Raina tak pernah membayangkan bahwa mahar pernikahannya adalah uang operasi untuk menyelamatkan ibunya.
Begitupun dengan Aditya pun tak pernah bermimpi akan menikahi anak pembantu demi memenuhi keinginan nenek kesayangannya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan.
Dua orang asing di di paksa terikat janji suci karena keadaan.
Tapi mungkinkah cinta tumbuh dari luka, bukan dari rasa????
Tak ada cinta.Tak ada restu. Hanya diam dan luka yang menyatukan. Hingga mereka sadar, kadang yang tak kita pilih adalah takdir terbaik yang di siapkan semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kontrak perjanjian.
Tiga hari sudah berlalu sejak Raina mengajukan permintaan cerai. Dan selama tiga hari itu pula, Aditya menghilang tanpa jejak. Bukan kabar, bukan penjelasan, bahkan sekadar suara pun tak ada. Namun anehnya, rumah itu justru semakin dijaga ketat. Bodyguard berdiri di setiap sudut, mengunci semua pintu keluar seolah Raina adalah tahanan, bukan seorang istri.
Raina duduk diam di depan balkon kamarnya. Mata sayunya menatap lurus ke arah gerbang yang dijaga ketat. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi pikirannya bergemuruh. Dada sesak oleh amarah yang tak sempat diteriakkan. Betapa ironis. Selama dua tahun pernikahan, ia hidup dalam bayang-bayang, nyaris tak dianggap. Dan kini, saat ia ingin pergi, pria itu datang kembali hanya untuk mengurungnya, memperlakukannya seperti milik yang tak boleh hilang.
Tak ada air mata yang jatuh. Tangisnya telah habis bersama malam-malam sepi yang dulu ia tangisi sendirian. Yang tersisa hanyalah luka, kecewa, dan kemarahan yang mengendap di dada, menyesakkan seperti kabut hitam yang tak pernah reda.
Selama tiga hari itu, Raina mengunci diri. Ia menolak makan. Hanya air putih yang ia teguk sesekali, sekadar menjaga tubuhnya tetap bertahan. Bujukan dari kepala pelayan hanya ia balas dengan diam. Lidahnya kelu, suaranya seperti tertinggal bersama harga dirinya yang dulu dirampas perlahan-lahan.
Wajah cantiknya kini tampak tirus. Kulitnya pucat, dan tubuhnya melemah. Ia seperti bayangan dirinya sendiri—kosong, rapuh, dan hampir hilang. Bahkan untuk berbicara pun kini terasa berat, seolah tak ada lagi yang pantas ia ucapkan.
Dan hari ini, Aditya kembali.
Mobil mewahnya melaju perlahan memasuki pekarangan, memecah keheningan yang terasa dingin. Raina menyaksikannya dari balik jendela, matanya tak berkedip menatapnya.
Aditya keluar dari mobil dengan setelan kantor yang masih rapi. Langkahnya tegap, ekspresinya dingin, nyaris tanpa emosi. Para pelayan buru-buru berbaris, menunduk dalam, menyambut sang tuan rumah. Tapi ia hanya melewati mereka tanpa sepatah kata pun, membawa aura dingin yang langsung memenuhi seisi rumah.
Tanpa banyak bicara, Aditya menuju kamar Raina. Ia mengeluarkan kunci serep—ia tahu Raina tak akan membukakan pintu untuknya. Dalam sekali putaran, pintu terbuka, dan di hadapannya berdiri kenyataan pahit: seorang istri yang kini hanyalah bayang-bayang dari wanita yang dulu ia abaikan.
Raina tidak menoleh. Ia tetap duduk di kursi balkon, seperti tak merasakan kehadirannya. Namun dalam diamnya, ada perlawanan. Dalam tenangnya, ada luka yang tak tertolong. Dan dalam tatapannya yang kosong, ada satu harapan yang nyaris padam—harapan untuk bebas.
.
.
"Kenapa mas, memperlakukanku seperti tahanan?" Suara Raina nyaris tak terdengar, serak dan pelan, namun cukup jelas untuk menusuk ruang sunyi kamar itu. Suara itu bukan hanya berasal dari bibirnya, tapi dari luka yang menganga di hatinya.
Aditya perlahan melangkah mendekat, wajahnya datar, seperti tak terusik oleh nada pilu istrinya. Ia berlutut, menyibak anak rambut yang jatuh di wajah Raina. Namun tangan itu segera ditepis oleh Raina dengan gerakan cepat.
"Aku tetap mau pergi," ucap Raina lirih tapi tegas. "Tolong lepaskan aku. Sudahi drama ini. Kita jalani hidup masing-masing."
Raina meraih tangan Aditya, mencoba menggapai sedikit saja belas kasih yang dulu pernah ia kenal. Namun yang didapat justru dorongan keras hingga tubuhnya membentur dinding. Nafasnya tertahan, tubuhnya bergetar. Namun tatapannya tetap menantang.
"Aku ingin lihat, hidup seperti apa yang bisa kau jalani tanpaku!" desis Aditya. Sorot matanya tajam, penuh bara. "Bahkan rumah satu-satunya yang selalu kau banggakan itu… sudah bukan milikmu lagi."
Senyum sinis mengembang di bibir pria itu, seperti luka yang dipaksa terbuka.
"Bohong!" Raina membentak, meski suara hatinya mulai goyah. "Itu rumah peninggalan Ibu. Tak seorang pun berhak mengambilnya."
