Sebagai seorang putra mahkota Kekaisaran Tang, sudah selayaknya Tang Xie Fu meneruskan estafet kepemimpinan dari ibunya, Ratu Tang Xie Juan.
Namun takdir tidak berpihak kepadanya. Pada hari ulang tahun dan penobatannya sebagai seorang kaisar, terjadi kudeta yang dipimpin oleh seorang jenderal istana. Keluarga besarnya tewas, ibunya dieksekusi mati, dan kultivasinya dihancurkan.
Dengan cara apa Tang Xie Fu membalaskan dendamnya?
Ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muzu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Raksasa dan Simbol Kuno
Lubang pembuangan mayat terlihat seperti lubang sumur pada umumnya, tetapi ruang di dalamnya menyerupai sebuah kolam besar yang sanggup menampung sampai seribu mayat yang dilemparkan dalam satu waktu. Sesuai dengan namanya, lubang pembuangan mayat atau bisa juga disebut sebagai kolam mayat dibangun untuk membuang mayat yang telah dieksekusi mati.
Xie Fu menjadi yang pertama dilempar dalam kondisi masih hidup.
Tak lama kemudian, Xie Fu kembali sadar tatkala ia merasakan adanya minyak hitam tertumpah mengenai wajahnya. Ia menoleh ke sisi ibunya dan tersentak mendapati tubuh-tubuh tanpa kepala dari keluarga besarnya bertumpukkan di kolam mayat. Sebagian besar dari mayat yang terlihat dalam kondisi bengkak oleh sebab pembusukan.
Adapun minyak hitam yang mengenai tubuhnya merupakan minyak yang biasa digunakan untuk proses pembakaran mayat. Xie Fu bingung bagaimana cara ia keluar dari kolam mayat dengan kondisinya yang memprihatinkan?
"Aku tidak boleh mati," gumamnya bertekad.
Kedua tangan dan kakinya tak dapat ia gerakkan setelah meridiannya dilumpuhkan oleh Tetua Zhao. Ia pun berusaha keras menggerakkan punggungnya dengan menekan tubuh dan memanfaatkan licinnya minyak agar bisa bergerak di antara tumpukan mayat.
Akan tetapi, yang terjadi berikutnya justru membuat tubuhnya terjepit di antara tubuh-tubuh yang membusuk. Nahas, ia malah mempersulit diri. Dan kini ia kesulitan bernapas setelah cairan minyak menyumbat pernapasannya. Seperti ikan di darat, Xie Fu bernapas melalui mulutnya. Itu pun sulit karena ketika ia membuka mulut untuk menghirup oksigen, cairan minyak ikut tertelan. Berkali-kali pula ia tersedak karenanya.
Detik berikutnya terlihat cahaya terang meluncur jatuh dari atas. Kedua mata Xie Fu membulat. Cahaya terang yang dilihatnya itu merupakan api yang dilemparkan untuk membakar mayat.
Xie Fu gelagapan melihat jatuhnya api yang akan membakar semua jasad di kolam mayat. Namun apa daya, ia tak memiliki kekuatan untuk menghindarinya. Lidah api merambat cepat melahap tumpukan jenazah tanpa ampun. Ia hanya bisa menjerit histeris merasakan panasnya api yang mulai membakar kepalanya. Jeritannya menggema di dinding kolam hingga lenyap tertelan gemuruh kobaran api yang menyala.
Akan tetapi, semesta berkehendak lain. Alam menurunkan badai salju yang seketika itu juga meredam amukan api. Nyawa Xie Fu tertolong, tetapi wajahnya terlanjur rusak oleh lidah api yang menjilatinya. Kondisinya sungguh mengenaskan. Beruntungnya sebagian besar tubuhnya tak tersentuh jilatan api oleh sebab terjepit di antara tumpukan mayat.
Meskipun demikian, nyawanya masih terancam. Amukan api kini berganti dengan dinginnya udara yang menusuk hingga ke tulang sumsum. Tubuh Xie Fu membeku seiring dengan tumpukan salju yang terus masuk melalui lubang pembuangan dan menciptakan lapisan es yang menggumpal.
Lambat laun lapisan es meleleh, mengapungkan mayat-mayat ke permukaan, dan menenggelamkan Xie Fu ke dasar kolam yang dipenuhi tulang belulang dari orang-orang yang telah dieksekusi mati.
Tiba-tiba saja sebuah pusaran muncul di tengah tumpukan tulang belulang, dan menghisap tubuh Xie Fu masuk ke dalamnya. Ia terlempar memasuki sebuah ruang rahasia berukuran cukup luas. Di dalamnya terdapat tengkorak seorang manusia raksasa yang duduk dalam posisi lotus, dan di depannya terdapat sebuah kitab pusaka yang terbuka beberapa halaman. Tampak sang raksasa itu mati ketika sedang membaca.
