"Harusnya dulu aku sadar diri, bahwa aku sama sekali nggak pantas untuk kamu. Dengan begitu, mungkin aku nggak akan terluka seperti sekarang ini" ~Anindhiya Salsabila
Tindakan bodoh yang Anin lakukan satu tahun yang lalu adalah menerima lamaran dari cowok populer di sekolahnya begitu saja. Padahal mereka sama sekali tidak pernah dekat, dan mungkin bisa dikatakan tidak saling mengenal.
Anin bahkan tidak memikirkan apa yang akan terjadi kedepannya. Hingga cowok dingin itu sama sekali tidak pernah mengajak Anin berbicara setelah meminta Anin untuk menjadi istrinya. Mereka hanya seperti orang asing yang tinggal di atap yang sama.
--------------------------------------------------------------------------
Bagaimana mungkin aku hidup satu atap dengan seorang pria yang bahkan tidak pernah mengajakku berbicara? Bagaimana mungkin aku hidup dengan seorang suami yang bahkan tidak pernah menganggapku ada?
Ya, aku adalah seorang gadis yang tidak dicintai oleh suamiku. Seorang gadis yang masih berusia sembilan belas tahun. Aku bahkan tidak tau, kenapa dulu dia melamarku, menjadikan aku istrinya, kemudian mengabaikanku begitu saja.
Terkadang aku lelah, aku ingin menyerah. Tapi entah kenapa seuatu hal memaksaku untuk bertahan. Aku bahkan tidak tau, sampai kapan semua ini akan menimpaku. Aku tidak tau, sampai kapan ini semua akan berakhir.
~ Anindhiya Salsabila~
Mau tau gimana kisah Anindhiya? Yuk cuss baca.
Jangan lupa like, komen dan vote ya. Jangan lupa follow ig Author juga @Afrialusiana
Makasih :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Afria Lusiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 2
Namun, suatu ketika, kejadian yang tidak pernah di duga menimpa Anin. Di mana, di hari itu, salah satu teman kelas Anin tidak sengaja membaca buku diary Anin yang tertinggal di dalam kelas. Buku diary yang berisikan tentang isi hati Anin pada Stevan.
Semenjak saat itu, Anin di bully habis-habisan. Gadis itu sering dibilang tidak tahu diri dan tidak tahu malu karena menyukai laki-laki seperti Stevan. Laki-laki yang bagi mereka terlalu sempurna untuk dimiliki. Karena bagi mereka, Anin tidak pantas menyukai pria se sempurna Stevan.
"Lo liat tuh si Anin. Nggak tau diri banget ya itu anak. Udah untung bisa sekolah disini, tapi dengan nggak tau malunya malah ngarepin Stevan. Haduh punya kaca nggak sih? Heran deh gue!"
"Eh jadi ini. Si Anindhiya yang masuk ke sekolah ini karena beasiswa, tapi saking nggak tau dirinya sukanya sama Stevan idola sekolah kita? Hello! Situ waras?"
*Setiap hari Anin selalu mendengarkan hinaan-hinaan seperti itu sejak isi Diarynya tersebar. Namun, Anin selalu berusaha untuk kuat. Anin selalu meyakinkan diri sendiri setiap kali ia ingin menyerah.
Dan Anin, tidak akan menyia-nyiakan waktu. Anin sudah mulai melangkah untuk mencapai cita-citanya. Dan Anin tidak ingin berhenti begitu saja. Setiap hari, Anin harus mempertebal telinganya mendengar nyinyiran-nyinyiran dari anak orang kaya tersebut*.
Tapi terkadang Anin juga berfikir. Anin tau, Anin sadar, dan semua anak-anak di sekolah ini memang tau bahwa Anin bukanlah anak orang kaya seperti mereka semua. Tapi apakah salah, apakah salah jika Anin menyukai dan mengagumi Stevan?
Anin hanya suka, Anin hanya tertarik, gadis itu bahkan tidak mengganggu ketenangan Stevan. Anin hanya bercerita lewat buku diarynya. Bukan menyebarkan kepada semua orang, Anin tidak mengganggu siapa-siapa. Tapi apakah Anin masih salah? Segitu rendahkah Anin? Sampai mereka mengatakan bahwa Anin tau malu hanya karena menyukai Stevan?
Entahlah, sekalipun Anin berfikiran bahwa itu semua tidak salah. Tapi tetap saja. Mereka semua akan menganggap Anin tidak pantas menyukai Stevan yang begitu sempurna dan memiliki segalanya. Meskipun sejatinya tidak ada yang sempurna di dunia ini.
***
*Hingga suatu ketika, entah nasib baik apa yang tiba-tiba berpihak pada Anin. Saat Anin sudah menginjak kelas tiga SMA. Di saat hari kelulusan Anin, saat semua siswa tengah berkumpul di depan mading sekolah untuk melihat kelulusan mereka, tiba-tiba saja Stevan mengatakan cintanya pada Anin.
Bukan, bukan hanya mengatakan cinta, namun pria itu melamarnya. Stevan melamar Anin di depan semua siswa secara tiba-tiba*.
*Pada saat itu, bukan hanya semua siswa yang dibuat kaget akan pengakuan Stevan. Tapi Anin juga. Anin sama sekali tidak percaya. Mereka bahkan tidak pernah dekat, tidak pernah mengenal. Tapi kenapa? Ada apa ini?
