Dikhianati oleh pria yang ia cintai dan sahabat yang ia percaya, Adelia kabur ke Bali membawa luka yang tak bisa disembuhkan kata-kata.
Satu malam dalam pelukan pria asing bernama Reyhan memberi ketenangan ... dan sebuah keajaiban yang tak pernah ia duga: ia mengandung anak dari pria itu.
Namun segalanya berubah ketika ia tahu Reyhan bukan sekadar lelaki asing. Ia adalah kakak kandung dari Reno, mantan kekasih yang menghancurkan hidupnya.
Saat masa lalu kembali datang bersamaan dengan janji cinta yang baru, Adelia terjebak di antara dua hati—dan satu nyawa kecil yang tumbuh dalam rahimnya.
Bisakah cinta tumbuh dari luka? Atau seharusnya ia pergi … sebelum luka lama kembali merobeknya lebih dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meldy ta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amarah Masa Lalu
Seminggu setelah pernikahan itu, kehidupan Adelia dan Reyhan perlahan mengalir seperti sungai tenang. Tapi ketenangan itu tidak bertahan lama.
Di kantor Reyhan, sebuah pesan berantai menyebar. Gambar hasil jepretan diam-diam saat Reyhan dan Adelia menikah—dari sudut jendela yang tak mereka sadari terbuka—muncul di grup chat kantor.
Ada foto kecupan mereka, foto tawa Adelia dan tangan Reyhan menggenggamnya. Semua diambil tanpa izin. Salah satu rekan kantor yang tak dikenal menyebarkannya disertai caption: 'Pewaris Jonathan menikahi mantan adik ipar secara diam-diam?'
Reno menerima gambar itu lewat email tak dikenal. Tangannya mengepal, wajahnya merah padam. Ia menghentakkan ponselnya ke meja dan langsung pergi dari ruangannya.
Sementara itu, ibunda mereka, Ny. Jonathan, menerima kabar itu dari kolega bisnisnya. Tak butuh waktu lama, telepon Reyhan berdering.
"Apa yang kau lakukan, Reyhan?!" suara ibunya menggema. "Kau mempermalukan keluarga ini! Menikahi mantan kekasih adikmu? Seorang wanita yang memanfaatkan kehamilannya untuk mengikatmu?!"
Reyhan menarik napas panjang. "Bu, ini bukan urusan bisnis. Ini urusan hidupku."
"Jangan bodoh! Apa kau pikir masyarakat akan diam? Apa kau pikir pemegang saham tidak akan bereaksi?"
Adelia, yang mendengar dari luar kamar, memegang perutnya dengan gemetar. Ia tahu lambat atau cepat badai ini datang, tapi tidak menyangka secepat itu.
Beberapa hari setelahnya, gosip merebak. Di grup alumni kampus, di lingkungan rumah, di kantor tempat bekerja, bahkan di supermarket dekat rumah baru mereka.
"Kasihan Reyhan ... digoda sama mantan pacar adiknya sendiri."
"Pasti karena hamil, ya? Cerdas juga sih ceweknya."
"Main strategi. Dari mantan ke kakaknya. Gila."
Adelia berusaha tetap kuat, tapi hatinya lelah. Ia bahkan tidak keluar rumah selama seminggu, hanya menangis diam-diam di kamar.
Reyhan memeluknya suatu malam. "Del, kalau kamu mau pergi dari semua ini ... aku bisa ikut. Kita tinggal di luar kota. Mulai dari nol."
Adelia menggeleng. "Aku hanya ... tidak ingin membuatmu bertengkar dengan keluargamu. Apalagi Reno."
Reyhan mencium dahinya. "Aku sudah besar. Aku memilih kamu, bukan karena anak ini. Tapi karena aku ingin mencintaimu sepenuhnya."
Tapi badai benar-benar memuncak saat Reno datang ke rumah mereka. Ia tidak mengetuk. Ia membanting pintu pagar, masuk dengan mata menyala.
"Bagus. Ternyata benar. Jadi kalian nikah, ya?"
Reyhan berdiri di hadapan pintu, menghalangi tubuh Adelia yang ketakutan di belakangnya.
"Jangan buat keributan di sini, Reno."
"Lo nikahi mantan gue!"
"Dan lo tinggalkan dia. Jangan lupakan itu."
"Dia main belakang, Rey! Dia mainin kamu! Dia pasti rencanain ini semua!"
Adelia akhirnya bicara, walau suaranya gemetar. "Aku nggak pernah mainin siapa-siapa, Reno. Kamu yang pergi nikah sama orang lain. Bahkan sahabatku sendiri."
Reno menatapnya tajam. "Anak itu ... anak siapa? Jangan bilang anak kakakku."
Adelia diam. Reyhan menjawab, "Ya. Anak kami. Dan aku akan menjaganya. Sama seperti aku akan jaga istriku."
Reno tertawa pahit. "Selamat. Kalian berhasil mempermalukan keluarga."
