NovelToon NovelToon
Beauty To Crystal

Beauty To Crystal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Ketos / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Anak Lelaki/Pria Miskin / Romansa
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Reenie

Di atas kertas, mereka sekelas.
Di dunia nyata, mereka tak pernah benar-benar berada di tempat yang sama.

Di sekolah, nama Elvareon dikenal hampir semua orang. Ketua OSIS yang pintar, rapi, dan selalu terlihat tenang. Tak banyak yang tahu, hidupnya berjalan di antara angka-angka nilai dan tekanan realitas yang jarang ia tunjukkan.

Achazia, murid pindahan dengan reputasi tenang dan jarak yang otomatis tercipta di sekelilingnya. Semua serba cukup, semua terlihat rapi. Tetapi tidak semua hal bisa dibeli, termasuk perasaan bahwa ia benar-benar diterima.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21. Elvareon Menghilang

Sudah seminggu grup chat “Masa SMA Paling Chaos 🌀” sepi dari balasan Elvareon. Pesan terakhir darinya hanyalah stiker tertawa, itu pun tujuh hari lalu. Sejak itu, sunyi.

Achazia menatap layar ponselnya. Nama Elvareon tetap di sana, tapi tak ada tanda-tanda "online" lagi. Ia mengetik, menghapus, mengetik lagi, lalu akhirnya mematikan layar.

Di kelas, wajahnya murung. Buku catatannya terbuka, tapi halaman itu tetap kosong. Tak ada yang bisa ia tulis. Bahkan saat dosen memanggil namanya, Achazia hanya mengangguk tanpa kata.

Duduk di deretan sebelah, Ciara memperhatikannya. Gadis itu sudah lama memperhatikan perubahan sikap Achazia. Biasanya pendiam, tapi akhir-akhir ini... lebih dari sekadar pendiam. Matanya kosong, seolah tubuhnya ada di sana tapi pikirannya melayang entah ke mana.

Jam istirahat, Ciara menghampiri.

"Zia, kamu kenapa, sih? Dari tadi aku perhatiin, kamu kayak zombie. Jangan bilang kamu belum sarapan ya, nanti aku culik ke kantin lho," ujar Ciara sambil menyenggol bahu Achazia.

Achazia tersenyum tipis. “Aku gak apa-apa, Ra.”

Ciara mendengus. “Zia, kamu tuh tipe yang kalau sakit juga bakal bilang 'aku gak apa-apa kan? Jadi aku gak percaya. Cerita, dong. Aku gak suka tebak-tebak buah manggis gini.”

Achazia terdiam. Matanya menatap kosong ke meja. Sejenak ia ragu, tapi ada sesuatu dalam cara Ciara bicara yang membuatnya merasa… mungkin, dia bisa dipercaya.

“Ada seseorang… yang penting buat aku. Tapi dia tiba-tiba menghilang, gak ada kabar,” ucap Achazia pelan.

“Cowok ya?” tebak Ciara cepat.

Achazia tersenyum kecut. “Iya.”

Ciara mendekatkan kursinya. “Namanya siapa? Dia kuliah di sini juga?”

“Elvareon. Dia kuliah di St. Aurelius University. Dia temanku… atau lebih dari itu. Aku gak tahu lagi sekarang.”

Ciara mengerutkan alis. “Terus, kamu udah coba hubungin?”

“Aku udah coba, Ra. Grup chat kami sepi. Aku juga nulis surat buat dia, tapi aku takut malah bikin dia terbebani, jadi gak pernah aku kirim.”

Mata Ciara melembut. Ia terdiam beberapa detik sebelum menghela napas panjang.

“Zia, kalau kamu udah cerita ke aku, berarti kamu percaya aku, kan?”

Achazia mengangguk.

Ciara tersenyum, matanya berbinar penuh semangat. “Kalau gitu, aku bakal bantu cari dia. Aku kenal beberapa anak yang punya kenalan di St. Aurelius. Biar aku yang cari jalannya.”

Achazia terpaku. Ada kehangatan aneh yang merambat di dadanya. Selama ini ia memendam sendiri, namun kini… ada orang lain yang bersedia ikut memikul kekhawatiran itu bersamanya.

