Rahmad Ajie, seorang mekanik body & paint di Jakarta, tak pernah mengira hidupnya berubah drastis karena ledakan cat radioaktif. Tubuhnya kini mampu mengeluarkan cat dengan kekuatan luar biasa—tiap warna punya efek mematikan atau menyembuhkan. Untuk mengendalikannya, ia menciptakan Spectrum Core Suit, armor canggih yang menyalurkan kekuatan warna dengan presisi.
Namun ketika kota diserang oleh Junkcore, mantan jenius teknik yang berubah menjadi simbol kehancuran lewat armor besi rongsoknya, Ajie dipaksa keluar dari bayang-bayang masa lalu dan bertarung dalam perang yang tak hanya soal kekuatan… tapi juga keadilan, trauma, dan pilihan moral.
Di dunia yang kelabu, hanya warna yang bisa menyelamatkan… atau menghancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ledakan Dalam Diri
Ajie berjalan cepat di trotoar, masih setengah gemetar. Tangannya kotor, bajunya berbau bahan kimia dan asap, tapi ia tak peduli. Pikirannya kosong, hanya ada satu hal yang berputar-putar: Apa yang barusan terjadi?
Jakarta sore itu ramai seperti biasa—klakson mobil bersautan, pengamen menepi di lampu merah, dan udara penuh debu dari proyek pembangunan. Tapi di dalam diri Ajie, ada sesuatu yang jauh lebih bising dari semuanya: suara ledakan itu, teriakan orang-orang, dan… rasa panas aneh yang menjalar dari punggung ke ujung jari.
Langkahnya goyah. Ia menyentuh dinding toko di samping jalan, mencoba bernapas tenang.
Tapi dadanya justru makin berat.
Tangannya… lengket?
Ajie melihat ke telapak tangan. Cairan kental merah mengalir dari pori-porinya. Warnanya mencolok—merah menyala, seperti cat semprot.
“Astaga…” gumamnya. Ia mencoba menyeka, tapi justru makin deras. Tangannya kini seperti kuas hidup yang bocor di tengah jalan.
Lalu…
Boom!
Sebuah suara ledakan kecil muncul dari tangannya. Trotoar di depannya terbakar, aspalnya meleleh. Orang-orang berteriak. Seorang pengendara motor jatuh terguling, seorang anak kecil menjerit di pinggir jalan sambil memeluk ibunya.
“Apa-apaan itu?!”
“Dia meledakkan jalanan!”
“LARI!”
Ajie mundur beberapa langkah, napasnya memburu. Keringat dingin membasahi punggung. Ia melihat sekeliling—mata-mata penuh kengerian memandangnya. Tak ada yang mendekat. Semua memilih menjauh. Menghindar.
Ia merasa seperti monster.
Tangannya kini berubah warna—biru. Seperti air laut.
“Jangan lagi…” bisiknya.
Tapi telat.
Begitu dia menyentuh tiang lampu, es membeku di sekitarnya. Logam beku, kaca berembun, dan udara langsung berubah dingin menggigit. Orang-orang yang lewat menggigil, beberapa terpeleset di aspal yang kini licin membeku.
Ajie menatap tangannya seolah itu tangan orang lain.
“Ini… bukan aku…”
Ia menunduk, menggenggam kedua tangan dan mencoba menarik napas dalam.
Tenang, Ajie… Tenang. Kau cuma capek. Ini semua halu.
Tapi pikirannya kacau.
Dan tubuhnya? Semakin tak terkendali.
Kini, warna kuning menyala di lengan kanannya. Urat-uratnya bersinar terang seperti lampu neon. Jantungnya berdetak lebih cepat, dan tubuhnya… bergerak.
“W—woooa—!”
Ajie terpental ke depan dengan kecepatan gila. Seperti roket hidup. Ia menabrak sepeda motor, melompati trotoar, lalu menghantam papan reklame. Tubuhnya terpental kembali, menabrak halte.
Pecahan kaca dan suara alarm mengiringi tubuhnya yang tergeletak di jalan.
Orang-orang sudah berhamburan. Polisi mulai muncul di ujung jalan, tapi mereka bingung—siapa musuhnya? Siapa penyebab kekacauan ini?
Ajie berdiri tertatih.
Orang-orang mulai memegang ponsel, merekamnya. Merekam "makhluk aneh" dengan cat warna-warni yang bocor dari tubuhnya, yang bergerak seperti peluru dan menyebabkan kekacauan.
Ia menatap tangan kirinya. Sekarang berubah jadi hijau. Bukan sembarang hijau—hijau terang seperti neon, dan entah bagaimana… hangat.
“Ajie! CEPAT!” suara seseorang terdengar dari belakangnya—seorang ojek online yang sempat kenal di bengkel. Tapi Ajie tak menjawab.