Xie Fu baru tersadar setelah genangan air sepenuhnya surut. Ia terbatuk keras memuntahkan banyak air bercampur minyak. Wajahnya tak lagi sama seperti seorang pangeran. Sebagian besar kulit wajahnya melepuh, dan nyaris sulit dikenali. Ia pun kesulitan untuk membuka kedua mata karena kelopak matanya ikut melepuh. Sungguh tragis nasib yang dialaminya. Biarpun begitu, ia masih tetap hidup.
Butuh beberapa waktu bagi Xie Fu untuk bisa melihat dalam kondisi seperti itu. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kusam dengan banyak lubang yang menganga. Ia kemudian menolehkan wajah memperhatikan sekitarnya. Tatapannya terpatri pada sosok raksasa yang berjarak dua tombak darinya.
“Ternyata raksasa benar-benar ada,” gumamnya.
Xie Fu menyeret tubuhnya menggunakan punggung agar lebih dekat dengan raksasa yang ditemukannya. Namun, arah pandangnya teralihkan pada kitab kuno yang terbuat dari sisik, mirip seperti sisik ikan, tetapi berdiameter puluhan kali lipat dari sisik ikan pada umumnya.
Di tengahnya terdapat simbol-simbol aneh yang terukir. Abstrak dengan pola yang simetris dan unik. Sebagai seorang pangeran yang kenyang melahap berbagai kitab di perpustakaan istana, Xie Fu memilih untuk mengamati simbol di dalam kitab daripada mengamati sosok tengkorak raksasa yang sedang duduk dalam diam.
Sorot matanya berbinar memperhatikan tiap simbol yang harus diterjemahkannya dengan tepat. Meskipun ia harus mengamatinya dengan posisi terlentang dan kepala miring.
"Matahari membeku, bulan meleleh. Lembut menyakiti, keras melindungi. Mata tak pernah melihat, cahaya yang memperlihatkan. Telinga tak pernah mendengar, gelombanglah yang menyiratkan. Lidah tak pernah merasa, senyawalah yang merasakan," ujarnya menerjemahkan beberapa simbol.
"Semuanya terasa masuk akal. Kitab apa ini sebenarnya?" Xie Fu terus mengamati simbol-simbol yang terukir. Setiap kali ia mampu mengungkapkan artinya, simbol-simbol itu berubah menjadi serpihan yang berterbangan.
Simbol-simbol yang terukir dalam kitab yang diamatinya bukanlah mantra sihir, bukan pula jurus-jurus hebat para legenda kultivator, melainkan susunan hirarki yang saling berkaitan dan memiliki esensi nilai-nilai dari sumber daya kehidupan yang ada.
"Kenapa nasibku tidak seperti dalam cerita? Biasanya seorang pahlawan akan menemukan guru hebat atau jurus hebat yang membawanya ke tingkat puncak dan menjadi legenda. Yang kutemukan malah tengkorak raksasa dengan kitab anehnya," keluhnya di sela pengamatannya.
Entah sudah berapa lama ia menghabiskan waktu mengamati isi dari kitab itu? Xie Fu tampak seperti mayat hidup. Tubuhnya sangat kurus, hanya menyisakan tulang yang dilapisi kulitnya yang pucat.
Meskipun demikian, ia masih hidup dalam kondisi tubuh yang mati. Ajaib. Simbol-simbol kuno yang telah dikhatamkannya seperti esensi kehidupannya sendiri.
Meridian yang lumpuh tak lagi menghambatnya untuk menggerakkan bagian tubuhnya yang lumpuh. Jemari tangannya yang mati rasa, bisa ia rasakan kembali. Begitu pun dengan anggota tubuhnya yang lain, kini mulai dapat dirasakannya kembali.
Kuku tangannya yang panjang dapat merasakan kontur tanah. Perlahan ia coba untuk bangkit. Gemeretak suara tulang di tangannya menyiratkan sendi-sendi di tubuhnya kembali berfungsi.
“Akhirnya aku bisa duduk,” ucapnya setelah berhasil mengangkat tubuh dengan menopang pada kedua tangannya.
Selanjutnya ia tekuk kedua kakinya dan merentangkan kedua tangan untuk menjaga keseimbangan. Perlahan-lahan tubuhnya diangkat, semakin tinggi sampai tubuhnya tegap dengan sempurna. Berhasil.
Akan tetapi, begitu ia melangkah … tiba-tiba saja tulang kakinya patah dan keluar menembus kulit.
“Ah …!” jerit Xie Fu tak kuat melihatnya. Ia pun roboh dan menghantam tengkorak raksasa yang akhirnya terberai tulang belulangnya.
“Guru … Pangeran Xie Fu siuman!” teriak seorang murid sekte yang berjaga di ruang pengobatan.
jawab gitu si Fan ini tambah ngamuk/Facepalm/