Nama: Alethea Novira
Usia saat meninggal: 21 tahun
Kepribadian: Cerdas, sinis, tapi diam-diam berhati lembut
Alethea adalah seorang mahasiswi sastra yang memiliki obsesi aneh pada novel-novel tragis, alethea meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil yang di kendarai supir nya , bukan nya ke alam baka ia malah justru bertransmigrasi ke novel the love yang ia baca dalam perjalanan sebelum kecelakaan, ia bertransmigrasi ke dalam buku novel menjadi alethea alegria
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agya Faeyza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 2 kembali ke rumah
Sudah seminggu sejak Alethea membuka matanya di dunia yang asing—di tubuh yang bukan miliknya, di tengah keluarga yang mencintainya tanpa syarat. Dunia ini terasa seperti mimpi yang terlalu nyata, terlalu hangat, dan terlalu sulit untuk dipahami sepenuhnya.
Selama seminggu pula, ia diam dalam kebingungan, menatap wajah-wajah yang memanggilnya "sayang", "adik", "anak Mama". princes , Ia mengangguk, tersenyum kecil, menjawab sekenanya, walau hatinya terus bertanya: siapa mereka sebenarnya? Dan… siapa dirinya sekarang?
Namun tubuh ini—tubuh gadis berusia 17 tahun yang kini ia tinggali—masih rapuh. Kadang ada pusing mendadak. Kadang nafasnya sesak. Dan kadang, saat malam tiba, ia bermimpi tentang dunia lamanya—tentang mobil yang terjun ke jurang, tentang cahaya terakhir, tentang nama yang tak lagi dipanggil.
Hari ini, langit cerah. Jendela kamar rumah sakit terbuka setengah, membiarkan angin pagi yang sejuk masuk. Seorang dokter berdiri di sisi tempat tidurnya, memeriksa grafik hasil pemulihan dengan ekspresi netral tapi melegakan.
"Secara fisik, kamu sudah cukup stabil. Tapi kamu tetap harus rajin kontrol, ya, Thea," kata dokter itu sambil tersenyum. "Kamu masih dalam masa pemulihan. Trauma kepala akibat kecelakaan itu tidak ringan. Hilang ingatanmu bisa pulih perlahan, atau mungkin tidak… kita belum tahu."
Alethea hanya mengangguk pelan. Ia tidak bisa berkata banyak. Ia bahkan tidak tahu apa yang harus diingat.
"Tapi kamu anak kuat," dokter menambahkan sambil menepuk tangannya. "Dan kamu punya keluarga yang luar biasa."
Dan memang benar. Saat Alethea keluar dari kamar rawat, ia disambut oleh tiga kakaknya yang langsung berdiri serempak—Aryan, Ares, dan Arvel—seperti pengawal kerajaan. Ibu dan ayah nya memeluknya erat, terlalu erat, seolah takut gadis itu akan hilang lagi.
"Ayo pulang, sayang," bisik sang ibu dengan suara yang bergetar. "Rumah sudah rindu kamu."
Sepanjang perjalanan pulang, Alethea hanya menatap jendela mobil. Dunia di luar terasa asing tapi tidak menakutkan. Seperti halaman pertama dari buku yang belum ia baca, tapi ingin ia pahami.
Dan di dalam hatinya, ia tahu satu hal:
Meskipun ini bukan hidup yang ia kenal, meskipun ingatan yang mereka harapkan tak akan pernah kembali…
Ia ingin mencoba. Menjadi Alethea Alegria. Menjadi adik yang mereka rindukan.
Menjadi bagian dari keluarga yang terus menunggunya pulang, bahkan ketika dirinya sendiri nyaris tak mengenali siapa ia sebenarnya.
Tak lama kemudian mereka pun sampai di rumah yang mereka sebut sederhana , Gerbang rumah pun terbuka perlahan, memperlihatkan bangunan dua lantai bergaya klasik modern dengan halaman luas yang dipenuhi bunga-bunga bermekaran. Bagi Alethea, rumah itu seperti potongan dari lukisan: terlalu sempurna, terlalu indah… dan terlalu asing.