Tiba-tiba, dari tangannya yang hijau, muncul gelembung seperti tameng, lalu mengembang besar seperti perisai tembus pandang. Ajie refleks mengangkatnya.
BRAKK!
Sebuah mobil kehilangan kendali dan meluncur ke arahnya.
Tameng itu menahan tabrakan. Mobilnya terpental mundur, peot, tapi Ajie… tetap berdiri.
Kini semua mata tertuju padanya.
“Dia… dia bukan manusia!” teriak seseorang.
“Dia punya kekuatan! Dia monster!”
Ajie memejamkan mata.
Kenapa ini terjadi padaku?
Kenapa sekarang?
Kenapa… aku?
Ia berbalik dan mulai berlari, meski kakinya gemetar. Tapi bahkan langkahnya pun tak lagi normal. Tiap kali telapak kakinya menyentuh tanah, jejak cat muncul. Warna-warna berbaur seperti lukisan basah yang menguap ke udara.
Jalanan di belakangnya jadi lautan warna. Hijau, biru, merah—dan kini… hitam.
Begitu warna hitam menyelimuti tangannya, suara di sekelilingnya menghilang. Lampu-lampu padam. Suara klakson lenyap. Dunia jadi senyap.
Ajie menoleh.
Bayangannya… hilang. Bahkan ia sendiri hampir tak bisa melihat tangannya. Warna hitam itu menyerap cahaya. Menyerap segalanya.
Ia mulai ketakutan sendiri.
“Aku harus… pulang.”
Di stasiun kereta, ia menyusup masuk lewat belakang. Untung jaketnya cukup panjang untuk menutupi sebagian besar tangannya yang terus berganti warna. Ia duduk di pojok gerbong, jauh dari penumpang lain.
Napasnya masih berat.
Tiba-tiba, suara dari speaker menyebutkan stasiun berikutnya.
Ajie tak mendengar jelas. Ia sibuk menahan gejolak dalam tubuhnya.
Pikirannya bercampur aduk—antara logika, rasa takut, dan kenangan masa lalu.
Wajah ayahnya terbayang. Dingin. Datar. Penuh kekecewaan.
Ibunya… samar, tapi hangat.
Lalu suara dentuman lagi. Dentuman yang tadi. Dentuman yang mengubah segalanya.
Ajie memejamkan mata.
Dalam gelap matanya, ia melihat semburat warna-warni menyala dari tubuhnya. Setiap warna menyimpan rasa—amarah, ketakutan, kekuatan, harapan, kehancuran.
Ia buka mata lagi. Pandangannya buram. Air mata menetes.
“Gue… bukan pahlawan,” bisiknya.
“Gue bahkan… gak tahu gue masih manusia atau bukan.”
Gerbong kosong.
Tak ada yang berani duduk dekat dia. Bahkan penjaga pun menatap curiga dari ujung gerbong.
Ajie menyandarkan kepala ke jendela. Tubuhnya mulai tenang, tapi pikirannya makin kacau.
Dalam hatinya, rasa frustrasi tumbuh. Rasa marah pada dunia, pada dirinya sendiri. Ia ingin menjerit, tapi tak bisa. Ia hanya bisa diam, dengan cat yang menetes pelan dari ujung jarinya ke lantai gerbong.
Warna ungu mulai muncul. Perlahan, menyelimuti seluruh tubuhnya.
Ungu… campuran semua warna.
Ungu… sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.
Tapi satu hal ia tahu:
Hidupnya gak akan pernah sama lagi.
Dan dunia… baru saja mendapatkan sesuatu yang belum siap mereka hadapi.
Kereta tiba di stasiun terakhir.
Ajie melangkah keluar, tapi tubuhnya goyah. Kakinya terasa berat, dan dadanya sesak. Ia masuk ke gang sempit dekat rumah kontrakan—gelap, sepi, hanya suara kipas angin dari warung ujung jalan.
Lalu, dari tubuhnya, cat warna ungu pekat mulai menetes ke lantai.
Tapi kali ini… cat itu hidup.
Cat itu merambat. Menyebar sendiri ke tembok. Muncul pola-pola aneh seperti saraf atau jaringan otot. Lalu...
Sebuah suara pelan muncul dari balik dinding:
“Kami melihatmu…”
Ajie membeku.
Dinding di hadapannya… berdenyut.
Cat ungu itu membentuk sesuatu. Mata. Banyak mata. Semua menatap ke arah Ajie.
Ia mundur satu langkah. Lalu dua. Napasnya makin berat.
Dan di langit malam, muncul satu suara lain, nyaris seperti bisikan…
“War-na per-ta-ma…”
Ajie langsung lari.
Tapi cat itu terus menetes di jejak langkahnya—seolah tubuhnya bukan cuma bocor.
Tapi sedang dipanggil oleh sesuatu yang jauh lebih besar.