Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2•Lorong yang Tidak Pernah Berujung
...Lorong yang Tidak Pernah Berujung...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
,
Udara di lantai dua asrama tua itu selalu terasa berbeda. Lembap, berat, dan entah mengapa, selalu ada sedikit sentuhan dingin yang merayap di kulit, bahkan di tengah hari terik sekalipun. Aku, Arya, sudah lima bulan menghuni kamar 207, dan selama itu, lorong di depan kamarku selalu menjadi sumber kegelisahan samar. Bukan karena gelap—lampu pijar kuning selalu menyala—tapi karena seolah tak ada ujungnya.
Setiap kali aku keluar kamar, mataku pasti menyusuri lorong itu ke kanan dan ke kiri. Ke arah kiri, ia seharusnya berakhir di tangga darurat dan pintu keluar belakang. Ke arah kanan, seharusnya berujung pada area umum, kamar mandi, dan tangga utama. Tapi entah kenapa, visualnya selalu terasa seperti perpanjangan yang tak berujung. Seolah ada cermin di ujung sana yang memantulkan lorong itu sendiri, menciptakan ilusi optik yang membingungkan. Aku pernah mencoba menghitung langkah sampai ujung, tapi selalu kehilangan jejak. Angka-angka di kepalaku buyar, dan aku mendapati diriku berdiri di tengah-tengah, bingung.
“Kamu sering banget natap lorong itu, Ya,” suara lembut Santi, penghuni kamar 208, seringkali memecah lamunanku. Ia selalu tersenyum tipis, matanya memancarkan keramahan yang menenangkan. “Kayak ada sesuatu di sana.”
Aku hanya tertawa canggung. “Iya, aneh aja, San. Kayak nggak ada habisnya.”
Santi hanya mengangguk pelan, seolah memahami, tapi tidak pernah berkomentar lebih jauh.
Suatu malam, sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun karena haus yang luar biasa. Lampu kamar mandi umum di ujung lorong sebelah kanan terlihat menyala samar dari celah pintu kamarku. Aku menghela napas, menyeret kakiku keluar.
Ketika aku melangkah ke lorong, dingin itu menusuk lebih dalam. Kulihat ke kanan, lampu kamar mandi itu menyala. Kulihat ke kiri, ujung lorong yang seharusnya mengarah ke tangga darurat, malah terasa semakin jauh. Aku berkedip, mencoba fokus. Mungkin mataku masih buram karena kantuk.
Aku memutuskan untuk ke kanan saja. Setiap langkah terasa aneh. Lantai kayu di bawah kakiku berderit dengan irama yang tak biasa, seolah ada gema langkah lain yang menyertainya. Jantungku mulai berdebar. Semakin aku melangkah, semakin lampu kamar mandi itu terasa tidak mendekat. Justru, lorong itu terasa semakin panjang, dihiasi pintu-pintu kamar yang sama persis, tanpa ada variasi sedikit pun. Kamar 209, 210, 211… semua tampak sama.
Panik mulai merayapi. Aku berbalik, ingin kembali ke kamar 207. Tapi, ketika aku menoleh ke belakang, lorong itu masih memanjang, kosong, tanpa ada tanda-tanda kamar 207. Napas mulai memburu. Aku berlari. Berlari sekencang-kencangnya ke arah yang seharusnya mengarah ke kamarku, tapi lorong itu seolah menertawakanku, terus membentang tanpa akhir.
Tiba-tiba, dari salah satu celah pintu di depanku, terdengar isak tangis samar. Aku berhenti, jantungku berdegup kencang di dada. Suara itu semakin jelas, isak tangis seorang wanita. Rasa takut dan penasaran bercampur aduk. Perlahan, aku mendekati pintu yang bernomor 215. Tangisan itu datang dari sana.
Aku mengetuk pelan. “Permisi? Apa ada yang butuh bantuan?”
Tangisan itu berhenti. Hening sejenak. Lalu, suara berbisik pelan, serak, seperti daun kering bergesekan, terdengar dari balik pintu. “Jangan pernah mencoba menemukan ujungnya…”
Tiba-tiba, pintu terbuka sedikit, menampakkan kegelapan pekat di dalamnya. Sebuah tangan kurus, pucat, dengan kuku panjang yang kotor, mencengkeram kusen pintu. Aku mundur selangkah, napas tertahan di tenggorokan.
“Lorong ini… tidak akan pernah berujung untukmu,” bisik suara itu lagi, sekarang terdengar lebih dekat, seolah melayang di udara.
Aku menjerit dan berbalik, berlari tanpa arah. Ke kiri, ke kanan, aku tak tahu lagi. Hanya ada lorong, lorong, dan lorong. Pintu-pintu yang sama. Bau apak yang semakin kuat. Dingin yang menusuk hingga ke tulang. Aku merasa terjebak dalam lingkaran setan.