Ia pergi, membanting pintu lagi. Tapi di luar rumah, seorang wanita lain sedang berdiri—wanita yang sama yang mengikuti Reyhan tempo hari. Ia tersenyum tipis, menyaksikan semuanya dari jauh.
"Sudah kukatakan, Reyhan. Tak ada yang bisa mencintaimu dengan utuh kecuali aku."
Setelah Reno pergi, keheningan yang tercipta di rumah itu seperti selimut dingin yang membekap napas Adelia. Ia duduk di kursi dekat jendela, memandangi gerimis yang mulai turun. Tangannya menggenggam cangkir teh yang sudah tak lagi hangat, matanya kosong.
Reyhan duduk di sebelahnya, mencoba menyentuh tangannya. "Del, aku tahu ini berat. Tapi kamu tidak sendiri."
Adelia menoleh perlahan. "Kenapa semua orang melihatku seolah aku penjahat?"
"Kamu bukan penjahat. Kamu perempuan yang memilih untuk hidup. Dan itu bukan dosa."
Tapi kalimat Reyhan belum cukup meredakan guncangan batin Adelia. Ia terus dihantui oleh tatapan sinis tetangga yang kini mulai berani menatapnya tanpa malu. Bahkan pemilik warung di ujung jalan tak lagi menyapanya ramah.
"Orang-orang hanya melihat apa yang mereka ingin lihat," bisik Adelia. "Mereka tak pernah tahu bagaimana aku menangis malam-malam, menahan sakit, kehilangan, dan ketakutan. Tapi mereka semua merasa berhak menghakimi."
Reyhan menarik tubuhnya ke dalam pelukan. "Biarkan mereka berkata apa saja. Yang penting, kamu, aku, dan anak ini. Kita jalani hari kita sendiri."
Tapi tekanan tidak berhenti di sana.
Keesokan harinya, Ny. Jonathan mendatangi rumah mereka. Didampingi dua asisten rumah tangga dan satu sopir, wanita itu turun dari mobil sedan hitam dan langsung melangkah ke teras rumah Adelia.
Reyhan membukakan pintu. "Bu—"
Satu tamparan mendarat di pipinya, sebelum Reyhan menyelesaikan ucapannya.
"Kamu mempermalukan nama baik ayahmu yang sudah wafat!" seru ibunya, air matanya menetes meski nadanya marah. "Apa yang akan kukatakan pada dewan direksi? Pada keluarga besar?!"
Reyhan tidak mundur. Ia menunduk hormat. "Bu, aku minta maaf kalau cara kami salah. Tapi bukan cintanya yang salah."
Ibunya menunjuk Adelia yang berdiri di belakang. "Dia ini hanya cewek penarik simpati! Perempuan tanpa nama yang kamu angkat jadi menantu keluarga Jonathan!"
Adelia menahan napas, tapi air matanya tak bisa lagi dibendung. "Aku tidak ingin jadi bagian keluarga yang membenciku sejak awal. Tapi aku tidak akan lari hanya karena kalian tak menerimaku."
Reyhan berdiri di depan Adelia. "Istriku bukan perempuan biasa. Ia lebih kuat dari siapa pun yang Ibu kenal. Dan dia mengandung anakku."
"Kamu bisa dapat wanita yang lebih baik, Reyhan."
"Aku nggak mencari yang sempurna, Bu. Aku mencari yang mengerti rasa sakitku."
"Otakmu itu sudah diracuni oleh dia. Reno—adikmu saja tidak memilih menikah dengan wanita itu, tapi kamu ... kamu justru sebagai penerus dari mendiang ayahmu, yang berbuat hal gila."
"Sudah cukup, Bu. Aku tidak sedang melakukan kesalahan. Aku mencintai Adelia sekalipun kau tidak mau merestui kami ataupun mengakui anakku sebagai cucumu."
"Jika kau tetap bersikeras, maka keputusanku juga akan bulat, Reyhan. Kau! Tidak akan menjadi penerus perusahaan. Sedikitpun tidak akan dapat apa-apa. Biarkan Reno yang menjadi pewaris. Aku tidak menduga, kau terlalu rendah soal perempuan."
"Tidak apa-apa, Bu. Reno yang akan memimpin. Tapi ... ibu juga perempuan, sesama perempuan kau terlalu egois atas diriku."
"Dasar wanita tidak tahu malu. Menjadi benalu di dalam keluargaku. Awas kau!"
Ny. Jonathan menghela napas kasar dan pergi begitu saja setelah puas dengan ancamannya. Meninggalkan luka baru di hati Adelia.
Hari itu, Adelia tidak bicara sepatah kata pun hingga malam tiba. Ia hanya duduk di balkon, menatap bulan sambil memeluk perutnya. Reyhan duduk di sebelahnya, tidak mengatakan apa-apa, hanya memegang tangannya.
"Apa kamu menyesal, Rey?" tanya Adelia lirih.
Reyhan menoleh pelan. "Kenapa harus menyesal, kalau yang kupilih adalah rumah."
Adelia tersenyum kecil. Dan di dalam pelukannya, janin kecil itu bergerak untuk pertama kalinya. Seolah ingin ikut bicara.