"Satu detik di sini adalah satu tahun di dunia nyata. Beranikah kamu pulang saat semua orang sudah melupakan namamu?"
Bram tidak pernah menyangka bahwa tugas penyelamatan di koordinat terlarang akan menjadi penjara abadi baginya. Di Alas Mayit, kompas tidak lagi menunjuk utara, melainkan menunjuk pada dosa-dosa yang disembunyikan setiap manusia.
Setiap langkah adalah pertaruhan nyawa, dan setiap napas adalah sesajen bagi penghuni hutan yang lapar. Bram harus memilih: membusuk menjadi bagian dari tanah terkutuk ini, atau menukar ingatan masa kecilnya demi satu jalan keluar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Awph, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1: Tangan yang kembali pulang
Potongan tangan manusia yang sudah membiru tergeletak tepat di atas peta navigasi milik Baskara. Darah segar masih merembes dari pergelangan yang terpotong kasar itu hingga membasahi jemarinya yang mulai bergetar hebat.
Baskara tersedak udara dingin yang tiba-tiba berbau busuk seperti bangkai yang terbakar di tengah hutan jati yang merangas. Ia melempar peta itu ke tanah dan melompat mundur dengan wajah pucat pasi serta mata yang terbelalak lebar karena rasa ngeri.
Lampu senter di bahunya berkedip-kedip tidak beraturan saat ia berusaha mengatur napas yang tersenggal-senggal. Ia menoleh ke arah Arini yang berdiri mematung di bawah pohon beringin tua dengan tatapan kosong yang sangat mengerikan.
"Arini, jangan diam saja! Apa kamu melihat siapa yang melempar potongan daging ini ke arahku?" tanya Baskara dengan suara yang serak dan pecah.
Arini tidak bergeming sedikit pun meski dipanggil berkali-kali dengan suara yang sangat keras hingga menggema ke seluruh penjuru hutan. Wanita itu justru perlahan mengangkat tangannya yang pucat ke arah kegelapan hutan yang pekat secara berulang-ulang.
"Dia tidak melempar benda itu, Baskara. Dia hanya sedang mengembalikan milikmu yang sudah lama hilang dari tubuhmu," bisik Arini tanpa sedikit pun menolehkan wajahnya.
Baskara mengernyitkan dahi sambil menatap punggung Arini yang tampak semakin kaku seperti sebatang kayu yang sudah mati. Ia merasa ada sesuatu yang sangat salah dengan nada bicara rekan medisnya yang biasanya sangat tenang dan penuh dengan logika.
"Apa maksudmu mengembalikan milikku? Kedua tanganku masih utuh dan melekat kuat di bahuku!" bentak Baskara sambil menunjukkan kedua tangannya yang kini bersimbah darah kental.
Arini perlahan memutar kepalanya hingga terdengar suara tulang leher yang berderak dengan sangat nyaring secara berulang-ulang. Mata Arini sudah menghilang dan hanya menyisakan lubang hitam yang terus mengeluarkan air mata darah kental ke pipinya yang sangat pucat.
"Lihatlah baik-baik tanda lahir di jempol tangan yang tergeletak di atas semak itu," ucap Arini sambil tersenyum hingga merobek sudut bibirnya sendiri.
Baskara menunduk dan mendekatkan cahaya lampu senter ke arah potongan tangan yang tadi ia buang ke atas semak berduri. Jantungnya seolah berhenti berdetak saat melihat tanda lahir berbentuk bulan sabit di jempol tangan yang sudah mulai membusuk tersebut.
Tanda itu sangat identik dengan tanda lahir yang ada di jempol tangan kanannya sendiri sejak ia dilahirkan ke dunia oleh ibunya. Ia segera memeriksa kembali tangan kanannya namun pemandangan di depan matanya kini jauh lebih mengerikan dari apa pun yang pernah ia lihat.
"Kenapa tanganku tiba-tiba terasa sangat dingin dan tidak bisa lagi kugerakkan?" tanya Baskara dengan suara yang melemah dan penuh dengan ketakutan.
Arini tertawa melengking hingga membuat burung-burung malam beterbangan menjauh dari pohon beringin yang sangat keramat tersebut. Ia menunjuk ke arah pergelangan tangan Baskara yang mulai mengeluarkan asap hitam dan aroma daging busuk yang sangat menyengat lubang hidung.
