Menjelang hari pernikahannya, Amara menghilang tanpa jejak. Dengan waktu yang semakin sempit, keluarga calon pengantin pria mendesak agar pernikahan tetap berlangsung demi nama baik. Helena, adik Amara yang diam-diam mencintai tunangan kakaknya, Lucian, dipaksa menjadi pengantin pengganti.
Namun ketika ia menerima peran itu dengan hati yang penuh luka, Helena menemukan jejak kejanggalan: apartemen Amara yang terlalu rapi, koper yang tertinggal, dan waktu yang tidak sinkron dengan hari hilangnya Amara. Semakin ia melangkah ke dalam pernikahan, semakin besar pula misteri yang membayangi keluarga mereka.
Jejak-jejak ganjil tentang hilangnya Amara membuat Helena ragu: apakah ia sedang mengambil tempat seorang pengantin yang kabur, atau menggantikan seseorang yang sudah tak akan pernah kembali?
.
Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar hanyalah fiktif belaka, tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
follow ig: @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Lucian membawa Helena ke sudut yang biasa-biasa saja. Ia duduk dan tidak mengatakan apapun, wajahnya tetap datar dan dingin.
"Ada apa, Lu? Tadi kau bilang akan mengenalkan aku pada beberapa orang, sekarang kenapa kita hanya duduk disini?" Tanya Helena heran.
Lucian menyeringai sinis. "Mengenalkanmu? Itu tidak mungkin. Kau hanya pengganti disini, sadarlah dengan posisimu. Jangan mendekati adikku."
Helena tercengang. Lucian memang sangat pintar membuat orang sakit hati. Lagipula ia tidak bermaksud mendekati Sabrina ataupun Alfred, mereka yang mendekatinya.
"Tapi kurasa aku cocok mengobrol dengan Alfred, dia orang yang hangat." Helena memuji Alfred karena kesal dengan Lucian. Tapi itu benar, Alfred hangat dan pintar mencairkan suasana, berbeda jauh dengan Lucian yang dingin dan kaku.
Mata Lucian berkilat marah, tidak suka mendengar kata-kata Helena barusan. Ia mendengus kemudian mengabaikan Helena sepenuhnya.
Pesta ulang tahun kian meriah setelah acara potong kue. Tamu-tamu larut dalam obrolan ringan, beberapa berdansa diiringi musik lembut. Helena duduk di samping Lucian, berusaha menjaga senyum meski ia bisa merasakan jarak yang masih menganga di antara mereka. Lucian tidak banyak bicara, hanya sesekali menanggapi percakapan orang lain dengan sikap formal, dingin, dan terkendali.
"Aku akan kesana sebentar, mengucapkan selamat ulang tahun pada Sabrina." Kata Helena melihat sudah tidak begitu banyak orang disekitar Sabrina.
"Tidak perlu." Lucian menariknya untuk kembali duduk.
"Kenapa?"
"Aku sudah mewakilkannya."
Helena terbelalak kaget, ia datang kemari tetapi Lucian memberi ucapan selamat ulang tahun pada Sabrina atas namanya. Sungguh tidak terduga, Helena hanya mengangguk membiarkan Lucian melakukan apa yang dia mau.
Begitu Sabrina selesai menerima ucapan selamat dari tamu terakhir, Lucian mendekat ke telinga Helena. Suaranya datar, tanpa intonasi kehangatan.
“Kita pulang sekarang.”
Helena menoleh, agak ragu. “Tapi acaranya belum benar-benar selesai…”
Tatapan Lucian menusuk, membuat kata-kata Helena terhenti. “Aku bilang kita pulang,” ucapnya pelan namun tegas.
Tanpa memberi kesempatan untuk berdebat, Lucian bangkit dan memberi isyarat pada Helena. Ia berpamitan singkat pada keluarganya dan kedua orang tua Helena. Gaby sempat menahan Helena sebentar, memeluknya sambil berkata lembut, “Kau harus sering-seringlah main ke sini, ya.”
Helena hanya bisa mengangguk dan tersenyum tipis. Sabrina juga memeluknya erat. “Terima kasih sudah datang. Aku benar-benar senang,” bisiknya.
Sementara kedua orangtuanya hanya tersenyum lebar dan mengingatkan Lucian untuk menjaga Helena dengan baik.
Begitu keluar rumah, udara malam terasa lebih dingin. Lucian berjalan mendahului, langkahnya mantap, tidak menoleh. Helena mengikuti dari belakang.
Di dalam mobil, suasana sunyi. Lucian menyalakan mesin tanpa sepatah kata. Cahaya lampu jalan berkelebat melewati kaca, menciptakan bayangan-bayangan samar di wajahnya yang keras dan tak terbaca.
Helena menggenggam tangannya sendiri di pangkuan, ragu untuk membuka suara. Ia akhirnya memberanikan diri. “Lucian… apa aku melakukan sesuatu yang salah?” suaranya pelan, hampir seperti bisikan.
