Bukan terlahir dari keluarga miskin, tidak juga terlilit hutang atau berada dalam situasi yang terdesak. Hanya saja alasan yang masuk akal bagi Alexandra menjadi simpanan bosnya karena dia telah jatuh hati pada karisma seorang Damian.
Pertentangan selalu ada dalam pikirannya. Akan tetapi logikanya selalu kalah dengan hatinya yang membuatnya terus bertahan dalam hubungan terlarang itu. Bagaimana tidak, bosnya sudah memiliki istri dan seorang anak.
Di sisi lain ada Leo, pria baik hati yang selalu mencintainya tanpa batas.
Bisakah Alexandra bahagia? Bersama siapa dia akan hidup bahagia?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alexandra (Simpanan Bos) 2
Sejenak Papa Damian tertegun, menatap wajah putrinya yang begitu polos tanpa dosa. Bagaimana bisa anaknya mengetahui rahasia yang sudah disimpannya selama enam tahun ini. Rahasia yang terus menggerogoti hatinya hingga dia sangat membencinya istrinya. Bahkan dia sampai melakukan perselingkuhan dengan Alexandra. Membenarkan perbuatannya karena rasa sakit hatinya yang tidak kunjung sembuh. Padahal, Juwita adalah perempuan pertama yang teramat sangat dicintainya setelah kepergian Mamanya.
Lamunan itu segera sirna kala tangan kecil Aurora menyentuhnya lembut. Pandangannya kembali fokus pada sang putri.
"Papa tidak salah dengar?."
Aurora menggeleng. "Tidak, Papa."
Kemudian anak berusia enam tahun itu menundukkan wajahnya. "Aku mendengar pembicaraan Mama dan dokter Anna. Mereka membicarakannya kalau aku bukan anak Papa.
Aurora terdiam, pun dengan Papa Damian. Yang kemudian Aurora kembali bercerita. "Mama sendiri tidak mengetahui keberadaan Papa biologisku, jadi Mama terpaksa dan sengaja mengakui aku sebagai putri Papa."
Papa Damian yang tersentuh dan terenyuh dengan kata-kata anaknya, langsung saja dia membawa tubuh mungil itu ke atas pangkuannya. Memeluknya sangat erat, mengecup pucuk kepalanya dengan sayang, mereka pun kini saling bersitatap.
"Walau begitu, kau akan tetap menjadi putri kesayangan dan menanggung Papa."
"Terima kasih, Papa."
"Dan ingat, jangan katakan apapun pada Mamamu. Anggap saja kau tidak mengetahuinya."
Aurora mengangguk kecil dalam pelukan Papanya.
*
Damian sudah berada di dalam kamar bersama sang istri. Juwita sudah berdandan sangat cantik untuk menggoda Damian. Kembali membawa pria itu ke atas tempat tidur yang sudah terasa sangat dingin semenjak kesibukan kantor mengambil alih Damian.
"Masih ada waktu sebelum kita makan malam, sayang."
Tapi seperti yang sudah-sudah Damian selalu memberi jarak kepadanya.
"Kau mengatakan pada Papa bahwa hubungan kita baik-baik saja. Tapi apa yang aku dapat sekarang? Aku sangat menginginkan dirimu tapi kau menolaknya. Apa harus aku telepon Papa dulu untuk mendapatkan apa yang aku inginkan?."
Juwita berjalan ke arah meja rias, terakhir kali di sana dia menaruh ponselnya. Belum sempat dia menghubungi Papanya, sudah lebih dulu Damian menarik pinggang rampingnya hingga mereka saling berhadapan. Lalu setelahnya...
Cup
Damian mencium bibir istrinya dengan sangat kasar namun Juwita tidak proses, malah sangat menyukainya. Dengan senang hati Juwita membalas ciuman kasar dari suaminya. Tangannya tidak tinggal diam, kini melepaskan pakaiannya sendiri dan ikut membantu melepaskan pakaian Damian.
Hubungan suami istri yang sangat diinginkannya pun terjadi. Maklum saja sudah hampir satu bulan ini Juwita tidak mendapatkannya. Nama besar Papanya sangat turut serta mewujudkan malam penuh gairah bersama suaminya. Sampai-sampai mereka melupakan makan malam mereka. Membiarkan Aurora makan ditemani pengasuhnya.
Setelah sangat puas, Juwita bangkit dari atas tubuh suaminya. Namun tidak pergi ke mana-mana. Dia merebahkan tubuh polosnya yang masih mengkilap karena keringat di samping Damian. Napasnya masih sedikit tersengal-sengal. Malam ini seperti malam pertama mereka dulu, yang sanggup melakukan hubungan intim sebanyak tiga kali dalam kurun waktu yang relatif singkat. Seperti biasa Damian sungguh sangat luas biasa perkasa.