Ketika kakiku terasa sangat berat dan napasku hampir habis, aku melihat sekelebat cahaya. Cahaya putih terang yang kontras dengan kuning remang-remang lorong. Aku berlari menuju cahaya itu. Itu adalah sebuah pintu. Pintu keluar darurat. Dengan seluruh sisa tenaga, aku mendorongnya.
Dorongan itu terasa berat, seperti melawan arus yang kuat. Tapi akhirnya, pintu itu terbuka. Aku terhuyung keluar, menghirup udara segar yang dingin. Aku berada di halaman belakang asrama, di depan tangga darurat.
Napasku masih terengah-engah, jantungku berdetak tak karuan. Aku melihat kembali ke pintu yang baru saja aku lewati. Itu adalah pintu darurat. Pintu keluar menuju kebebasan.
Aku merasa lega luar biasa, tapi juga ada rasa mual yang melilit perut. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa lorong itu…
Aku mendongak. Di atas kepalaku, jendela-jendela kamar asrama berjejer rapi. Dan salah satunya, jendela kamar 208, yang seharusnya adalah kamar Santi, kini terbuka sedikit. Aku melihat sesosok bayangan samar di baliknya. Bayangan itu tampak seperti Santi.
Tapi kemudian, sesuatu yang aneh terjadi. Bayangan itu perlahan mulai berubah. Bentuknya menjadi tidak jelas, samar, seolah terbuat dari asap. Dan perlahan-lahan, bayangan itu mulai bergerak, tidak seperti manusia, melainkan seperti bayangan yang merefleksikan bayangan lain.
Aku mengerutkan kening. Apa-apaan ini?
Tiba-tiba, dari dalam lorong, dari balik pintu darurat yang masih sedikit terbuka, terdengar bisikan. Suara Santi.
“Kamu sudah tahu, kan, Arya?” bisiknya, terdengar jelas namun entah mengapa terasa jauh. “Lorong ini memang tidak pernah berujung. Dan kamu tidak pernah benar-benar meninggalkannya.”
Rasa dingin yang lebih pekat dari sebelumnya merayapi tubuhku. Aku menoleh perlahan ke arah pintu darurat. Dari celahnya, yang seharusnya menampilkan kegelapan malam di dalam asrama, kini terlihat… lorong yang sama. Lorong yang tanpa ujung, dengan pintu-pintu yang identik, memanjang ke kedua arah.
Dan di tengah-tengah lorong itu, berdiri Santi. Ia tidak tersenyum. Wajahnya pucat, matanya kosong. Tangannya menggenggam sesuatu. Sebuah cermin kecil yang sudah usang.
“Kita semua ada di sini, Arya,” bisiknya, suaranya kini terdengar seperti puluhan suara yang bertindihan. “Sudah sangat lama. Sejak asrama ini dibangun. Sejak cermin ini ditemukan.”
Mataku membelalak. Cermin?
Aku melangkah mundur, kakiku terasa kaku. Pandanganku tertuju pada cermin di tangan Santi. Bukan cermin biasa. Itu adalah cermin kuno, dengan ukiran-ukiran aneh di sekelilingnya, dan bagian kacanya tampak buram, seolah menampilkan pantulan yang tidak jelas.
Santi mengangkat cermin itu sejajar dengan matanya, dan di pantulan cermin itu, bukan wajahnya yang terlihat, melainkan pantulan lorong yang sama, memanjang tanpa batas. Dan di tengah-tengah pantulan lorong itu, terlihat aku. Arya. Berdiri di halaman belakang, menatapnya dengan ketakutan.
“Kami adalah pantulan, Arya. Dan lorong ini adalah ruang refleksi. Setiap kali ada yang masuk, ia terjebak. Menjadi bagian dari pantulan. Menjadi bagian dari kami.” Santi tersenyum tipis, senyuman yang kini terasa sangat dingin dan mengerikan. “Selamat datang di rumah barumu. Lorong ini takkan pernah berujung, dan kamu takkan pernah bisa keluar dari cermin ini.”
Aku menoleh ke belakang, ke halaman asrama. Tidak ada lagi jalan keluar. Hanya dinding-dinding tinggi yang mengelilingi. Dan di depanku, Santi, pantulan, mengangkat cermin itu lebih tinggi. Di dalamnya, terlihat lorong yang sama, tak berujung, dan di sanalah aku akan selamanya terperangkap.
Aku hanyalah pantulan baru, terperangkap di dalam cermin usang yang menelan jiwa-jiwa yang tersesat di "Lorong yang Tidak Pernah Berujung". Aku berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar. Hanya gema dari isak tangis yang pernah aku dengar, yang kini adalah isak tangisku sendiri, bergema tanpa henti di dalam lorong pantulan yang takkan pernah berakhir.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...