NovelToon NovelToon
Senandung Sang Bunga

Senandung Sang Bunga

Status: sedang berlangsung
Genre:Duniahiburan / Teen School/College / Karir / Fantasi Wanita / Chicklit
Popularitas:522
Nilai: 5
Nama Author: Baginda Bram

Aidol atau idol. Adalah istilah yang lumrah di zaman ini karena kehadirannya yang telah masif.

Chandra Kirana adalah salah satunya. Ia yang mulai dari nol, tak pernah berpikir untuk menjadi seorang idol.

Namun, ia "terperosok" ke dalam dunia itu. Dunia yang tak pernah ia tahu sebelumnya.

Mulai saat itu, dunianya pun berubah.

(Update setiap hari selasa, kamis, Sabtu dan minggu.)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baginda Bram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1

Suara bel istirahat mulai memekakkan telinga. Berkumandang tiga kali ditutup dengan bunyi yang panjang.

Membuyarkan lamunanku setelah putus asa paska bergulat dengan angka. Sekaligus memotong penjelasan guru yang sedang di pertengahan jalan.

Tersungging jelas, senyum pada raut teman-temanku. Di antaranya bahkan bergumam "yes".

Bunyi bel barusan bagai penyelamat kami dari lautan rumus dan angka yang telah mengombang-ambingkan kami selama dua jam penuh.

Pak guru terlihat bingung. Disudahi, nanggung. Dilanjutkan tak akan ada yang mengindahkan. Dilema memang. Kali ini, pak guru dipaksa menyerah oleh suara barusan.

"Baik, bapak akan lanjutkan lain kali."

Tak perlu repot-repot, Pak. Tidak dilanjutkan juga tidak masalah.

Aku yakin, satu kelas juga mengharapkan hal yang sama. Pak guru pun keluar bersama tumpukan buku bawaannya.

Ratna, teman sebangkuku menggeliat. Citra mengucap "yes" paling keras. Terukir jelas dalam wajahnya rasa syukur yang tidak perlu.

Untung posisi duduk kami lumayan jauh dari meja guru. Terdengar pun pasti tersamarkan oleh bunyi bel tadi.

Kusimpan seluruh buku yang ada di atas meja ke dalam kolong. Seperti biasa, sebelum berangkat menuju kantin, kami rapat untuk menentukan tujuan dan apa yang hendak kami beli.

Sepakat beli bakso, kami berempat bergegas ke sana agar tak terjebak antrean yang panjang.

Meski rapat kami tergolong sangat amat singkat, keadaan kantin telah memadat. Antrean pun dalam sekejap memanjang. Kami segera andil memperpanjang antrean itu.

Aku pun menyambar posisi pertama di antara keempat temanku lantaran perutku yang telah kepalang menjerit.

Mendadak terasa tuilan pada pundakku.

"Itu tuh, ada si itu!" bisik Citra dari belakang.

Aku tahu siapa yang dimaksud. Siapa lagi kalau bukan Farrel Iskandar. Orang yang aku—atau bisa dibilang kami sukai atau bahkan mayoritas gadis di sekolah—. Otomatis kepalaku menoleh. Ingin juga melihat sosok itu.

Ganteng banget, sumpah!

Aku yang telah beberapa bulan di SMA, tak pernah absen memandangnya, tak merasa bosan dengan wajah itu, bola mata hitam kecokelatan itu, rambut undercut itu, hidung semi-mancung itu. Selalu berhasil mengusir kalut yang menumpuk seharian.

Jelas saja, laki-laki itu memang bak "pangeran" di sekolah ini. Farrel Iskandar. Anak dari seorang musisi terkenal, Harun Iskandar. Memiliki bakat yang luar biasa dalam musik.

Aku dengar-dengar, dia berhasil juara dalam kejuaraan piano. Terlepas dari bakatnya, orangnya pun tampan, ramah dan baik hati.

Bahkan, kalau boleh jujur, dialah sumber semangatku untuk datang ke sekolah. Hanya dia alasan bersyukurku karena sudah bersekolah di tempat ini.

Farrel dan gengnya ikut memperpanjang antrean. Sama sepertiku, ia menjadi yang terdepan di antara teman-temannya. Aku jadi menyesal karena telah mendahului teman-temanku tadi.

Coba aku di belakang seperti biasanya, sudah tentu bisa kupandangi wajah tampan itu dari jarak yang lebih dekat lagi.

Belum berhenti terkesima, tiba-tiba terlintas dalam kepalaku suatu ide cemerlang.

Tubuhku berbalik, berjalan dua langkah besar. Memperkecil jarak dengannya tanpa henti menatap. Karena ia lebih tinggi dariku, ketika mendekat, kepalaku menjadi sedikit mendongak.

Tanpa pikir-pikir lagi, Mulutku melontarkan, "Mau duluan?" Begitu saja.

Mendengarnya, Farrel kontan membalas pandang.

"Oke," sahutnya singkat.

Untuk sepersekian detik, matanya beradu pandang dengan mataku. Baru kali ini aku melihat pangeran sekolah ini dari jarak sedekat ini.

Membuatku yang hanya rakyat jelata merasa menjadi manusia paling beruntung di dunia.

Bener deh. Gantengnya kelewatan!

Farrel mengambil beberapa langkah ke depan. Melewatiku begitu saja.