Anin sempat mengira ini semua hanyalah mimpi dan khayalannya semata. Tapi pada kenyataanya itu semua benar-benar nyata. Stevan mengungkapkan perasaannya benar-benar terlihat serius*.
*Pria itu bahkan meyakinkan Anin, bahwa dirinya mencintai Anin. Entahlah, Anin memang benar-benar merasa bahagia. Hingga saat itu Anin bahkan tidak bisa bisa berfikir jernih.
Anin tidak memikirkan bagaimana mungkin seorang Stevan yang tidak mengenali dirinya bisa menyukai Anin begitu saja? Namun, fikiran Anin saat itu tidak sampai kesana. Kebahagiaan yang tiba-tiba itu membuat Anin tak berfikir panjang. Anin bahkan menerima Stevan saat itu juga*.
"Anindhiya" Panggil seorang laki-laki dari arah belakang saat Anin tengah sibuk mencari namanya di daftar siswa yang lulus di depan mading.
Anin dan semua siswa yang ada disana menoleh bersamaan. Anin sempat menoleh ke arah sekitar, kekiri dan ke kanan. Gadis itu bingung. Siapa yang dipanggil oleh laki-laki yang sangat ia tau itu. Apa Anin salah dengar? Apa benar, pria yang ada di depan Anin ini memanggil namanya?
"Ka-kamu manggil aku?" Tanya Anin gugup menunjuk dirinya sendiri.
Kini, pandangan semua siswa yang ada di sana terfokus pada Stevan yang tampak berjalan mendekat ke arah Anin. Semuanya kaget, dan tidak percaya.
"Lo Anin kan?" Tanya Stevan setelah pria itu berada tepat di hadapan Anin.
"I-iya. Aku Anin" Sahut Anin gugup. Gadis itu tidak percaya, jantung Anin berdetak kencang. Anin salah tingkah, ini adalah kali pertama Anin berbicara dengan Stevan. Pria populer yang ia suka di sekolahnya.
"Mungkin lo nggak tau sama gue. Tapi gue sangat tau sama lo" Pengakuan Stevan membuat para siswa saat itu kaget bukan main.
"Ma-ksud kamu?" tanya Anin gugup.
"Kenalin, gue Stevan. Gue kelas Duabelas Mipa 5. Gue tau lo udah lama. Dan gue diam-diam suka ngikutin lo. Karena sebenarnya gue suka sama lo."
"What?" Pekik salah satu siswa yang berada di sana. Kini siswa lain sudah ramai mengelilingi Anin dan juga Stevan karena penasaran.
"Stev, lo lagi mimpi?"
"Enggak enggak. Stev, lo lagi ngepreng dia kan? Lo mau ngerjain dia kan Stev?"
"Omaigat Stevan, enggak enggak. Lo nggak boleh ngomong gitu, lo nggak boleh jatohin harga diri lo hanya karena perempuan seperti dia"
"Stev sadar! Sejak kapan Stevan yang begitu angkuh dan songong kaya gini?"
Sorokan-sorakan itu terlontar sangat jelas dan berhasil dicerna baik oleh Anin. Jujur saja, hati Anin terluka mendengar omongan mereka semua. Anin tidak tahan, gadis itu hendak pergi dari sana, namun tangan Stevan dengan cepat menarik kembali tangan Anin.
"Jangan pergi, nggak usah peduliin mereka. Gue mau ngomong sesuatu sama lo" Ucap Stevan.
Anin kembali menoleh ke arah belakang. Sementara Stevan menarik tangan Anin perlahan hingga kini posisi mereka saling berhadapan. Stevan menggenggam erat kedua tangan Anin.
"Anin, gue tau kita nggak pernah kenal. Gue tau kita nggak pernah dekat, gue tau kita nggak pernah jalan bareng, gue tau kita nggak pernah ngomong sebelumnya. Tapi selama ini gue tau sama lo dan gue suka sama lo udah lama. Anin, gue mau menjalin hubungan sama lo. Tapi bukan pacaran kaya mereka pada umumnya. Gue mau lo jadi istri gue Nin" Ucap Stevan tanpa ragu.
Mata Anin membulat, gadis itu benar-benar tidak percaya, begitu juga dengan seluruh siswa yang ada di sana.
"Kamu salah. Bahkan selama ini aku yang sangat tau dan mencintai kamu dalam diam." Lirih Anin dalam hati.
Stevan memang tidak tahu tentang diary Anin yang tersebar, karena pria yang terkesan angkuh itu memang tidak pernah mau tau tentang apapun di sekolah itu.
"Stev, tapi aku..."
"Gue tau lo mau lanjut kuliah kan? Gue juga gitu. Kita akan tetap kuliah sama-sama. Kita masih bisa kuliah" Potong Stevan sebelum Anin menyelesaikan ucapannya.
"Bukan itu masalahnya. Tapi aku Stev..."
"Lo nggak perlu mikirin omongan orang. Nggak guna, yang akan ngejalanin hidup kita bukan mereka. Jadi nggak usah di ambil hati, bodoamat aja. Ntar mereka juga capek sendiri" Ucap Stevan.
"Nggak nggak lo gila Stev. Lo gila. ini nggak mungkin" Ucap salah satu siswa. Namun, Stevan bahkan tidak memperdulikan itu semua. Stevan segera menarik tangan Anin untuk segera menjauh dari mereka semua.
tinggalin saja laki kek gt, harga diri lah.. terlalu lemah
boleh tanya kah mbak gimana buat novel biar cepet dan konsisiten