Lucian tidak langsung menjawab. Rahangnya mengeras, matanya tetap lurus ke depan. Hanya setelah beberapa detik yang terasa panjang, ia berkata dingin:
“Jangan tanyakan itu sekarang."
Helena tercekat. Kata-kata itu sederhana, tapi nada suaranya membuat jantung Helena berdegup semakin keras. Rasanya ia tidak melakukan kesalahan di pesta tadi namun mengapa wajah Lucian menjadi sangat tidak sedap di pandang sekarang.
Mobil melaju menembus jalanan malam, hanya diiringi suara mesin dan sesekali desiran angin yang menerpa kaca. Helena duduk terpaku di kursinya, menatap keluar jendela, sesekali melirik Lucian. Tatapan pria itu lurus ke depan, wajahnya tak menunjukkan emosi apa pun. Dingin, tak tersentuh.
Keheningan itu terasa menekan dada Helena. Ia menggenggam jemari tangannya sendiri, menimbang-nimbang. Kata-kata sudah berputar di kepalanya sejak sore tadi, tapi ia terus ragu apakah harus diucapkan sekarang.
Namun akhirnya, Helena menarik napas panjang dan memberanikan diri.
“Lucian… apa kau tahu sesuatu tentang rumor Amara? Beberapa orang mengatakan dia kembali, apa kau sudah bertemu dia?”
Sejenak mobil tetap melaju, seakan pertanyaan itu tertelan oleh deru mesin. Lalu, tiba-tiba Lucian menginjak rem. Mobil berhenti mendadak di pinggir jalan yang sepi, hanya diterangi lampu jalan yang redup.
Helena menoleh, terkejut sekaligus gugup.
Lucian perlahan menggeser pandangannya, menatap Helena. Sorot matanya dalam, dingin, dan sulit ditebak. Ia tidak segera menjawab. Hanya diam, membiarkan Helena tenggelam dalam tatapannya.
Helena merasa tubuhnya kaku. Tatapan itu seakan menguliti pikirannya, membuatnya menyesali pertanyaan yang baru saja keluar.
“Lucian…” suaranya bergetar, mencoba memecah kebisuan.
Tapi pria itu hanya menarik napas dalam, bersandar ke jok mobil, lalu kembali menatap jalan. Ia menyalakan mesin tanpa memberi jawaban, seolah pertanyaan Helena tak pantas diucapkan.
Mobil kembali melaju, meninggalkan Helena dengan perasaan bercampur: takut, bingung, dan sedikit curiga.
Setelah berkendara cukup lama, mobil berhenti di halaman rumah dengan suara mesin yang perlahan mereda. Helena turun dengan hati yang berat, sementara Lucian langsung melangkah masuk tanpa menoleh. Pintu depan ditutup rapat, meninggalkan gema singkat di ruang tamu yang sunyi.
Helena mengikuti dari belakang, perasaan canggung menyelimuti. Ia berharap keheningan sepanjang perjalanan pulang akan berakhir begitu mereka tiba, tapi nyatanya Lucian tetap dingin.
Pria itu melepas jasnya, meletakkannya di sandaran kursi, lalu berdiri tegak beberapa langkah darinya. Wajahnya masih kaku, sorot matanya dingin seperti es yang tak bisa ditembus.
Helena ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahnya kelu. Ia hanya menunduk, berharap ada sedikit celah untuk kehangatan. Namun yang datang justru kata-kata datar, tegas, nyaris seperti perintah.
“Helena,” ucap Lucian akhirnya, suaranya rendah namun penuh tekanan. “Jangan terlalu dekat dengan Alfred.”
Helena mendongak, terperangah. “Kenapa…?”
Lucian menatapnya lama, tatapan yang sulit diartikan. Ada sesuatu yang seakan ingin ia katakan, tapi ditahan. Bibirnya hanya bergerak sedikit, seolah menahan kata-kata yang lebih dalam.
“Karena aku bilang begitu,” jawabnya singkat.
Tanpa menunggu reaksi Helena, Lucian berbalik dan menaiki tangga, meninggalkan Helena sendirian di ruang tamu yang remang. Suara langkahnya menjauh, menyisakan keheningan yang kian menekan.
Helena terdiam, bingung dengan sikap Lucian. Kalimat Lucian berputar-putar di kepalanya. Jangan terlalu dekat dengan Alfred.
Apa maksudnya? Kenapa tidak boleh?
Dan setelah merenung cukup lama, Helena tidak menemukan jawaban atas pertanyaannya. Alfred baik, hangat, ramah, bukankah dia pantas dijadikan seorang teman? Kenapa Lucian melarangnya dekat dengan Alfred?
...***...
...Like, komen dan vote....
...💙💙💙...