Asha, seorang gadis muda yang tulus mengabdikan diri di sebuah rumah Qur'an, tak pernah menyangka bahwa langkah ikhlasnya akan terseret dalam pusaran fitnah. Ia menjadi sasaran gosip keji, disebut-sebut memiliki hubungan gelap dengan ketua yayasan tempatnya mengajar. Padahal, semua itu tidak benar. Hatinya telah digenggam oleh seorang pemuda yang berjanji akan menikahinya. Namun waktu berlalu, dan janji itu tak kunjung ditepati.
Di tengah kesendirian dan tatapan sinis masyarakat, Asha tetap menggenggam sabar, meski fitnah demi fitnah kian menyesakkan. Mampukah ia membuktikan kebenaran di balik diamnya? Atau justru namanya akan terus diingat sebagai sumber aib yang tak pernah ia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nclyaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ada apa dengan ustadz Alam?
"Akhirnya selesai juga ya bu," ucap Asha meregangkan otot-ototnya yang kaku.
"Iya neng Alhamdulillah," balas bu Ina yang baru saja mendudukkan bokongnya.
"Nanti katanya diambil kesini," ujar Rayna yang baru saja tiba di dapur dengan perlengkapan mengajarnya.
"Siapa yang ambil?" tanya Asha penasaran.
"Kamu berharapnya siapa sha? Ustadz Alam? Ustadz Nael atau ustadz Afkar?" lagi dan lagi Rayna menggodanya.
"Gak satupun dari mereka," balas Asha tertawa kecil.
"Firasat aku sih ustadz Alam lagi haha," celetuk Naira diiringi tawa jahil nya.
"Jangan sampe ya Allah," timpal Asha yang mungkin sudah mulai bosan melihat wajah ustadz Alam.
Suasana sore di rumah Qur'an begitu hangat. Di tengah tawa yang bersahutan, para santri putri sedang bercanda ringan di ruang tengah, dan ketiga gadis yang sedang mengobrol di dapur, membahas siapa yang akan bertugas mengambil takjil hari ini.
"Kayaknya ustadz Nael deh, secara beliau yang paling sering nganggur kan wkwkwk," gurau Rayna.
"Kalo kata aku sih ketua yayasan kita, beliau gak akan mungkin nyia-nyiain waktu buat ketemu Asha, yakan sha?" timpal Naira menyenggol bahu Asha.
"Diem gak kalian! Kuping aku sakit denger namanya!" Asha benar-benar kesal jika kedua temannya bercanda tentang ustadz Alam.
Tiba-tiba, suara ketukan terdengar dari arah pintu depan, disusul dengan salam yang dilantunkan lembut oleh seorang pria. Suasana seketika hening. Semua menoleh, saling berpandangan penasaran.
"Siapa?" bisik Rayna pada kedua temannya.
Naira dan Asha beradu pandang, kemudian menatap Rayna bersamaan, mereka pun mengangkat kedua bahu mereka sebagai jawaban bahwa mereka juga tidak tahu siapa yang datang.
Aisyah, salah satu santri kelas 4 yang memang paling dekat dengan pintu depan, segera berdiri dan membuka pintu. Di sana berdiri 3 pria, ketiganya menyapa Aisyah dengan sopan dan ramah. Salah satu dari mereka menyampaikan maksud kedatangannya,
"Assalamu'alaikum, eh ada Aisyah," salamnya pada gadis tersebut.
"Wa'alaikumsalam ustadz, mau ngambil takjil ya?" tanyanya pada pria yang dipanggil ustadz tersebut.
"Iya, udah selesai kan dimasaknya?" balas pria itu.
"Sebentar aku tanya ustadzah Asha dulu," ujar Aisyah yang kemudian berlari ke arah dapur.
"Ustadzaaaah," teriakan Aisyah menggelegar seiring tubuhnya masuk kedalam dapur.