Aditya tak membalas. Ia berbalik dan keluar dari kamar, membiarkan Raina tenggelam dalam ketidakpastian. Sekitar tiga puluh menit kemudian, pria itu kembali dengan map di tangannya.
"Silakan," katanya, melemparkan map itu ke lantai. "Sekarang kau punya dua pilihan: keluar dari sini dan menjadi gelandangan, atau tetap di sini sebagai istri yang patuh."
Belum sempat Raina merespons, Aditya kembali menambahkan, suaranya dingin dan menusuk.
"Dan jangan lupa... tentang kontrak pernikahan kita. Kau tidak lupa, kan, apa isinya?"
Jantung Raina berdegup tak beraturan. Ingatannya melesat ke masa lalu—di ruang tunggu rumah sakit, saat ia buru-buru menandatangani berkas yang disodorkan asisten Aditya. Waktu itu, pikirannya hanya penuh oleh kekhawatiran terhadap ibunya yang sedang dioperasi. Ia tak membaca satu kata pun dalam kontrak itu.
Matanya mulai berkaca-kaca saat Aditya mengutip salah satu klausul:
Pihak kedua tidak dapat mengajukan gugatan cerai tanpa persetujuan pihak pertama. Jika dilanggar, pihak kedua wajib membayar denda sebesar dua miliar rupiah dan bersedia diproses hukum atas dasar penipuan perjanjian.
Lutut Raina melemas. Tubuhnya merosot ke lantai. Air matanya jatuh tanpa suara. Baru kemarin ibunya dikuburkan, bahkan tanah di pusara masih basah. Dan hari ini, ia kembali dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan: pernikahan yang tak hanya hampa, tapi juga menjelma jerat yang mencekik.
Aditya berjongkok, menyamai tinggi tubuh Raina yang kini tak berdaya.
"Jadilah istri yang baik... Oh, satu hal lagi," katanya, menepuk bahu Raina dengan ringan namun menyakitkan. "Nasib para karyawan, ada di tanganmu."
Raina menggeleng dengan getir. "Bahkan iblis pun tak sekejam ini, Mas!" jeritnya diiringi tangisan.
Aditya tersenyum tipis. "Bagus. Kalau kau sudah tahu, berarti kau tahu bagaimana harus bersikap." Ia mencengkeram pipi Raina dan menatapnya dalam-dalam. "Sekarang temani aku makan!"
Langkah Aditya meninggalkan kamar seperti gema petir yang membelah ruang hati Raina. Marah, bingung, namun tak bisa berbuat apa-apa, Raina mengepalkan tangannya, menggosok lantai dengan geram. Tapi tetap bangkit, menuruti perintah suaminya.
Di ruang makan, meja sudah dipenuhi aneka masakan. Aneh, hampir semuanya adalah makanan kesukaannya. Dari ayam goreng kampung, sop iga, hingga oseng cumi. Ada kenangan dalam tiap hidangan itu, kenangan yang tak pernah lagi dihadirkan sejak lama.
Raina tercekat. Ia tak tahu harus merasa tersentuh atau justru curiga. Dalam balutan luka, kasih itu kadang terasa seperti ilusi.
"Segera duduk! Jangan buang waktuku terlalu lama," perintah Aditya.
Raina menurut. Ia duduk di kursi yang sudah disiapkan pelayan. Tapi mulutnya kelu. Bagaimana bisa ia berbicara setelah perang yang baru saja meletus?
Aditya hanya diam, tapi tatapannya tajam memperhatikan. Itu membuat Raina gugup tak karuan.
"Mas mau makan yang mana? Biar aku ambilkan," gumam Raina, nyaris seperti bisikan. Ia sendiri heran, kenapa masih ada rasa malu dalam dirinya.
"Semuanya."
"Hah?" Raina terperangah. "Segini banyaknya?"
Namun Aditya tidak menoleh. Ia sibuk dengan gawainya. Tanpa menjelaskan apa pun, ia berdiri dan menegaskan,
"Habiskan. Saya ada rapat di kantor."
"Mas, jangan bercanda. Ini bahkan melebihi porsi kuli!" protes Raina, kesal.
Tanpa menghiraukan, Aditya memberi isyarat pada kepala pelayan. "Jika tidak dihabiskan, pecat dia."
Begitu saja, ia pergi, meninggalkan badai yang belum sempat reda.
Kepala pelayan menghampiri dengan wajah memohon. "Nyonya, mohon sekali ini saja... Hidup keluarga saya bergantung pada pekerjaan ini."
Raina menarik napas panjang, hatinya teriris.
"Tenang, Bibi. Panggil semua pelayan. Kita makan bersama."
"Tapi, Nyonya..."
"Aku yang akan tanggung jawab. Daripada makanan ini dibuang, lebih baik kita nikmati bersama."
Dan siang itu, Raina duduk di meja makan bersama para pelayan. Suasana yang sederhana, hangat, dan jauh dari kemewahan—namun terasa lebih manusiawi daripada apa pun yang pernah ia rasakan selama tinggal di mansion itu.
Di tengah kehancurannya, Raina menemukan seberkas kehangatan. Di antara luka dan luka, ia masih bisa merasa hidup. Bukan karena cinta dari suaminya, tapi karena rasa yang sederhana: dihargai, dianggap manusia.
Dan di luar sana, di balik pintu besar yang tertutup, Aditya berdiri diam. Mengintip dari celah jendela, menyaksikan Raina tertawa kecil bersama para pelayan. Bibirnya mengulas senyum samar, entah karena puas, entah karena luka lama yang tiba-tiba terasa akrab kembali.