Mobil berhenti di depan beranda. Ibunya, Cintya Alegria, turun lebih dulu, lalu dengan cepat membukakan pintu untuk Alethea.
"Pelan-pelan ya, sayang. Jangan dipaksain," katanya sambil meraih tangan Alethea dengan lembut.
Di belakang mereka, Bram Alegria—sosok pria tegap dengan sorot mata teduh dan rambut mulai memutih di sisi—memandang putri bungsunya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Matanya basah, tapi ia menahan emosi itu sedalam-dalamnya.
"Selamat datang kembali, Putri kecil Papa," ucap Bram, suaranya serak namun penuh kehangatan.
Alethea hanya tersenyum kecil. Ia belum terbiasa dipanggil begitu. Tapi ia tidak ingin menyakiti hati siapa pun. Jadi ia membiarkan genggaman tangan ayahnya yang hangat, meski jiwanya masih mencari pijakan.
Saat mereka masuk ke dalam rumah, ketiga kakaknya sudah menunggu di ruang tamu.
Ares Alegria, sang sulung—tinggi, kalem, dengan aura pelindung—berdiri dan langsung menghampiri, menggandeng tas Alethea.
"Udah waktunya kamu rebut kamarmu lagi. Jangan biarin Arvel terus tidur di sana, bikin berantakan," katanya sambil tersenyum miring.
Arvel, si bungsu dari para kakak, langsung berseru, "Hey! Aku cuma jaga kasur biar tetep hangat!"
Aryan, kakak kedua yang lebih ekspresif dan jenaka, menepuk kepala Arvel dengan gemas. "Hangat atau penuh sisa keripik kentang, huh?"
Alethea tertawa kecil. Untuk pertama kalinya, suara tawanya terdengar seperti milik gadis itu. Mungkin bukan dirinya yang lama, tapi… ia ingin percaya bahwa dia bisa menjadi bagian dari ini.
"Makasih… udah jaga kamarku," katanya pelan. Ucapan itu sederhana, tapi membuat semua orang tersenyum lega.
Cintya: "Kita semua kangen kamu, Thea. Rumah ini sepi banget tanpa kamu. Bahkan Ares sampe masak sendiri lho kemarin, dan… yah, hasilnya kayak eksperimen gagal."
Ares: "ma , Itu omelet. Bentuknya doang kayak bantal sobek."
Bram: "Tapi rasanya… hmm, berkesan," kata sang ayah, mencoba diplomatis.
Alethea duduk di sofa empuk ruang keluarga, memandangi sekeliling. Dinding-dinding itu dipenuhi foto-foto masa kecilnya—atau lebih tepatnya, masa kecil gadis ini. Senyum di foto-foto itu ceria, penuh cahaya. Ia tak ingat satu pun dari mereka.
Namun pelukan hangat dari ibunya, candaan dari kakak-kakaknya, dan tatapan teduh dari ayahnya… semuanya nyata. Dan untuk saat ini, itu cukup.
Alethea: "Aku… bakal coba inget semuanya. Tapi kalau pun nggak bisa… aku tetap bersyukur, bisa pulang ke rumah ini."
Bram menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. "Kamu nggak harus buru-buru inget, Thea. Yang penting kamu sehat. Kamu hidup. Dan kamu tetap anak kami… apapun yang kamu ingat atau tidak."
Dan pada sore itu, saat cahaya matahari menyusup lewat jendela, Alethea Alegria duduk di tengah keluarganya, dikelilingi cinta yang tulus. Meski hatinya masih menyimpan rahasia yang belum terungkap, ia tahu satu hal:
Ia tidak sendiri.