"Udah selesai masaknya? Didepan ada ustadz Nael, ustadz Afkar sama ustadz Alam mau ambil takjilnya," jelas Aisyah saat tiba di dapur.
Sementara ketiga gadis dan juga ibu dapur saling tukar pandangan dan kemudian tertawa bersama. Tak disangka ketiga pria yang mereka sebutkan tadi akan datang secara bersamaan, sungguh moment yang sangat langka.
"Tumben banget ya," ucap bu Ina menatap Asha.
"Lagi akur bu," sahut Rayna.
"Udah sana anterin makanannya, sebentar lagi udah mau maghrib," ucap bu Sulis (ibu dapur) kepada ketiga gadis itu.
Langit sore mulai berubah warna, perlahan menyapukan jingga ke langit yang semula biru pucat. Suara adzan maghrib masih beberapa menit lagi, namun aroma takjil yang menggoda sudah memenuhi halaman sakan. Tiga gadis melangkah keluar dengan wadah-wadah berisi takjil di tangan mereka. Asha berjalan paling depan, diikuti oleh Rayna dan Naira. Wajah mereka tampak cerah, meski langkah mereka tetap terjaga tenang, sesuai adab yang diajarkan.
Di depan, tiga ustadz sudah berdiri menanti, tampak sedang berbincang ringan sambil sesekali melirik ke arah sakan. Begitu melihat ketiga gadis itu mendekat, mereka pun segera menyambut dengan senyum ramah.
Asha sedikit menundukkan kepala sebagai bentuk hormat, lalu berkata dengan nada tenang namun tegas.
"Ini takjil untuk Banin dan asatidz, jumlahnya sudah sesuai seperti yang diminta. Tapi kita tambahin 5 porsi cadangan, takutnya ada kesalahan hitung atau ada tamu yang mungkin datang belakangan." ucap Asha sambil memberikan kotak yang ada ditangannya.
Dengan cepat ustadz Alam mengambil alih kotak besar tersebut dari tangan Asha, tentu saja hal itu mengejutkan Asha. Pasalnya jarak diantaranya dan ustadz tersebut jadi sangat dekat, dan Asha belum pernah sedekat ini dengan lawan jenis. Asha segera memundurkan tubuhnya, dan hal tersebut tak luput dari pandangan ketiga ustadz dan dua temannya.
"Jazakumullah khair, Asha. Teliti seperti biasa, ya," ujarnya sambil tersenyum.
Asha hanya mengangguk pelan sambil menunduk, ia merasa bahwa ustadz Alam semakin tidak memiliki batasan terhadap para ustadzah, terlebih padanya. Entahlah ia benar-benar merasa canggung sekarang, setelah selesai Asha segera berjalan masuk kedalam membiarkan kedua temannya berbincang dengan ketiga ustadz tersebut.
"Saya izin pamit, Assalamualaikum," pamitnya kemudian masuk kedalam.
"Oh iya ustadz ini sisanya," ujar Naira dan Rayna memberikan 3 kotak lainnya kepada ustadz Nael dan ustadz Afkar.
Mereka pun menerimanya, setelah selesai ketiganya segera berpamitan karena waktu berbuka sudah hampir tiba. Naira dan Rayna segera berlari kecil menyiapkan takjil untuk Banat juga.
"Asha mana bu?" tanya Rayna pada bu Sulis.
"Asha tadi keatas, katanya perutnya tiba-tiba sakit neng," jawab bu Sulis yang sedang menata takjil untuk Banat.
"Tiba-tiba bu?" sahut Naira yang sedang mengambil es timun.
"Iya neng, coba aja ditanya takutnya kenapa-napa," timpal bu Ina.
"Oh iya bu, yaudah Ray aku keatas dulu ya liat Asha," ucap Naira yang diangguki Rayna.