"Satu detik di hutan ini adalah satu tahun dari kehidupanmu yang sangat berharga," ucap Arini dengan suara yang kini terdengar seperti ribuan bisikan gaib.
Baskara meraung kesakitan saat kulit di tangan kanannya mulai mengelupas dan jatuh ke tanah seperti dedaunan kering yang sudah rapuh. Ia melihat tulang jemarinya mulai menghitam dan hancur menjadi serpihan abu yang terbang terbawa angin malam yang sangat kencang secara terus-menerus.
"Tolong aku, Arini! Cepat ambil kotak medis dan hentikan proses pembusukan ini sekarang juga sebelum terlambat!" perintah Baskara sambil berlutut di atas tanah yang lembap.
Arini tidak bergerak untuk menolong dan hanya menatap Baskara dengan lubang matanya yang gelap dan sangat dalam secara terus-menerus. Wanita itu perlahan mulai menghilang ke dalam batang pohon beringin seolah-olah tubuhnya menyatu dengan kulit kayu yang sangat kasar dan hitam.
"Hanya pengorbanan yang tulus yang bisa menghentikan kutukan dari kakek buyutmu," suara Arini terdengar menggema dari dalam lubang pohon beringin tua tersebut.
Baskara memegangi bahunya yang mulai terasa kaku saat proses pembusukan itu merambat naik menuju lengan atasnya dengan sangat cepat. Ia mencoba meraih parang di pinggangnya namun tangannya sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk sekadar menggenggam gagang senjata tersebut dengan erat.
Cahaya lampu senter yang jatuh di tanah mulai berkedip-kedip sebelum akhirnya mati total dan menyisakan kegelapan yang sangat pekat di sekelilingnya. Baskara merasakan kehadiran ribuan mahluk kecil yang mulai merayap naik ke atas kakinya dari dalam tanah becek yang berbau amis.
"Siapa yang sedang menyentuh kakiku di tengah kegelapan yang buta ini?" teriak Baskara sambil menendang-nendang udara dengan sisa-sisa tenaganya yang terakhir.
Suara desisan ular dan tawa anak kecil mulai terdengar bersahutan dari segala arah mata angin secara berulang-ulang. Baskara merasa sebuah tangan dingin dan sangat besar mulai mencekik lehernya dari arah belakang dengan kekuatan yang luar biasa dahsyat dan beringas.
Ia berusaha melepaskan cekikan itu namun jemarinya justru menyentuh permukaan wajah yang sangat licin dan tidak memiliki lubang hidung maupun mata. Mahluk itu menarik kepala Baskara agar menatap ke arah lubang pohon beringin yang kini memancarkan cahaya merah darah yang sangat redup.
"Selamat datang di rumah yang sudah lama menanti kepulanganmu," bisik mahluk tanpa wajah itu tepat di lubang telinga Baskara yang mulai berdarah.
Baskara melihat bayangan Arini yang sedang duduk di dalam lubang pohon sambil menjahit potongan-potongan kulit manusia menggunakan rambut yang sangat panjang. Setiap tarikan benang yang dilakukan oleh Arini membuat Baskara merasakan sakit yang sangat luar biasa di seluruh bagian tubuhnya secara serentak.
"Berhenti melakukan itu atau aku akan membakar seluruh hutan terkutuk ini!" ancam Baskara dengan sisa-sisa napas yang semakin menipis di dalam tenggorokannya yang sakit.
Arini mendongak dan menunjukkan wajahnya yang kini sudah terjahit sepenuhnya hingga tidak ada satu pun celah yang tersisa untuknya berbicara lagi. Wanita itu mengangkat sebuah jarum besar yang terbuat dari tulang manusia dan mengarahkannya tepat ke arah mata kiri milik Baskara yang terbelalak.
Baskara mencoba memejamkan mata namun sebuah kekuatan gaib memaksa kelopak matanya untuk tetap terbuka lebar dan menatap ujung jarum yang sangat tajam. Ia melihat tetesan darah segar jatuh dari ujung jarum itu dan mengenai permukaan kornea matanya hingga terasa sangat perih dan membakar jiwanya.
Tangan kanan Baskara perlahan mulai hancur sepenuhnya dan menjadi abu di depan matanya sendiri.