Malam itu, Achazia tak bisa tidur. Lampu meja belajarnya menyala redup, dan kotak kecil di bawah tempat tidur tetap tertutup rapat. Lima surat di dalamnya seperti beban di dada, dan kabar tentang Elvareon yang dirawat membuat pikirannya tak tenang.

Ia menatap langit malam dari balik jendela. Hening.

Handphone-nya bergetar pelan. Satu notifikasi masuk dari Kaivan di grup.

Kaivan: "Guys, ada kabar dari Elvareon belum? Aku udah tanya ke beberapa kenalan juga, tapi semuanya bilang dia sibuk jaga IGD terus."

Brianna: "Aku mimpi aneh semalam… Elvareon duduk sendiri di ruang putih, kayak rumah sakit. Dia gak ngomong apa-apa. Cuma liat kita semua, senyum, terus hilang."

Achazia menatap pesan itu. Tangannya gemetar.

Achazia: "Kita harus ngapain? Kita gak bisa terus nunggu dia balas chat."

Kaivan: "Dia pasti capek banget. Tapi kita gak boleh lepasin dia sendirian. Dia punya kita."

Setelah itu, tidak ada lagi balasan. Grup kembali sepi.

Pagi harinya, Ciara langsung menyambut Achazia dengan selembar kertas.

“Zia, ini jadwal kuliah anak-anak St. Aurelius yang aku dapat dari kenalan aku. Nama Elvareon gak ada di daftar minggu ini. Artinya dia masih istirahat. Tapi aku juga dapat info, dia bakal balik jaga IGD minggu depan.”

Achazia menerima kertas itu, menatapnya lama. “Makasih, Ciara…”

Ciara tersenyum sambil menepuk pundaknya. “Aku tahu kamu tipe orang yang simpan semuanya sendiri. Tapi mulai sekarang, kamu punya aku juga.”

Achazia terdiam. Perlahan, ia merasakan sesuatu yang asing tapi menenangkan, rasa percaya pada orang lain selain Brianna dan Kaivan.

Beberapa hari berikutnya, Achazia mencoba menjalani harinya seperti biasa. Tapi dunia terasa kosong. Kuliah berjalan, tugas menumpuk, tapi setiap jeda waktu, pikirannya kembali ke Elvareon. Ia teringat saat mereka bertukar pesan larut malam, tawa di grup chat, dan mimpi-mimpi kecil yang mereka bagikan.

Kini, semua itu terasa jauh.

Suatu sore, Brianna menelpon.

"Zia, kamu gimana?"

"Masih sama, Bri. Dunia kayak... gak punya warna."

Brianna terdiam di ujung sana, lalu berkata, “Aku ngerti. Tapi kita harus kuat. Elvareon bukan tipe orang yang mau bikin orang lain khawatir. Dia pasti nyuruh kita fokus sama mimpi kita.”

Achazia menunduk, suaranya nyaris berbisik, “Tapi Bri… kalau aku kehilangan dia, gimana?”

"Kamu gak kehilangan dia. Dia cuma lagi tersembunyi sebentar. Dan waktu yang akan balikin dia ke kamu."

Malam itu, Achazia membuka kotak suratnya lagi. Ia menulis surat keenam.

“Elvareon, aku tahu kamu sedang berjuang keras. Aku tahu kamu mungkin terlalu lelah untuk membaca surat ini. Tapi aku ingin kamu tahu… dunia tanpamu sepi. Tapi aku akan terus berjalan. Karena aku percaya, kamu juga sedang berjalan, meski jalannya berat.”

Kali ini, ia tidak menyimpan surat itu di kotak.

Ia menyelipkannya di buku catatannya, lalu menatap Ciara yang duduk di ranjang sebelah, sedang membaca buku.

“Ra,” panggil Achazia pelan.

Ciara menoleh. “Hm?”

Achazia mengulurkan surat itu. “Kalau suatu hari aku gak punya keberanian… kamu tolong kirimkan ini buat aku.”

Ciara menatapnya lama, lalu mengambil surat itu dengan lembut. “Deal.”

1
Nana Colen
ceritanya ringan tapi asiiik 🥰🥰🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!