Naira menaiki anak tangga dengan langkah sedikit tergesa. Ia masih memikirkan kabar dari teman sekamarnya yang tiba-tiba katanya sakit perut, padahal beberapa menit yang lalu Asha masih tampak baik-baik saja. Sesampainya di lantai atas, Naira membuka pintu kamar mereka perlahan. Sepi, tak ada siapa-siapa di dalamnya. Ranjang Asha pun rapi, tidak seperti orang yang sedang terguling menahan nyeri.
Naira berdiri sejenak di ambang pintu, pandangannya menyapu seluruh sudut kamar, berharap menemukan Asha.
"Asha?" panggilnya pelan, tak ada jawaban. Ia mendekat ke sisi ranjang, lalu memanggil sedikit lebih keras, "Shaa, dimana kamu?" panggilnya lagi.
Suara samar menyela kesunyian. Bukan dari dalam kamar, melainkan dari luar, dari arah balkon. Hembusan angin yang membawa aroma sore hari dan suara dedaunan yang bergesekan seolah menjadi saksi bahwa ada seseorang di sana.
Langkah Naira segera terarah ke pintu kaca balkon. Dan benar saja, di sana Asha berdiri menyandar pada pagar balkon, diam menatap langit yang mulai berwarna keemasan. Raut wajahnya kosong, namun tak bisa menutupi kesedihan yang samar.
"Asha?" suara Naira pelan, nyaris berbisik. Gadis itu menoleh perlahan, seperti baru tersadar dari lamunannya.
"Eh Nai, kenapa?" tanya Asha polos menatap Naira dengan nafas ynag terengah-engah.
"Katanya sakit perut, kenapa?" timpal Naira.
"Haid Nai," jawab Asha dengan kekehan kecil.
"Seriusan?" ucap Naira terkejut.
"Hmm, tadi banget pas aku mau siap-siap buka," ujar Asha dengan anggukan kecilnya.
"Pantesan galau ngelamun di balkon," sahut seseorang dibelakang mereka. "Taunya dateng tamu bulanan," sambungnya sembari berjalan kearah mereka.
Benar, datang bulan di detik-detik menjelang berbuka adalah hal yang sangat menyakitkan. Terlebih Asha yang selalu kesakitan ketika datang bulan, semakin menambah penderitaan nya.
"Yaudah ayo turun, tar lagi mau adzan maghrib," ajak Rayna pada keduanya.
"Kalian aja, aku disini aja," tolak Asha.
"Ikut aja, hari pertama harus lengkap," ajaknya lagi pada Asha.
Meskipun ustadzah disana banyak, tapi hanya Asha, Naira dan juga Rayna yang masih lajang. Sisanya sudah berumahtangga, dan tinggal cukup jauh dari sakan yang mereka tempati saat ini, jadi ustadzah yang lain mungkin hanya beberapa kali saja ikut berbuka disana, sementara sisanya mereka habiskan bersama keluarga tentunya.
Skip selesai buka puasa dan kegiatan lainnya.
Malam itu, selepas semua kegiatan Ramadhan selesai, suasana di sakan Banat terasa lebih sunyi dari biasanya. Lantunan tilawah terakhir dari musholla sudah reda, suara gelak tawa santri pun mulai mereda, berganti dengan detik jam yang berdetak pelan dari dinding. Di dalam kamar mereka, Asha, Rayna, dan Naira tengah bersiap untuk beristirahat.
Naira sudah mematikan lampu utama, menyisakan cahaya temaram dari lampu tidur kecil di pojok ruangan. Mereka bertiga sudah berada di atas kasur masing-masing, hanya terdengar helaan napas lelah. Namun saat sunyi mulai menjalar, suara Asha tiba-tiba memecah keheningan.
"Ray... Nai... Aku boleh cerita sesuatu?" ucap Asha pelan, tapi jelas terdengar penuh beban.
Rayna langsung menoleh dari posisi rebahnya. Ia segera mendudukkan posisinya, kemudian menatap fokus pada Asha. Ini kali pertamanya Asha ingin bercerita kepada mereka dalam 2 tahun ini, dan tentunya tak boleh mereka sia-siakan.