"Aku sangat bahagia."
Tapi Damian diam saja, memendam kemarahannya. Tidak bisa menolak keinginan istrinya karena membawa nama Papa Noval. Orang yang sudah sangat berjasa besar dalam hidupnya, terlebih hidupnya pun milik Papa Noval.
"Aku tahu kau pasti sedang memiliki masalah, tapi kenapa kau tidak menceritakannya padaku?."
Tanpa kata pria itu bangun, turun dari tempat tidur lalu menuju kamar mandi. Di dalam sana dia memukul dinding kamar mandi guna melupakan kemarahan yang tadi ditahannya.
Sedangkan di tempat lain, Sandra masih asyik berbincang santai dengan Leo. Di sebuah taman yang tidak jauh dari tempat tinggal Leo.
"Kau suka taman ini?."
"Iya, di sini aku merasa tenang walau terlihat sangat ramai. Karena seperti yang kau lihat, di jam segini saja masih saja ada yang berdatangan.
"Apa kau selalu kesepian?."
Segera Sandra menggeleng. "Tidak juga, hanya sesekali saja."
Kepala Leo sedikit mengangguk, karena semua orang terkadang akan merasa kesepian. Dirinya pun terkadang seperti itu, mengingat perasaannya yang sampai detik ini selalu bertepuk sebelah tangan. Leo pun melirik jam tangannya, sudah tengah malam.
"Aku antar kau pulang."
"Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri."
"Tidak apa-apa, sampai lobi saja."
Sandra tidak bisa menolak lagi dan mereka berjalan meninggalkan taman. Setibanya di lobi, Leo mempersilahkan Sandra untuk masuk lift dan dia pun menuju rumahnya. Karena dia merupakan anak rumahan yang tidak bisa jauh dari keluarganya.
Pintu apartemen sudah tertutup, Sandra duduk di sofa. Menatap setiap sudutnya, di mana dia telah menghabiskan banyak waktu dan gaya bersama Damian. Kebodohan yang masih saja terus dilakukannya hingga sekarang ini. Dia masih sangat berat untuk pergi melepaskan pria kedua yang sangat dicintainya setelah cinta pertamanya.
Pasti rasa sepi ditemuinya setiap kali Damian tidak bersamanya. Dia akan sangat bersedih, memikirkan pria itu sedang berbahagia bersama anak istrinya. Andai saja hatinya mau menerima Leo, mungkin ceritanya akan berbeda. Dia akan sangat bahagia bisa dicintai pria sesempurna itu.
Ponselnya pun terabaikan, sama seperti dirinya. Dia hanya orang lain dalam hidup Damian, tidak pernah berarti apa-apa dan tidak akan pernah. Dia tidur dalam keheningan dengan perasaan terluka yang semakin menyiksa.
Keesokan paginya.
Sandra dan Damian tiba di kantor dalam waktu yang bersamaan. Mereka berdua berada dalam satu lift yang sama dengan posisi Damian berada di samping Sandra namun cukup berjarak.
"Kau tidak tidur?."
Sandra segera memegangi wajahnya lalu balik bertanya. "Apa itu terlihat?."
"Tidak terlihat, tapi saya mengetahuinya."
Sandra tersenyum kecil.
"Apa karena saya tidak ada di apartemen?."
Tanpa malu Sandra pun mengangguk. Tidak perlu berpura-pura tidak mencintainya karena setiap malam dia selalu mengungkapkan perasaannya pada Damian yang tidak berbalas.
Kemudian Damian menasehatinya. "Jangan dibiasakan seperti itu, tidak baik untuk kesehatan dirimu. Apalagi kau seorang pekerja profesional, jadi kesehatan itu sangat penting."
"Iya."
Lantas keduanya keluar dari lift, berjalan menuju ruangan masing-masing. Baru juga Sandra akan memasuki ruang kerjanya, sebuah perintah sudah didapatnya. "Kau langsung ke ruangan kerjaku saja."
"Baik, bos."
Kembali Sandra melanjutkan langkah kakinya sampai mereka tiba di dalam ruangan Damian. Tanpa ada aba-aba, Damian mencium lembut bibir Sandra yang berwarna merah setelah menutup pintu secara otomatis. Ciuman lembut itu tidak dapat ditolak Sandra, karena dia sangat menginginkannya. Bibir Sandra terlepas dari bibir Damian, lalu menyusuri rahang tegas dan berakhir di area leher Damian yang dipenuhi tanda merah yang telah dibuat oleh istrinya.
"Kenapa berhenti?."
"Ada banyak tanda merah yang istri bos tinggalkan sana."
Damian pun berjalan mendekati cermin dan leher itu sudah penuh dengan jejak percintaan mereka semalam.
entah kalau dia tau damian - sandra 😊🤫