannya sekarang.
Moncos dan Piang saling melempar pandang, sama-sama bengong melihat uang yang lusuh itu.
“Goceng doang?!”
Keduanya lalu menoleh AW. Saat itu juga, mereka mendapat kode melalui gestur kepala, AW turun perintah.
Moncos mengangguk sekali dengan seringainya, berbagi tatap dengan Piang, lalu ... “Sini lu!”
Ibrahim terkejut dan kelabakan.
“Gua beneran gak punya uang!”
Moncos dan Piang menggeledah seluruh bagian saku seragam yang dikenakannya.
Pemandangan itu tak lagi menyentuh, melainkan sudah memukul sisi terdalam nurani Saka Aksara. Mereka teman sekelas, sudah melewati hampir dua tahun bersama, tapi kenapa masih tidak bisa berteman baik? Pikirnya rumit.
Satu telapak tangannya mengepal ketat, dan ....
“STOP!”
Gelegar suaranya merebut segenap perhatian, sekaligus menghentikan pergerakan dua Kalajengking yang tengah menggeledah seragam Ibrahim.
Untuk sesaat keadaan membeku hampa.
AW menatap Saka dengan kelopak mengecil.
Terlanjur sudah terlibat, Saka maju mendekat ke arah di mana Baim berada sembari merogoh ke dalam saku celananya sendiri, lalu ....
PAK!
Sehelai uang kertas berwarna biru ditepuknya kasar ke atas meja.
“Tu duit lima puluh rebu buat kalian. Bakso di seberang sekolah harganya semangkok cuma lima belas rebu. Kalian bertiga total 45 rebu, masih ada kembalian goceng, cukup buat beli ale-ale seorang satu. Kelar, 'kan?”
Tidak ada kecuali, semua mata melotot lebar, termasuk Ibrahim sendiri.
Perbuatan dan kata-kata Saka yang berani dan sangat lantang itu ... terlalu lancang.
Bahkan Andi Wiguna yang sedari tadi tenang langsung melengak merubah posisi diam jadi menghadap lurus ke arah si anak baru. Ekspresi terkejutnya berubah. Ada yang menggelitik, sudut bibirnya tertarik tipis. Maknanya jelasーmangsa baru.
“Sekarang bisa gak kalian keluar dari meja ini, bell uda bunyi, gua mo belajar,” sambung Saka. Tidak ada takut dan ragu apalagi sampai terkencing dalam celana.
Mereka kalajengking, tapi wujudnya manusia, masih bisa ditoleransi dengan kata-kata manusia, bukan jampi dan palu gada.
Detik itu barulah Moncos dan Piang tersadar dari ketersentakkannya, langsung wajah mereka berubah garang, meradang pasang, “Lu siapa, ꋬɳʝιɳɠ? Anak baru berani-beraninyaー”
“Duduk di tempat masing-masing!” Ucapan Moncos terpotong oleh suara seorang guru yang baru saja memasuki ruangan. “Buka buku bahasa Inggris kalian,” sambung guru pria itu sembari menduduki kursi. Sempat matanya melirik ke arah kerumunan Saka, tapi kemudian abai.
Dengan wajah melebihi kesal, Moncos dan Piang menyingkir dari meja Saka setelah mengempas cengkraman dari seragam Ibrahim.
Sambil lalu, Piang menyabet uang lima puluh ribu yang ditampar Saka tadi di atas meja. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, mereka kembali ke tampat duduknya masing-masing, termasuk AW yang melenggang sembari menatap Saka Aksara penuh telisik, maknanya tetapーberpikir; bagusnya diapakan anak sialan itu.
Sembari mengeluarkan buku dalam tasnya, Saka melirik Moncos. Mulut anak itu menggerakkan kata ancaman tanpa suara yang bunyinya, “Awas lu!” Seraya menaikkan jari tengah ke depan wajah.
Saka tidak peduli itu, malah menoleh ke sisi yang berlawanan. Dia melihat Ibrahim yang masih bungkam sambil merapikan kembali pakaiannya yang berantakan.
“Lu gak apa-apa, 'kan?”
Sesaat Ibrahim diam, lalu menggeleng, lemah dan kaku tanpa melihat balik wajahnya Saka.
Saka paham, tidak bertanya lagi. Baim pasti malu terhadap situasinya. Anak sependiam dirinya pasti sangat terkejut mendapat kejadian tolol seperti tadi, dari orang-orang yang seharusnya bisa menjadi teman, atau sama sekali tidak.
Benar kata Dadang.
Seharusnya ganti jurusan.
Ibrahim.
Bukan dirinya.
Saka ngotot ingin jadi arsitek. TGB adalah jurusan yang paling tepat. Dia ingin membangun gedung megah untuk AryaniーMama tercinta.
Sayangnya TGB hanya ada satu kelas saja di 𝐒𝐌𝐊 𝐀𝐑𝐉𝐔𝐍𝐀 𝐏𝐀𝐋𝐀𝐒, dan Ibrahim mungkin tak meminati jurusan lain, apalagi sekolah lain.
sama-sama beresiko dan bermuara pada satu orang.. yordan..
🙏