"Bolehlah, kenapa?" balas Rayna cepat
Asha duduk, menarik selimutnya ke pangkuan. Ia menunduk sejenak, seolah menyusun kata agar penyampaian nya tidak disalah fahami oleh kedua temannya itu.
"Sebelum Ramadhan kemarin, aku sempet telponan sama orangtua," Asha memulai pembicaraan nya.
"Terus?" Rayna sangat penasaran dengan apa yang akan Asha sampaikan.
"Mereka nyuruh aku berhenti ngajar," lanjut Asha menatap kedua temannya secara bergantian.
Naira yang tadinya sudah setengah mengantuk, langsung duduk. Kemudian menatap Asha dengan serius, sebelumnya ia menggelung kembali rambutnya yang sudah tergerai karena akan tidur.
"Hah? Serius? Tapi... kenapa?" tanyanya terkejut.
"Hmm, mereka bilang aku terlalu mentingin urusan disini tanpa peduli sama mereka. Udah 2 tahun aku ngajar disini katanya udah cukup. Ibu aku bilang, 'Asha udah berjuang cukup jauh, sekarang waktunya fokus di rumah, bakti sama ayah sama ibu.'" Ia menirukan suara ibunya dengan lirih, matanya mulai berkaca-kaca.
"Trus kamu respon gimana sha?" Rayna semakin penasaran dengan respon Asha.
"Trus aku bilang ke ibu... 'Bu, Asha masih punya sisa 2 tahun disini. Asha udah tandatangan kontrak waktu itu.'" sambung Asha.
Rayna menyela, "Dan pihak yayasan gak kasih kamu keluar, ya?"
"Enggak. Bahkan waktu aku coba sampaikan niat mundur, mereka langsung tolak. Ustadzah Sarah bilang, 'Asha bagian penting di sini. Banyak santri yang maju karena metode ngajarmu. Kami nggak bisa cari pengganti secepat itu.'" jelasnya.
Asha menghela napas berat, kemudian melanjutkan, "Aku bingung. Di satu sisi aku nggak mau kecewain orangtua, tapi di sisi lain aku juga gak bisa lepas tanggung jawab."
"Iya juga sih, pasti dilema banget kalo gitu," ucap Naira yang mulai mendekati Asha.
Asha hanya mengangguk. Tapi sebelum suasana kembali sunyi, ia berkata lagi.
"Sebenernya masih ada hal lain yang lebih aku khawatirin" ucap Asha.
Rayna menatapnya dengan dahi mengernyit. "Apa lagi, Sha?"
Asha diam sejenak. Kali ini lebih lama. Matanya memandangi plafon kamar dengan sorot sendu.
"Ustadz Alam."
Rayna dan Naira sama-sama langsung menoleh cepat.
"Kenapa Ustadz Alam?" tanya Naira, penuh penasaran.
Asha menunduk, suara lirihnya mulai terdengar lagi. "Akhir-akhir ini... dia makin aneh. Aku mulai risih."
Rayna menyipitkan mata. "Aneh gimana maksudnya?"
"Dia itu terang-terangan, Ray. Setiap rapat, dia selalu cari kursi yang pas di depanku. Bener-bener depan mata. Padahal kan bisa duduk di mana aja. Terus, kalau aku ngomong atau presentasi, dia selalu perhatiin. Bahkan kadang kayak lupa kalau orang lain juga ada di ruangan itu, bukannya aku narsis, tapi kalian bisa liat kan diruang rapat." jelas Asha mengeluarkan isi hatinya.
"Bener sih, rada-rada tu duda satu," geram Naira saat Asha menceritakan hal tersebut.