Namun, diluar dugaan, Farrel tak sendirian. Orang-orang di belakang Farrel beringsut maju. Bagai raja yang diikuti para punggawanya. Padahal tawaranku tadi hanya untuk Farrel seorang.

Teman-temanku yang melihat sontak jengkel. Terutama Citra yang alisnya paling berkerut, menyikut lenganku.

"Lu sih! Ngapain coba!?" Bisiknya kesal.

Aku bingung mau menjawab seperti apa. Hanya bisa mempertemukan kedua telapak tangan layaknya orang yang ingin sungkem. Sejurus kemudian, aku baru sadar kalau perutku kian kencang pekikannya.

Ide cemerlangku berhasil menghancurkan mood teman-teman dan cacing-cacing dalam lambungku. Jika diibaratkan, seperti demo yang berujung kisruh. Belum lagi terik yang mulai kentara. Belaian mentari sudah mulai kasar.

Bahkan, ucapan terima kasih pun tak mendarat.

...----------------...

Aku merasa ada yang aneh dengan diriku. Teman segengku murka, seharian ini aku diabaikan. Tapi, tak ada rasa bersalah yang menghantui. Ucapan terima kasih pun sudah tidak kupikirkan.

Malah aku merasa bersyukur dari lubuk hatiku karena melakukannya dan mungkin akan merasa menyesal jika tidak melakukannya.

Wajar kah aku begini?

Kalau kuputar ulang lagi memoriku. Semua ini berawal pada hari di mana aku pulang kesorean.

Kala itu, aku yang keasyikan ngobrol setelah ekskul. Tak merasakan waktu yang berlalu begitu cepat. Aku baru tersadar melihat jam yang menunjukkan pukul 5.

Jam segitu, jam krusial di mana angkot sudah jarang untuk ditemukan. Naik ojek lalu bayar di rumah pun takut dimarahi.

Karena itu, aku berjalan di trotoar menuju ke arah pulang sembari menanti angkot yang lewat. Agar bisa memperkecil jarak pulang.

Kulangkahkan kaki dengan santai. Atau tepatnya tidak berusaha terburu-buru lantaran tenagaku yang telah terkikis seharian. Kakiku seperti mati rasa. Melangkah tapi seperti sedang melayang.

Kupandangi trotoar yang pudar warnanya. Hampir di setiap sudutnya terdapat penjual minuman. Minuman dingin yang berbaris  dari balik kaca seakan menggodaku untuk merelakan sisa uang yang ada dalam kocek.

Merayuku dengan berbagai warna dan rasa yang bisa mengobati dahaga. Tenggorokanku pun setuju.

Maaf ya, tenggorokan! Aku hanya bisa memberimu air liur.

Aku buang muka. Tapi entah mengapa pandanganku menangkap sesosok manusia yang sedap dipandang. Di sebuah bangku yang ada di depan jalan yang akan kulewati.

Dari kejauhan, aku tahu itu Farrel. Duduk dengan cool-nya. Pemandangan itu berhasil menguapkan dahaga dan lelah untuk sesaat.

Langkah tak kukurangi. Lewat di depannya, Aku sontak tersenyum meski wajah penuh keringat dan bibir telah mengering.

Aku yakin, senyumku adalah senyum yang mengerikan. Jika ada anak bayi melihatnya, ia akan menangis semalaman. Tak bisa tidur karena bermimpi buruk.

Meski begitu, aku berharap ia memahami keramahanku. Aku sadar kalau Farrel menatapku. Namun, aku segera melengos.

Aku paham ia adalah orang yang hidup di dunia yang berbeda denganku jadi tidak perlu berharap lebih.

Langkah telah berlalu beberapa, mendadak terdengar suara serak nan dalam yang merasuk ke telingaku.

"Woy, lu anak sekolah gue 'kan? Ambil nih!"

Apa ia memanggilku?

Aku yang belum habis terkejut, berbalik badan. Reflek tanganku menangkap botol yang tiba-tiba melayang ke arahku. Suhunya tak sedingin baru keluar dari lemari es, tapi masih bisa menyejukkan telapak tanganku.

Kutatap Farrel. Ia sudah menatap ke arah lain. Seakan bukan dia pelakunya. Tapi, karena tak ada orang lain lagi di sekitar, sudah jelas dialah sang malaikat yang menurunkan botol dengan separuh isi ini.

Setengah botol ini sudah lebih dari cukup untuk menghapus dahagaku.

Apa mungkin dia malaikat beneran? Kok dia bisa tahu kalau aku kehausan?

"Makasih ya!" Pekikku riang.

Farrel berlalu seakan tak mendengar ucapanku barusan. Tapi, bukan masalah.

Segera kutenggak botol itu. Sodanya sudah terkikis namun masih terasa sedikit. Rasa segarnya langsung menusuk ulu hati.

Tak lama, angkot yang kutunggu menunjukkan sosoknya. Kuberi isyarat dengan sebelah tangan, seketika berhenti.

Bersamaan dengan angkot yang melaju, aku memandangnya dengan senyum merekah.

Bergumam, "terima kasih ya, malaikat."

1
SakiDino🍡😚.BTS ♡
Bagus banget deh, bikin nagih!
KnuckleDuster
Buat gak bisa berhenti baca!
Coke Bunny🎀
Gemesinnya minta ampun!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!