Nayara Kirana seorang wanita muda berusia 28 tahun. Bekerja sebagai asisten pribadi dari seorang pria matang, dan masih bujang, berusia 35 tahun, bernama Elvano Natha Prawira.
Selama 3 tahun Nayara menjadi asisten pria itu, ia pun sudah dikenal baik oleh keluarga sang atasan.
Suatu malam di sebuah pesta, Nayara tanpa sengaja menghilangkan cincin berlian senilai 500 juta rupiah, milik dari Madam Giselle -- Ibu Elvano yang dititipkan pada gadis itu.
Madam Gi meminta Nayara untuk bertanggung jawab, mengembalikan dalam bentuk uang tunai senilai 500 Juta rupiah.
Namun Nayara tidak memiliki uang sebanyak itu. Sehingga Madam Gi memberikan sebuah penawaran.
"Buat Elvano jatuh cinta sama kamu. Atau saya laporkan kamu ke polisi, dengan tuduhan pencurian?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
01. Hilangnya Berlian Senilai 500 Juta.
Nayara meremat kedua tangannya di atas pangkuan. Buliran keringat dingin perlahan membasahi pipi yang berperona merah muda itu.
Ia duduk di atas sofa dengan menundukkan kepala. Sementara, di hadapannya sang atasan -- Elvano Natha Prawira dan ibunya, Madam Giselle tengah menatap gadis itu dengan lekat.
Beberapa waktu yang lalu, mungkin satu atau dua jam ke belakang.
Di tengah riuh pesta yang berlangsung di halaman rumah mewah keluarga Prawira, Nayara di titipkan sebuah cincin berlian oleh Madam Giselle. Karena wanita paruh baya berdarah Inggris itu akan pergi ke toilet.
Tanpa rasa khawatir atau pun curiga, Nara begitu wanita itu biasa disapa, menerima benda berkilauan itu begitu saja. Ia menyimpan di dalam tas kecil yang dibawanya.
Dan entah kapan terjadi, Nayara tak menyadari jika tas kecil yang ia bawa telah raib dari tangannya.
Wanita itu berusaha untuk tenang, mencari dan memeriksa kamera pengawas di rumah mewah itu. Namun sayangnya, ia berdiri di tempat yang tak terjangkau pantauan CCTV.
"Saya anggap ini kecerobohan kamu, Nara." Ucap Madam Giselle.
Raut wajahnya terlihat tenang, namun setiap ucapan yang keluar dari mulutnya, terasa seperti sembilu bagi Nayara.
"Sekali lagi, saya minta maaf, Madam." Suara Nayara sangat pelan dan nyaris tak terdengar.
"Kamu harus bertanggung jawab, Nara. Itu berlian edisi terbatas hadiah dari suami saya, saat ulang tahun pernikahan kami tahun lalu." Imbuh Madam Giselle.
"Mi." Elvano yang sejak tadi hanya diam, kali ini menegur sang mami.
"Apa? Kamu mau membela Nara karena dia asisten kamu?" Wanita berusia enam puluh tahun itu mendelik tajam pada sang putra sulung.
"Bukan seperti itu. Tetapi mami terlihat seperti orang yang tidak mampu, mempermasalahkan uang yang tidak seberapa itu." Elvano berdecak pelan.
Nayara menelan ludah dengan kasar. Bagi keluarga Prawira, uang 500 juta mungkin hanya recehan. Namun untuk orang yang terlahir dari keluarga menengah ke bawah seperti dirinya, nominal itu amatlah banyak.
Madam Giselle hendak kembali berbicara, namun di interupsi oleh kedatangan sang suami -- Rivanno Prawira dan putri keduanya -- Elvira Maharani.
"Bagaimana hasilnya, Pi?" Tanya Elvano penasaran.
"Nihil. Papi sudah memeriksa beberapa tamu yang tersisa. Di lihat dari waktu terakhir kali Nara membawa dompetnya. Tidak ada sama sekali." Jelas pria berusia enam puluh tahun itu.
Ia duduk di samping sang istri. Sementara Elvira Maharani memilih bergabung dengan sang kakak.
Nayara semakin terlihat seperti seorang pesakitan yang sedang di sidang.
"Jadi, bagaimana Nara? Kamu mau bertanggung jawab, atau saya laporkan ke pihak berwajib?" Tanya Madam Giselle.
Nayara sontak mengangkat kepalanya dan menggeleng cepat.
"Tolong jangan laporkan ke polisi, Madam. Saya akan bertanggung jawab. Tapi, mohon berikan saya waktu." Ucap Nayara dengan suara sedikit bergetar.
Ia tidak mau jika sampai berurusan dengan pihak berwajib. Apa yang harus ia katakan nanti pada Nayla -- adik satu-satunya yang ia miliki dan kini ikut tinggal di Jakarta bersamanya.
"Berapa lama?" Tanya Madam Giselle sekali lagi.
"Saya belum tau, Madam." Nayara kembali menggeleng.
"Sudahlah, mi. Nanti biar papi belikan lagi mami berlian itu. Jangan menekan Nara seperti itu." Sela Tuan Rivanno.