"Lagian dia gak sadar apa ya dia tuh seumuran sama ayahmu sha? Malah pengen ngembat anak usia 20an buat jadi bini, mending kalo dudanya spek Liu Yuning, atau minimal Milles Wei yakan? Lah ini? Spek aki-aki bau kemenyan!" imbuh Rayna dengan memutar bola matanya.
"Lagian kenapa baru ngomong sekarang sih sha? Kan kita gatau kalo kamu mendem beban kayak gini," ucap Naira yang merasa geram.
"Aku bingung, Nai. Aku bukan siapa-siapa, cuma guru. Mau ngomong juga takut disangka lebay." balas Asha yang memang kebingungan.
Asha kemudian menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan suara berat.
"Yang paling parah itu tiap bulan Ramadhan kayak gini. Dia sering banget dateng ke sakan Banat, katanya mau antar barang dari donatur lah, anterin wakaf Al Quran lah, trus masih banyak lagi. Tapi kenapa harus dia yang anter? Kan masih banyak ustadz lain. Masa iya, ketua yayasan nganter sendiri kesini, hari ini aja kan udah 5x dia kesini dengan alasan lain-lain." jelas Asha menggebu-gebu.
Rayna mulai kesal, ia juga bisa merasakan apa yang Asha rasakan. Terlebih ustadz Alam selalu meminta Asha yang menerima barang yang dibawa beliau, atau meskipun cuman sekedar menyambut, itu harus Asha.
"Mana apa-apa harus sama kamu lagi, modus!" timpal Rayna dengan kesal.
Asha mengangguk pelan. "Yakan, selalu aku. Kadang karena udah terbiasa kayak gitu, ustadzah-ustadzah lain selalu nyuruh aku yang keluar, katanya 'Karena kamu yang paling dekat dengan beliau.'" ujar Asha menirukan perkataan yang sering ia dengar dari para ustadzah.
Ia tertawa getir, ia tiba-tiba teringat saat ustadz tersebut meminta Asha membuatkannya teh saat ia berkunjung ke tempat Banat. Padahal ia bisa minta tolong ke ibu dapur, tapi ia lebih senang merepotkan Asha.
"Dekat? Aku bahkan gak pernah ngobrol di luar urusan kerja, sekalipun urusan kerja, aku pasti bahas didepan semua orang." sambungnya.
Naira menggigit bibir. "Wah... ini udah mulai gak sehat sih." timpal Naira.
Asha mengangguk lagi, tapi kali ini air matanya menetes. Ia sudah tak bisa menahan air matanya yang sudah terbendung lama, hingga pada akhirnya jatuh juga membasahi pipinya.
"Masalahnya... wali santri mulai gosip. Mereka bilang aku ada hubungan sama Ustadz Alam, aku gak bisa jawab. Karena setiap kali beliau datang, ya memang aku yang keluar. Aku yang bantu angkat barang, aku yang antar ke dalam." Asha bahkan tak bisa membela dirinya sendiri di hadapan orang-orang, karena memang begitu kenyataannya.
"Kalo kalian inget, dulu waktu ustadzah Hamnah sama suaminya baru dateng, mereka bahkan sempet ngira aku istrinya beliau, saking apa-apa harus sama aku." lanjutnya dengan menggigit bibir bawahnya.
Rayna langsung memeluk Asha. "Sha, kamu gak salah. Kamu cuma terjebak dalam posisi yang gak adil." ia juga ikut kesal jika ustadz Alam selalu meminta Asha yang melayaninya, untuk apa ada bu Ina dan bu Sulis jika semuanya harus dilakukan oleh Asha.
"Oh iya, bingkisan yang dikasih sama beliau kalian udah liat?" tanya Rayna teringat akan bingkisan ynag diberikan ustadz Alam tadi.
Kedua temannya menggeleng, menandakan mereka belum membuka bingkisan yang diberikan oleh pria 47 tahun tersebut.
"Buka dulu yuk, aku penasaran," ajak Rayna pada kedua temannya, yang diangguki oleh mereka.