pernahkah kau membayangkan terjebak dalam novel favorit, hanya untuk menyadari bahwa kau adalah tokoh antagonis yang paling tidak berguna, tetapi Thanzi bukan tipe yang pasrah pada takdir apalagi dengan takdir yang di tulis oleh manusia, takdir yang di berikan oleh tuhan saja dia tidak pasrah begitu saja. sebuah kecelakaan konyol yang membuatnya terlempar ke dunia fantasi, dan setelah di pikir-pikir, Thanz memiliki kesempatan untuk mengubah plot cerita dimana para tokoh utama yang terlalu operfower sehingga membawa bencana besar. dia akan memastikan semuanya seimbang meskipun dirinya harus jadi penggangu paling menyebalkan. bisakah satu penjahat figuran ini mengubah jalannya takdir dunia fantasi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr.Xg, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Thanzi bertemu keluarga Thanzi asli
Malam telah larut ketika Thanzi tiba di Ibu Kota Kekaisaran Eldoria. Gemerlap lentera yang memanjakan mata perlahan meredup seiring semakin dalamnya malam. Meskipun rasa penasaran untuk menjelajahi setiap sudut kota sangat menggebu, tubuh Thanzi memberontak. Kelelahan dari perjalanan panjang di hutan, ditambah guncangan transmigrasi dan benturan ingatan, menuntutnya untuk beristirahat. Ide mencari Akademi malam itu juga akhirnya ia batalkan. Lagi pula, tidak ada gunanya tiba di sana dalam keadaan compang-camping dan setengah mati kelaparan.
Dengan lima koin emas yang terasa begitu berharga di tangannya, Thanzi mulai mencari penginapan. Matanya menyapu deretan bangunan, hingga ia menemukan sebuah penginapan sederhana namun bersih, dengan plang kayu berukir gambar cangkir teh mengepul: "Penginapan Naga Tidur". Aroma sup dan daging panggang yang samar-samar keluar dari celah pintu membuatnya yakin. Ia menyewa sebuah kamar kecil di lantai dua, membayar dengan satu koin perak – pecahan dari koin emasnya – yang membuat pemilik penginapan tersenyum lebar.
Di dalam kamar yang mungil, Thanzi merebahkan diri di atas kasur yang empuk, bantalnya terasa seperti awan setelah sekian lama ia terbiasa tidur di lantai atau di gubuk lusuh. Ia menatap formulir pendaftaran akademi di tangannya. Sebuah pemikiran muncul: Ini pasti dari Jenderal Gareth. Jenderal dingin itu mungkin tidak banyak bicara, tapi ia pasti memiliki intuisi tajam untuk mengetahui Thanzi adalah anak Marquess yang dibuang. Ia pasti tahu betul bahwa seorang anak sebatang kara, tanpa koneksi atau tempat bernaung, akan sangat membutuhkan "sarana" untuk bisa bertahan hidup di ibu kota ini. Memberinya formulir ini adalah cara Jenderal Gareth untuk membantunya, tanpa perlu berbasa-basi. Thanzi merasakan gelombang rasa terima kasih yang tulus. Jenderal itu memang dingin, tapi tindakannya berbicara lebih keras dari kata-kata.
"Jenderal Gareth, ya?" bisik Thanzi, menatap langit-langit kamar. "Aku akan membalas budimu. Suatu saat nanti."
Pikirannya kemudian beralih pada Thanzi yang asli. Ia telah mengingat semua kenangan pahit itu. Pengabaian, penghinaan, kebencian yang tumbuh subur. Thanzi dari Bumi merasakan empati, namun juga sebuah tekad bulat. Orang tua Thanzi yang asli mungkin masih hidup, masih berstatus Marquess dan Lady, tapi mereka sudah lama membuang anak sulung mereka. Mereka bukanlah keluarganya. Thanzi dari Bumi tidak akan menganggap mereka sebagai keluarga. Ia tidak punya orang tua di dunia ini, hanya sebuah misi.
Pagi menyapa dengan kehangatan mentari yang menyusup masuk melalui celah jendela. Thanzi terbangun dengan perasaan yang jauh lebih segar. Ia bangkit, langsung menuju bak mandi kecil di sudut kamar. Airnya hangat dan menyegarkan, membersihkan kotoran dan kelelahan dari tubuhnya. Setelah itu, ia mengeluarkan salah satu dari sepuluh setel pakaian baru yang ia beli tadi malam. Sebuah jubah luaran berwarna biru tua sederhana yang pas di tubuhnya, kemeja putih bersih, dan celana panjang berwarna abu-abu yang nyaman. Ia terlihat seperti pemuda biasa dari keluarga menengah, bukan seorang figuran antagonis yang dibuang.