"Ini bukan perkara beli lagi." Tegas Madam Giselle. Kali ini suaranya terdengar lebih keras dari biasanya.
"Jangan 'kan papi, mami pun masih sanggup membelinya sendiri. Tetapi, ini tentang tanggung jawab! Nara harus bisa bertanggung jawab. Jika semua di anggap mudah seperti yang papi dan Elvano ucapkan tadi, maka akan banyak orang yang tidak bertanggung jawab di luar sana." Imbuhnya kemudian.
Dalam hati Nayara membenarkan ucapan wanita paruh baya itu. Namun, ia sungguh tidak memiliki uang sebanyak itu.
Meski sudah tiga tahun bekerja menjadi asisten pribadi Elvano, dan mendapatkan gaji dua digit. Namun ia harus menghidupi keluarganya.
Membiayai kuliah Nayla, dan mengirim uang setiap bulan pada orang tuanya di kampung.
"Saya pasti akan bertanggung jawab, Madam."
.
.
.
.
.
Nayara duduk termenung di atas kursi meja kerjanya. Ia berusaha memutar setiap kejadian yang telah berlalu semalam.
Namun, tak satupun terlintas dimana ia lupa meletakkan tas kecilnya itu.
"Apa terjatuh saat aku mengeluarkan ponsel?" Gumamnya.
Jika iya, pagi ini harusnya ia mendapatkan kabar dari kediaman keluarga Prawira 'kan?
"Dimana?"
"Siapa?" Tanya Elvano, yang entah sejak kapan telah berdiri menjulang di seberang meja kerja sang asisten.
Seketika Nayara terlonjak dan hampir terjatuh.
"Hati - hati, Ra. Kamu kenapa?" Tanya pria dewasa itu.
"Bapak kapan datangnya?" Tanya Nayara. Ia kemudian berdiri, lalu sedikit membungkuk tanda memberikan hormat pada Elvano.
"Kamu kenapa, Nayara?" Tanya pria itu sembari mengamati penampilan sang asisten.
"Apa kamu tidak tidur semalaman?" Tanya Elvano lagi. Sebab penampilan Nayara pagi ini terlihat berbeda.
Tidak terlihat segar seperti biasanya. Meski gadis itu merias wajahnya, namun masih terasa ada yang kurang.
Nayara menghela nafas panjang. Bagaimana bisa ia tidur dengan nyenyak? Sementara di dalam pikirannya terbayang uang sebanyak 500 Juta dan kantor polisi.
"Nara." Panggil Elvano sekali lagi.
"Bapak mau kopi? Sebentar, biar saya minta jadwal bapak sama mbak Dewi." Nayara menyebut nama sekretaris pria itu.
Ia memang asisten pribadi Elvano, namun masih ada seorang sekretaris yang mengurus jadwal pria itu. Tugas Nayara lebih banyak mengekori sang atasan. Hingga mengurus segala keperluan pribadinya.
Dan sang atasan juga memiliki asisten lain -- seorang pria berusia tiga puluh tahun, yang menjadi tangan kanan dan orang kepercayaan Elvano.
"Kamu memikirkan ucapan mami?" Tanya Elvano saat Nayara hendak pergi.
"Siapa yang bisa tidur dengan nyenyak setelah tanpa sengaja menghilangkan cincin berlian senilai 500 Juta, pak?" Tanya Nayara kemudian.
"Jangan terlalu dipikirkan, Ra. Mami hanya menggertak kamu. Dia tidak serius. Nanti biar saya yang membelikan yang baru." Pria berusia tiga puluh lima tahun itu berusaha menghibur sang asisten.
Kepala Nayara menggeleng pelan. "Bapak juga mendengar ucapan Madam Gi 'kan? Beliau ingin melihat tanggung jawab saya. Bagaimana pun juga, disini saya yang bersalah karena telah lalai." Kepala Nayara tertunduk lemas.
"Saya mengerti. Tetapi tolong, kamu jangan terlalu memfokuskan diri pada ucapan mami itu. Saya tidak mau pekerjaan kamu menjadi berantakan hanya karena omong kosong mami."
Nayara hanya mampu menggeleng pelan.
Elvano merasa mengenal sang mami dengan baik. Ia yakin jika wanita berdarah Inggris itu hanya ingin mengerjai Nayara saja.
Namun kali ini, ia seolah sulit untuk menebak apa yang sang mami rencanakan.
'Apa yang sebenarnya sedang mami rencanakan? Kenapa kali ini, aku tidak bisa menebak pikiran mami? Apa mungkin mami ingin Nara berhenti menjadi asisten ku?'
Jika itu yang sang mami inginkan, maka Elvano tidak akan membiarkan terjadi. Ia sudah nyaman bersama Nayara.
Gadis itu sudah mengenal luar dalam dirinya. Dan mengetahui segala kelebihan serta kekurangan Elvano.
Ia tidak mungkin membiarkan sang mami menjauhkan Nayara darinya.
...****************...
nungguin si el bucin sama si nay..
ayok kak hari ini upny double 🤭