Pintu kamar terbuka perlahan, disambut aroma familiar yang lembut—perpaduan lavender dan vanila, seperti pelukan hangat dari masa lalu yang samar. Alethea berdiri di ambang pintu, menatap ruang pribadinya dengan perasaan campur aduk. Ini… kamarnya. Atau setidaknya, itulah yang mereka semua yakini.
Dindingnya dihiasi lukisan-lukisan kecil, sebagian hasil coretan tangan sendiri, sebagian lain tampak seperti hadiah dari orang-orang tercinta. Rak buku di sudut ruangan penuh dengan novel, jurnal, dan tumpukan kertas—dan satu boneka beruang tua duduk di atas bantal, seolah menunggu pemiliknya kembali sejak lama.
Alethea melangkah masuk pelan-pelan, setiap inci ruangan memanggil namanya… atau nama gadis yang dulu tinggal di tubuh ini.
"Kamu butuh waktu, Thea," suara lembut Cintya terdengar dari belakang. Ia berdiri di ambang pintu bersama Bram dan ketiga kakak Alethea. "Tapi rumah ini, kamar ini… semuanya milikmu. Kami nggak akan paksa kamu ingat sekarang."
"Istirahatlah dulu," sambung Bram dengan tenang. "Tubuhmu masih butuh waktu untuk pulih sepenuhnya. Kami akan selalu ada di luar pintu, kapan pun kamu butuh."
Ares menambahkan dengan senyum kecil, "Kalau ada yang ganggu, tinggal panggil. Aku siap jadi penjaga kamarmu, Thea."
Aryan terkekeh pelan, "Tapi jangan panggil tengah malam cuma buat minta cemilan, ya. Arvel bisa habis duluan."
"Hey!" Arvel melotot, membuat suasana sedikit cair.
Alethea tersenyum, walau hatinya masih gentar. Ia menatap mereka satu per satu, menghafal wajah-wajah yang mencintainya dengan tulus, meski ia belum sepenuhnya mengenal mereka.
"Terima kasih… semuanya. Aku akan istirahat sekarang," katanya pelan, hampir seperti bisikan.
Cintya berjalan mendekat, mencium kening putrinya dengan penuh kasih.
"Selamat datang kembali di rumah, Alethea Alegria."
Satu per satu mereka pun mundur, menutup pintu dengan perlahan, meninggalkan Alethea dalam kesunyian kamarnya sendiri.
Ia duduk di ranjang, membelai seprai yang lembut. Jari-jarinya menyentuh boneka beruang di samping bantal. Ada sobekan kecil di telinganya, dijahit rapi—seperti luka yang pernah ada, tapi kini sudah sembuh.
"Kehidupanmu... sangat berbeda dari milikku," gumamnya lirih, menatap bayangannya di cermin di seberang ruangan.
"Tapi… kalau ini kesempatan kedua, aku akan coba hidup di dalamnya dengan benar."
Dan dengan napas panjang, Alethea berbaring. Mata terpejam. Tapi pikirannya… mulai mencari. Mencari siapa dirinya sebenarnya. Dan mengapa takdir membawanya ke dalam tubuh seorang gadis bernama Alethea Alegria.
Tpi saya mw sedikit berkomentar, saya membaca novel kk karna tertarik membaca sinopsisnya.
Tapi menurut saya, percakapan ringannya terlalu banyak, membuat pembaca cepat bosan. Coba kakak kurangi percakapan2nya, tpi lebih menggambarkannya aja dan alur konfliknya buat lebih dalam kata2nya.
Terus penggambaran tokohnya agak kurang menjalankan perannya. seperti papa bram( kaya, hebat, punya banyak pengawal) tpi knapa anaknya kurang terjaga, gk ada pengawal yg memantauan dari dekat/jauh.
Arvel ( berjanji mau jaga adeknya di sekolah) tpi gk tw adek tersesat, pergi menyelatkan Aliando.
Gitu aja sih thor, semoga kedepannya lebih bagus, dan mohon jangan tersinggung dengan komentar saya.😊