Setelah berpakaian, ia turun ke ruang makan penginapan. Aroma telur dadar dan teh herbal memenuhi udara. Thanzi memesan sarapan sederhana dan melahapnya dengan nikmat. Setiap suapan terasa seperti energi baru yang mengalir ke dalam tubuhnya.
Selesai sarapan, Thanzi meninggalkan Penginapan Naga Tidur. Pemandangan pagi hari di ibukota sungguh menakjubkan. Cahaya matahari memantul dari atap-atap genting yang diukir indah, menerangi jalanan batu yang bersih. Orang-orang berlalu lalang dengan semangat, sebagian besar berjalan kaki, ada pula yang menaiki kereta kuda mewah yang ditarik oleh kuda-kuda gagah dengan surai terawat. Anak-anak kecil bermain di alun-alun, tawa mereka memenuhi udara. Suasana itu begitu hidup, begitu penuh harapan, kontras dengan kegelapan yang Thanzi rasakan dari memori Thanzi yang asli.
"Baiklah, Akademi," gumam Thanzi pada dirinya sendiri, menarik napas dalam-dalam. Ia tahu ia harus menemukan tempat itu. Namun, ia tidak tahu arah.
Thanzi adalah orang yang tidak pemalu. Ia tahu bahwa di dunia yang asing ini, bertanya adalah cara tercepat untuk belajar. Ia mendekati seorang pedagang buah yang sedang sibuk menata dagangannya.
"Permisi, Paman," Thanzi menyapa sopan, senyum tipis di bibirnya. "Maaf mengganggu. Bisakah Paman memberitahuku di mana letak Akademi Ksatria & Sihir Eldoria?"
Pedagang itu, seorang pria tambun dengan pipi merah, menghentikan pekerjaannya. "Ah, Akademi, ya? Jalan saja lurus ke depan, nak, sampai kau menemukan alun-alun besar dengan air mancur naga. Dari sana, ambil belokan ke kiri. Akademi akan berada di ujung jalan itu, kau tidak akan melewatkannya. Gerbangnya sangat besar."
"Terima kasih banyak, Paman!" ucap Thanzi tulus, lalu bergegas pergi.
Dengan petunjuk yang jelas di kepala, Thanzi berjalan menyusuri jalanan yang semakin ramai. Matanya sibuk mengamati sekeliling, memperluas pengetahuannya tentang kota dan kebiasaan penduduknya. Ia melihat toko-toko unik yang menjual artefak sihir, senjata berkilauan, dan ramuan aneh. Ia juga melihat rumah-rumah bangsawan yang menjulang tinggi dengan taman-taman yang terawat rapi di baliknya. Semua ini adalah detail-detail yang tidak dijelaskan secara rinci dalam novel, dan Thanzi menyerap semuanya seperti spons.
Ia melewati alun-alun dengan air mancur naga yang megah, lalu berbelok ke kiri sesuai petunjuk. Tak lama kemudian, di kejauhan, Thanzi melihatnya: sebuah gerbang besar dan tinggi yang terbuat dari batu putih kokoh, dihiasi dengan ukiran pedang bersilang dan tongkat sihir. Di belakangnya, terlihat menara-menara tinggi dengan atap runcing dan jendela-jendela kaca patri yang memantulkan cahaya matahari. Ini adalah Akademi Ksatria & Sihir Eldoria, tempat di mana para tokoh utama diasah dan tempat bencana besar mulai berakar.
"Akhirnya," Thanzi menghela napas, sebuah tekad membaja terpancar di matanya. Ia melangkah maju, melewati gerbang yang dijaga oleh dua ksatria berzirah, dan masuk ke dalam halaman. Kerumunan remaja seusianya sudah berkumpul di sana, ada yang bersemangat, ada yang gugup, ada pula yang angkuh.
Thanzi langsung menuju meja pendaftaran. "Saya ingin mendaftar," katanya pada seorang staf akademi yang sibuk. Ia menyerahkan formulir yang ia dapatkan dari prajurit.
Staf itu melirik formulir, lalu menatap Thanzi dengan pandangan terkejut namun cepat ia sembunyikan. Thanzi tahu apa yang dipikirkannya: anak dari Marquess Aerion? Tapi mengapa penampilannya begitu sederhana? Namun, staf itu hanya mengangguk profesional. "Baiklah, Tuan Muda. Silakan bergabung dengan yang lain di Aula Grandis untuk ujian masuk. Barisan ini, ikuti saja."
Thanzi mengangguk, jantungnya berdegup kencang. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di ujian itu. Ia tidak memiliki bakat sihir atau pedang seperti para tokoh utama, dan Thanzi yang asli bahkan tidak bisa mengayunkan pedang dengan benar. Tapi ia bertekad untuk mencoba. Entah lulus atau tidak, setidaknya aku sudah berusaha.
