Amira wanita cantik itu, menatap suaminya dengan perasaan yang sulit di artikan. bagaimana tidak, dua tahun yang lalu, dia melepaskan kepergian Andika untuk bekerja ke kota, dengan harapan perekonomian rumah tangga mereka akan lebih mapan, keluar dari kemiskinan. tapi harapan itu hanyalah angan-angan kosong. suami yang begitu di cintanya, suami yang setiap malam selalu di ucapkan dalam sujudnya, telah mengkhianatinya, menusuknya tanpa berdarah. bagaimana Amira menghadapi pengkhianatan suaminya dengan seorang wanita yang tak lain adalah anak dari bos dimana tempat Andika bekerja? ikuti yuk lika-liku kehidupan Amira beserta buah hatinya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Baim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
Amira berdiri menatap Ibu mertuanya, dengan lelehan air matanya, yang terus bercucuran. Bu Susi cuma diam. Hatinya bergejolak. kata-kata yang meluncur dari mulut Amira, tidak mampu dia balas. Karena dia sendiri tidak tahu dimana letak kesalahan menantunya itu.
"Apa karena aku seorang anak yatim piatu dan miskin Bu? Itu kan alasan Ibu membenci aku." Amira menunduk. Tertawa pelan. Seluruh tubuhnya seperti ditusuk-tusuk beribu jarum. Dari ujung kepala sampai ujung kaki. Semua terasa sakit, dengan ucapannya sendiri. Amira lelah. Lelah lahir, maupun batin.
Sementara di depan teras, Pak RT dan beberapa orang warga berdiri terpaku. Bu Sinta dan Bu RT, sampai meneteskan air mata mereka, mendengar ucapan Amira.
"Yang lain tunggu di luar, jangan coba-coba ada yang berani masuk, akan aku pecat jadi warga ku kalau ada yang berani melanggar perintah ku."
Beberapa Ibu-ibu hampir meledakan tawa mendengar guyonan RT mereka, yang terkenal suka sekali bercanda.
"Pak apan sih...situasi kayak gini, malah bercanda."Gerutu Bu RT, berbisik. Tapi dua jarinya berhasil menjepit perut suaminya dengan mudah.
"Habisnya.."
"Sudah ayo masuk! Kelamaan jadinya."
Pak RT, cuma dapat menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ibu-ibu yang menunggu di teras tersenyum simpul. Mereka sudah paham. Kalau Pak RT mereka tidak bisa membantah ucapan istrinya. Pak RT akhirnya ikut masuk mengikuti langkah istrinya dan Bu Sinta.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumssalam."
Amira melangkah dengan cepat, setelah tahu siapa yang datang. Dia langsung menghambur memeluk Bu Sinta, setelah wanita baik itu masuk ke dalam rumah.
Amira terisak, menangis sejadi-jadinya di pelukan Bu Sinta.
"Sabar nak, sabar. Serahkan semuanya pada Allah. Semua ada hikmahnya. Ibu do'akan yang terbaik buat kamu. Kamu berhak bahagia nak. Dan Ibu pastikan kamu akan mendapatkan itu."Ucap Bu Sinta, juga ikut menangis. Bu RT mengusap punggung Amira perlahan, sambil mengucapkan kata-kata penyemangat.
Sementara Pak RT, sudah mengambil tempat duduk, tanpa dipersilahkan sama yang punya rumah. Bu Susi,menatap geram ke arah Amira yang masih memeluk Bu Sinta. Dia begitu marah, dengan kedatangan tamu yang tidak di undang.
"Bu Susi, jangan tegang seperti itu, ayo duduk, santai saja.."Teguran Pak RT, mengalihkan perhatian Bu Susi.
"Siapa yang suruh kalian datang ke rumah ku hahhh...ini urusan rumah tangga ku, walau kamu sebagai RT, kamu tidak berhak ikut campur. Segera keluar dari rumah ku sekarang. Aku tidak butuh kalian. Ayo keluar sekarang."Teriak Bu Susi kencang. Kedua matanya melotot tajam pada Pak RT. Jari telunjuknya menunjuk ke arah pintu.
"Aku yang panggil mereka Bu."Balas Amira, setelah melepaskan dirinya dari Bu Sinta.
"Ayo Bu, kita duduk."Ajak Amira. Dia melangkah ke sofa diikuti Bu Sinta dan Bu RT.
"Ibu tidak setuju Amira, lancang kamu main undang orang di rumah ku. Siapa kamu hahhh. Kamu tidak punya hak di rumah ini. Ini rumahku, suruh mereka keluar sekarang juga, kamu dengar Amira, suruh mereka KELUAR SEKARANG."Teriak Bu Susi kencang. Raut wajahnya terlihat memerah, karena marah.
"Maaf Bu, aku memanggil mereka, cuma untuk menjadi saksi, atas kata talak yang akan di ucapkan Mas Dika pada ku nanti."Ucap Amira santai. Dia duduk di kursi dengan tenang. Memperlihatkan kalau dia baik-baik saja.
"AMIRA..."