Ia segera bergabung dengan sekelompok remaja lain yang seusianya, mereka berbondong-bondong, ada yang berbicara dengan antusias, ada yang saling menyombongkan bakat mereka. Thanzi hanya diam, mendengarkan. Ia memperhatikan ekspresi gugup dan bersemangat di wajah mereka. Sebuah pemikiran melintas: Mereka semua masih polos, tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tidak tahu bahwa kekuatan mereka sendirilah yang bisa menghancurkan dunia ini.
Ketika mereka akhirnya tiba di tempat ujian – sebuah aula besar yang megah dengan lambang-lambang kuno di dinding – Thanzi merasakan udara di sekitarnya berubah. Di tengah kerumunan siswa baru, matanya menangkap beberapa wajah yang sangat, sangat tidak asing. Wajah-wajah yang tadi malam ia lihat di ibu kota, wajah-wajah yang akan menjadi pahlawan.
Ada Pangeran Lyra yang dikelilingi oleh para pengikutnya, menatap kerumunan dengan senyum percaya diri. Ada Elian, putra Duke, sedang berdiskusi serius dengan beberapa pemuda bangsawan lainnya, otot-otot di lengannya terlihat jelas bahkan di balik jubahnya. Dan kemudian, ada sosok yang Thanzi kenali dengan sangat baik, sosok yang paling ia harapkan tidak akan ia temui secepat ini: Michael.
Michael, adik kandung Thanzi yang asli, berdiri di antara orang tuanya, Marquess Aerion dan Lady Elara. Wajah mereka berdua tampak angkuh dan sombong, bangga pada putra bungsu mereka yang begitu cemerlang. Michael terlihat begitu cerah, rambut keemasannya memantulkan cahaya lampu sihir di aula, dan senyumnya polos.
Thanzi merasakan tubuhnya menegang. Ingatan pahit Thanzi yang asli melonjak, rasa sakit dan pengabaian menusuk hatinya.
Marquess Aerion dan Lady Elara, yang awalnya sedang berbicara dengan bangsawan lain, tiba-tiba memalingkan wajah. Mata mereka menyipit, lalu membelalak kaget. Mereka melihat Thanzi. Ekspresi mereka berubah dari terkejut menjadi jijik, seolah melihat sesuatu yang menjijikkan dan tidak seharusnya ada di sana.
"K-kau... apa yang kau lakukan di sini?!" desis Lady Elara, suaranya mengandung campuran amarah dan ketidakpercayaan.
Namun, sebelum mereka bisa melontarkan kata-kata lain, Michael yang polos telah menyadari keberadaan Thanzi. Senyumnya yang cerah langsung melebar, matanya berbinar tanpa sedikitpun kemarahan atau kebencian.
"Kakak Thanzi!" seru Michael, suaranya jernih dan penuh kebahagiaan. Tanpa ragu, ia menerobos kerumunan orang tuanya dan berlari menghampiri Thanzi.
Michael langsung memeluk Thanzi erat-erat, menenggelamkan Thanzi dalam pelukan hangat yang Thanzi yang asli tidak pernah dapatkan. "Kakak sudah kembali! Michael merindukanmu!"
Thanzi membeku. Pelukan itu terasa asing, namun juga membangkitkan gelombang amarah yang asing, namun begitu kuat, amarah yang bukan miliknya, amarah dari Thanzi yang asli. Amarah atas pengabaian, amarah atas perbandingan, amarah atas semua rasa sakit yang tak terbalas. Thanzi tidak bisa menahannya.
Dengan refleks yang keras, Thanzi mendorong Michael.
Michael terhuyung ke belakang, senyum di wajahnya memudar, digantikan oleh ekspresi terkejut dan terluka. Ia jatuh terduduk di lantai, menatap Thanzi dengan mata yang berkaca-kaca.
Aula yang tadinya ramai tiba-tiba hening. Semua mata kini tertuju pada Thanzi. Para bangsawan yang melihat insiden itu, para staf akademi, bahkan Pangeran Lyra dan Elian, menatap Thanzi dengan cemoohan dan jijik.
"Dasar anak tidak tahu diri!" desis seorang bangsawan tua.
"Lihat! Anak yang dibuang itu tetaplah anak yang dibuang!" tambah yang lain.
Marquess Aerion dan Lady Elara bergegas menghampiri Michael, memeluknya dan menatap Thanzi dengan kemarahan yang membara.
Thanzi hanya berdiri diam, wajahnya paku. Ia tidak bermaksud mendorong Michael. Itu adalah reaksi murni dari amarah yang muncul dari Thanzi yang asli. Dan kini, ia telah membuat tontonan memalukan di depan semua orang penting. Misi pertamanya untuk menyeimbangkan plot, sepertinya, baru saja dimulai dengan kekacauan total.