Bu Sinta dan Bu RT, meneriaki nama Amira dengan keras. Keduanya tidak menduga kalau Amira memanggil mereka untuk menjadi saksi atas kata talak Andika padanya.
Sedangkan Bu Susi, emosinya yang tadi sempat meledak-ledak, kini berubah menjadi senyum sumringah. Itu sangatlah terlihat jelas dari raut wajahnya.
"Maafkan aku Bu. Aku sudah capek. Sudah lelah. Dua tahun Bu, bukan waktu yang singkat untuk aku bertahan dengan semua sikap Ibu sama aku. Dua tahun aku dimaki-maki, dihina, di bentak, dibilang perempuan miskin, yatim piatu."
Amira terdiam sesaat. Menarik napasnya dalam-dalam, lalu dihembuskan kuat. Mengeluarkan semua beban yang terhimpit di dadanya.
"Aku juga manusia Bu. Yang punya kesabaran. Aku akan mengakhiri semuanya. Dengan jatuhnya kata talak dari Mas Dika."
Bu Susi tertawa terbahak-bahak. Hatinya seakan-akan puas dengan ucapan Amira barusan.
"Akhirnya kamu tau diri juga Amira. Sadar siapa kamu. Anakku itu, seorang karyawan perusahaan besar. Tidak pantas mempertahankan istri modelan kamu itu. Dia akan mendapatkan istri yang lebih cantik, punya kedudukan yang tinggi, asal usulnya jelas, dan kaya raya pastinya."Kata dengan pongahnya.
"Bu Susi. Kamu itu benar-benar tidak punya hati ya. Aku benar-benar heran, kok ada ya seorang Ibu ingin menghancurkan rumah tangga anaknya sendiri. Dan itu diucapkan dengan bangganya. Bu Susi, apa hal itu dialami oleh Riska anak perempuan Ibu, apa Ibu masih membanggakan diri?"Tanya Bu RT. Dia sangat geram dengan ucapan wanita itu.
"Riska tidak akan pernah mengalami hal itu Bu RT, karena anakku sangat di sayang keluarga suaminya. Terutama Ibu mertuanya. Jadi jangan samakan Riska dengan Amira. Mereka berdua sangat jauh berbeda."
"Lahhh..itu Ibu tau kalau Riska disayang sama Ibu mertuanya, lalu kenapa Bu Susi nggak pernah menyayangi Amira? Seperti Ibu Nunung menyayangi Riska?"
"Sudah aku katakan kalau mereka berdua itu, sangat jauh berbeda. Riska punya keluarga, asal usulnya jelas. Sementara Amira itu anak yatim-piatu. Asal usulnya tidak jelas. Anak pembawa sial, miskin."
Dengan lantang dan entengnya, Bu Susi berucap. Dia tidak pernah merasa bersalah sedikitpun, kalau menantunya itu, mersa sakit hati.
Dan jlebb...
Seperti anak panah menancap tepat di dadanya. Memporak-porandakan isi di dalamnya. Amira menunduk, tersenyum getir. Setetes air mata jatuh membasahi pipinya.
Bu Sinta menatap Amira dengan kesediaan yang mendalam. Dia ikut merasakan apa yang dirasa Amira saat ini. Tangannya menyentuh pundak Amira. Memberi kekuatan pada perempuan malang itu.
Bu RT dan Pak RT cuma menggelengkan kepala.
"Bu Susi, emangnya saat kita lahir ke dunia ini, kita sendiri yang menentukan nasip kita? Mau miskin mau kaya, itu semua sudah di takdir kan. Bu Susi, maaf ya, aku tanya sama kamu, emangnya Ibu punya harta sebanyak apa? Sampai-sampai Ibu dengan seenaknya mengatakan orang lain miskin. Emangnya Bu Susi sekaya apa Ibu sih? Tolong katakan pada aku. Mungkin saja Ibu punya warisan yang banyak dari nenek moyang Bu Susi, yang masih tersimpan. Yang orang sekampung nggak tau. Coba katakan Bu, biar kami semua akan menyanjung, memuja, menjilat, mengelu-elukan, keluarga Ibu Susi, yang harta kekayaannya masih tersimpan entah di lobang goa sebelah mana. Cuma Tuhan dan Bu Susi saja yang tau."
Wajah Bu Susi seketika merah padam. Dia menatap Bu RT dengan nyalang. Emosinya kembali berkobar. Siap untuk berperang.
"Sudahlah, tidak usah berdebat. Kedatangan kami kesini karena dipanggil Amira."Pak RT segera melarai. Dia sudah khatam kebiasaan istrinya. Yang tidak akan mau mengalah, kalau sudah menyangkut harga dirinya.
"Nak Mira, Bapak mau tanya, apa benar yang kamu ucapkan tadi?"
Amira mengangkat wajahnya menatap Pak RT. Senyum tipisnya terukir.
Bersambung.....
Jd gmes bcanya bkin emosi
Thor jgn bkin amira jd org bego. Toh itu cm mertua bkn ibu kndungnya